AAJI Belum Pastikan Dampak Co Payment pada Inflasi Medis

Senin, 30 Juni 2025 | 11:20:05 WIB
AAJI Belum Pastikan Dampak Co Payment pada Inflasi Medis

JAKARTA — Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menilai penerapan skema co-payment pada polis asuransi kesehatan memiliki potensi besar untuk membantu menekan laju inflasi medis di Indonesia. Namun demikian, hingga saat ini belum ada kajian atau proyeksi yang dapat memastikan seberapa efektif kebijakan tersebut dalam menurunkan biaya medis yang terus meningkat setiap tahunnya.

Hal ini disampaikan langsung oleh Kepala Departemen Klaim dan Manfaat Asuransi AAJI, Dian Budiani, yang mengakui bahwa belum ada analisis mendalam yang mampu memberikan gambaran konkret mengenai pengaruh co-payment terhadap inflasi medis. “Kalau tanya asumsi, sangat tergantung perusahaan asuransinya, sangat tergantung segmennya, dan sangat tergantung data klaimnya itu dianalisis sedalam apa,” ujar Dian di Bogor.

Menurut Dian, setiap perusahaan asuransi memiliki pendekatan yang berbeda dalam menentukan skema co-payment, termasuk parameter yang digunakan dalam menganalisis klaim. Kondisi ini menyebabkan sulitnya menetapkan proyeksi tunggal mengenai efek co-payment terhadap pengendalian inflasi medis.

Mekanisme Co-Payment di Negara Lain

Dian menjelaskan, salah satu contoh negara yang telah menerapkan sistem co-payment secara dinamis adalah Thailand. Di negara tersebut, skema co-payment tidak bersifat statis, melainkan disesuaikan saat perpanjangan polis berdasarkan riwayat klaim nasabah. “Jadi waktu perpanjangan dilihat dulu klaimnya, kalau klaimnya X dari penyakit apa, co-payment-nya sekian. Tapi pada saat dilihat perpanjangan berikutnya sudah lebih bagus, dia bisa menambah co-payment-nya,” terangnya.

Model seperti ini, menurut Dian, memungkinkan perusahaan asuransi memberikan beban co-payment yang lebih adil sesuai perilaku klaim nasabah. Dengan demikian, nasabah yang klaimnya rendah dapat menikmati beban co-payment yang lebih ringan, sedangkan nasabah dengan klaim tinggi akan mendapatkan co-payment yang lebih besar.

Data yang Akurat Jadi Kunci

Dian menekankan bahwa keberhasilan penerapan skema co-payment di Indonesia sangat bergantung pada kualitas dan keakuratan data klaim yang dimiliki perusahaan asuransi. Tanpa data yang lengkap dan terperinci, skema ini berisiko tidak efektif, atau bahkan menimbulkan ketidakpuasan di kalangan nasabah.

“Implementasi co-payment perlu didukung oleh data yang jelas agar estimasi dampak bisa lebih akurat,” tegasnya. Dian menyarankan bahwa setelah skema co-payment berjalan selama minimal tiga bulan, perusahaan asuransi perlu melakukan evaluasi menyeluruh. Dari evaluasi tersebut, barulah bisa dipertimbangkan apakah perlu ada penyesuaian fitur atau kebijakan tambahan untuk memperkuat efektivitas skema ini.

Faktor Dinamis Seperti Pandemi

Selain ketergantungan pada data, Dian juga mengingatkan bahwa dinamika eksternal, seperti pandemi, bisa sangat memengaruhi efektivitas skema co-payment. Ia mencontohkan bagaimana pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak 2020 telah secara drastis mengubah peta risiko kesehatan, biaya pengobatan, hingga klaim asuransi.

“Belum lagi yang ditambahin kalau ada pandemi, it changes a lot of things kan. Begitu ada pandemi, siapa yang bisa mengendalikan itu ya,” pungkas Dian, menekankan bahwa risiko global seperti pandemi merupakan faktor yang tidak bisa dikendalikan dan akan memengaruhi proyeksi inflasi medis.

Apa Itu Co-Payment?

Sebagai informasi, co-payment adalah skema di mana nasabah asuransi kesehatan ikut menanggung sebagian biaya medis ketika melakukan klaim. Skema ini umum diterapkan di banyak negara sebagai bentuk berbagi risiko dan tanggung jawab finansial antara perusahaan asuransi dan pemegang polis.

Di Indonesia, penerapan co-payment masih relatif baru dan belum menjadi standar di semua perusahaan asuransi. Namun, dengan inflasi medis yang kian mengkhawatirkan, co-payment mulai dilirik sebagai salah satu solusi yang dapat membantu menahan laju kenaikan biaya pengobatan.

Inflasi Medis di Indonesia

Berdasarkan data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia, rata-rata inflasi medis di Indonesia dalam lima tahun terakhir tercatat berada di kisaran 10–12 persen per tahun, jauh lebih tinggi dari inflasi nasional yang umumnya berkisar 3–4 persen. Inflasi medis ini disebabkan oleh sejumlah faktor, mulai dari kenaikan biaya rumah sakit, perkembangan teknologi medis yang memerlukan investasi besar, hingga peningkatan frekuensi klaim asuransi kesehatan.

Kondisi ini kemudian mendorong perusahaan asuransi untuk mencari terobosan agar beban klaim tidak membengkak, yang pada akhirnya juga akan berdampak pada premi yang dibayarkan nasabah.

Potensi Co-Payment di Indonesia

Pengamat industri asuransi, Indah Setyawati, menilai skema co-payment punya peluang besar diterapkan secara luas di Indonesia. Namun, ia juga mengingatkan tantangan sosialisasi kepada masyarakat. “Edukasi tentang apa itu co-payment dan manfaatnya bagi keberlangsungan asuransi sangat penting, karena banyak yang masih menganggap co-payment itu bentuk ketidakadilan,” ujarnya.

Menurut Indah, perusahaan asuransi perlu memastikan kejelasan informasi kepada calon nasabah agar skema ini tidak menimbulkan salah paham. Jika dijalankan dengan transparansi dan pengawasan yang baik, co-payment bisa menjadi alat efektif mengendalikan inflasi medis dan menjaga keberlanjutan program asuransi kesehatan.

Terkini