JAKARTA — Jelang pengumuman kebijakan suku bunga dan keputusan tarif Amerika Serikat pada 9 Juli 2025 mendatang, fokus pelaku pasar modal di Tanah Air diprediksi akan mulai beralih dari sentimen geopolitik ke arah prospek suku bunga. Pergeseran ini membuka peluang bagi saham-saham sektor perbankan dan properti untuk kembali menjadi primadona, menggantikan dominasi sektor komoditas yang sebelumnya mendominasi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Retail Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Indri Liftiany Travelin Yunus, menyampaikan bahwa pergeseran fokus investor didorong oleh ekspektasi pasar terhadap arah kebijakan moneter Amerika Serikat (The Fed) dan kebijakan tarif pemerintah AS. “Saya menilai bahwa saat ini fokus para pelaku pasar akan mulai beralih dari ketegangan di Timur Tengah kepada prospek pemangkasan suku bunga dan kebijakan mengenai tarif, mengingat pada 9 Juli 2025 merupakan tenggat penundaan penerapan kebijakan tarif oleh Amerika Serikat,” ungkap Indri.
Sentimen Ekonomi Global: PMI China dan Data Amerika Serikat
Di level global, beberapa data ekonomi penting akan menjadi perhatian investor dalam sepekan ini. Dari China, Indeks NBS Manufacturing PMI bulan Juni diperkirakan melemah terbatas ke level 49,5 dari sebelumnya 49,7, mencerminkan tekanan dari perang tarif dan deflasi yang masih membayangi perekonomian Negeri Tirai Bambu.
Sementara itu di Amerika Serikat, data Indeks ISM Manufacturing PMI Juni diprediksi mengalami kenaikan tipis ke level 48,8 dari sebelumnya 48,5. Meski masih berada di bawah level 50—batas antara ekspansi dan kontraksi kenaikan ini tetap menjadi indikasi perbaikan tipis aktivitas manufaktur AS.
Selain itu, data Non Farm Payrolls Amerika Serikat bulan Juni diperkirakan akan melemah ke 129.000 dari 139.000 pada bulan sebelumnya, yang menunjukkan potensi pelemahan pasar tenaga kerja. Di sisi lain, Indeks S&P Global Composite PMI Final AS untuk Juni juga diperkirakan turun ke level 52,8 dari 53, yang bisa menjadi sentimen negatif bagi pasar global jika data ini terealisasi.
Data Ekonomi Domestik: PMI Indonesia dan Inflasi
Dari dalam negeri, investor akan mencermati rilis data Indeks S&P Global Manufacturing PMI Indonesia bulan Juni yang diproyeksikan meningkat terbatas ke level 48,5 dari sebelumnya 47,4. Kenaikan ini menandakan potensi perbaikan moderat pada aktivitas manufaktur domestik meski masih berada di zona kontraksi.
Selain itu, neraca perdagangan Indonesia untuk Mei diperkirakan membaik dengan surplus mencapai USD 1 miliar, lebih tinggi dari USD 0,15 miliar pada bulan sebelumnya. Angka ini menunjukkan adanya perbaikan kinerja ekspor-impor yang bisa menopang nilai tukar rupiah dan kepercayaan investor.
Sementara itu, tingkat inflasi Indonesia pada Juni diprediksi naik ke level 2,4 persen dari sebelumnya 1,6 persen. Kenaikan inflasi ini akan menjadi pertimbangan utama bagi Bank Indonesia dalam menentukan kebijakan suku bunga ke depan, karena inflasi yang terkendali menjadi salah satu kunci stabilitas makroekonomi.
Pergeseran Fokus ke Sektor Perbankan dan Properti
Secara garis besar, Indri menilai bahwa sentimen sepekan terakhir mulai dari potensi gencatan senjata di Timur Tengah hingga prospek pemangkasan suku bunga The Fed akan memberikan angin segar bagi IHSG. Menurutnya, sektor perbankan dan properti berpeluang mencuri perhatian investor setelah sektor komoditas yang sebelumnya menjadi andalan.
“Merujuk pada kondisi yang ada, saya menilai para pelaku pasar akan mengalihkan fokusnya dari sektor komoditas ke sektor perbankan dan properti dalam waktu dekat,” ujar Indri. Ia menambahkan bahwa investor kemungkinan bersikap lebih berhati-hati sembari menunggu kepastian arah kebijakan moneter global dan aliran dana asing yang masuk ke pasar saham Indonesia.
Analisis IHSG: Konsolidasi di Rentang Support dan Resistance
Lebih lanjut, berdasarkan analisis teknikal, Indri memperkirakan IHSG berpotensi untuk bergerak konsolidasi dalam rentang support di level 6.740 dan resistance di kisaran 7.060 dalam waktu dekat. Ia menyarankan para pelaku pasar untuk tetap cermat dalam memilih saham, terutama yang memiliki fundamental kuat di sektor perbankan dan properti.
“Fokus investor yang mulai mengarah ke potensi penurunan suku bunga dan kebijakan tarif akan menciptakan peluang di sektor-sektor yang sensitif terhadap kebijakan moneter, salah satunya perbankan dan properti,” jelasnya.
Saham-Saham Layak Dilirik
Dalam rekomendasinya, Indri menyebut beberapa saham di sektor perbankan seperti BBCA, BBRI, dan BMRI yang bisa menjadi pilihan investor, mengingat potensi kinerja yang solid dan valuasi yang relatif menarik di tengah ekspektasi turunnya suku bunga. Di sektor properti, saham-saham seperti BSDE, CTRA, dan PWON juga menarik karena sektor ini sangat sensitif terhadap biaya kredit, sehingga penurunan suku bunga bisa menjadi katalis positif bagi peningkatan permintaan properti.