Saat Anak Bisa Belanja Sekali Klik, Bagaimana Orangtua Bisa Ajarkan Literasi Finansial

Selasa, 01 Juli 2025 | 08:42:55 WIB
Saat Anak Bisa Belanja Sekali Klik, Bagaimana Orangtua Bisa Ajarkan Literasi Finansial

JAKARTA - Perubahan pola konsumsi yang serba instan telah menggeser banyak nilai dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah dominasi layanan digital dan budaya serba cepat, pertanyaan tentang bagaimana mengajarkan keterampilan keuangan kepada anak menjadi semakin relevan dan mendesak, terutama bagi mereka yang termasuk dalam Generasi Alpha—kelompok anak yang lahir mulai tahun 2010 hingga 2024.

Dibandingkan generasi sebelumnya, Gen Alpha tumbuh di tengah ekosistem digital yang sudah sangat matang. Mereka terbiasa dengan dunia di mana transaksi dilakukan hanya dengan satu ketukan jari di layar ponsel, layanan pengantaran hadir dalam hitungan menit, dan informasi bisa diakses kapan saja, dari mana saja.

Realitas ini memunculkan tantangan baru bagi orangtua: bagaimana membekali anak dengan keterampilan dasar mengelola uang, ketika mereka hidup dalam sistem yang membuat segalanya terasa “mudah” dan “tak terbatas”?

Anak Zaman Sekarang Tidak Mengenal Konsep “Menunggu”

Salah satu ciri khas utama Generasi Alpha adalah minimnya keterpaparan terhadap konsep menunggu. Layanan streaming menggantikan siaran televisi dengan jadwal tetap. Belanja online menggantikan ke toko fisik. Bahkan makanan pun bisa sampai ke rumah hanya dalam waktu kurang dari 30 menit. Dunia yang dibangun untuk kenyamanan dan kecepatan ini membuat anak-anak terbiasa mendapatkan apa pun yang mereka inginkan dengan segera.

Dalam konteks finansial, ini bisa menjadi jebakan. Ketika anak tidak memahami bahwa uang perlu diusahakan, dibatasi, dan dikelola, maka dorongan impulsif untuk membeli sesuatu akan lebih besar daripada keinginan untuk menabung atau menunda kepuasan.

Inilah tantangan terbesar para orangtua saat ini: mengajari anak bahwa uang adalah sumber daya terbatas, bukan sesuatu yang otomatis tersedia setiap kali mereka ingin membeli sesuatu secara online.

Pendidikan Finansial Sejak Dini, Bukan Lagi Pilihan

Menyadari pergeseran ini, para ahli keuangan dan psikolog anak menyarankan agar pendidikan literasi keuangan diberikan sejak dini. Anak-anak tidak hanya diajari cara menghitung uang atau mengenal nominal, tetapi juga dikenalkan pada konsep nilai, pilihan, prioritas, dan konsekuensi dari keputusan keuangan.

Menurut para pendidik, keterampilan ini dapat dimulai sejak anak berusia 4–5 tahun. Pada usia ini, anak sudah bisa diajarkan bahwa membeli satu mainan mungkin berarti tidak bisa membeli makanan ringan, karena uangnya hanya cukup untuk salah satu.

Memperkenalkan uang saku mingguan, membuat daftar keinginan, atau menggunakan celengan dengan label khusus seperti “menabung”, “berbagi”, dan “belanja”, adalah contoh strategi yang sudah terbukti efektif.

Realitas Digital: Anak-anak Paham Teknologi, Tapi Belum Tentu Paham Uang

Salah satu ironi dari Generasi Alpha adalah: mereka bisa sangat melek teknologi, namun justru bisa gagap terhadap konsep dasar uang. Anak bisa menguasai aplikasi, belanja online, atau top-up saldo dompet digital dengan mudah. Namun tanpa arahan yang tepat, mereka mungkin tidak memahami bahwa di balik semua itu ada proses ekonomi nyata yang melibatkan penghasilan, pengeluaran, dan keputusan finansial yang matang.

Di sinilah peran orangtua sangat penting. Membatasi akses tidak cukup. Orangtua perlu menjadi pendamping aktif dalam menjelaskan dari mana uang berasal, bagaimana uang bisa habis, dan kenapa penting untuk membuat pilihan yang bijak saat berbelanja.

Alih-alih hanya mengatakan “jangan beli ini”, orangtua bisa mengajak anak berdiskusi soal alasan di balik keputusan itu. Misalnya, “Kalau kita beli mainan ini sekarang, kita tidak punya cukup uang untuk jalan-jalan akhir pekan. Menurut kamu, mana yang lebih kamu inginkan?”

Penggunaan Aplikasi Ramah Anak untuk Mengelola Uang

Beberapa platform kini menyediakan aplikasi edukatif finansial khusus anak, yang memungkinkan mereka belajar mengelola uang secara virtual namun tetap realistis. Orangtua bisa menetapkan “gaji” atau “tugas rumah” yang bernilai uang digital, lalu anak diberi kebebasan untuk memutuskan akan menabung, menyumbang, atau membelanjakan uang tersebut.

Aplikasi seperti ini tidak hanya melatih pengambilan keputusan, tapi juga menumbuhkan rasa tanggung jawab dan disiplin.

Namun, penting untuk diingat bahwa teknologi hanyalah alat bantu. Nilai-nilai utama seperti kesederhanaan, kesabaran, dan tanggung jawab finansial tetap harus dibentuk lewat interaksi nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Mengajarkan Uang Lewat Teladan

Yang sering dilupakan adalah bahwa anak belajar dari melihat, bukan hanya mendengar. Jika orangtua terus-menerus membeli barang secara impulsif, tidak punya kebiasaan menabung, atau selalu menggunakan kartu kredit tanpa menjelaskan konsekuensinya, maka anak pun akan meniru pola tersebut.

Sebaliknya, ketika orangtua mengajak anak ikut dalam diskusi anggaran rumah tangga, membuat daftar belanja, atau berbagi alasan di balik keputusan finansial yang sulit, anak akan melihat bahwa mengelola uang adalah proses penting, bukan sekadar soal punya atau tidak punya.

Tantangan Budaya Konsumerisme dan Peran Sekolah

Budaya konsumerisme yang menyasar anak-anak melalui iklan, influencer, dan game online semakin memperkuat keinginan mereka untuk selalu ingin memiliki barang terbaru. Di sinilah pendidikan keuangan harus diperkuat tidak hanya di rumah, tapi juga di sekolah.

Kurikulum pendidikan dasar bisa mulai memperkenalkan simulasi jual-beli sederhana, proyek kewirausahaan kecil, atau pengalaman praktik menabung di koperasi sekolah. Pengalaman konkret ini akan jauh lebih membekas dibandingkan teori semata.

Mengubah Generasi Klik Jadi Generasi Cerdas Finansial

Generasi Alpha tidak bisa dilepaskan dari realitas digital. Mereka lahir dan tumbuh di tengah dunia yang serba cepat, serba mudah, dan penuh pilihan. Namun justru karena itulah, mereka perlu dibekali keterampilan finansial sejak usia dini.

Tugas ini tidak hanya menjadi tanggung jawab orangtua, tapi juga sekolah dan lingkungan sosial secara umum. Dengan cara yang kreatif, penuh kasih, dan konsisten, kita bisa menyiapkan anak-anak yang cakap menghadapi tantangan ekonomi di masa depan, tanpa harus menjauhkan mereka dari teknologi yang mereka kuasai.

Karena pada akhirnya, bukan soal seberapa cepat mereka bisa membeli sesuatu, tetapi seberapa bijak mereka bisa memutuskan apakah sesuatu itu layak dibeli.

Terkini