JAKARTA - Tanggal 1 Juli 1953 menjadi tonggak bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada hari itu, Bank Indonesia (BI) secara resmi berdiri sebagai bank sentral Republik Indonesia, menandai awal baru dalam kedaulatan ekonomi bangsa yang baru merdeka. Namun, proses panjang menuju berdirinya BI tak lepas dari upaya keras dan dinamika perubahan kebijakan yang mencerminkan perjalanan bangsa menghadapi tantangan ekonomi dan politik sepanjang dekade.
Kisah ini bermula dua tahun sebelumnya, pada 1951, ketika tekanan publik untuk membentuk bank sentral yang dikuasai negara semakin kuat. Pemerintah kemudian membentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank (DJB), sebuah lembaga perbankan kolonial yang sebelumnya menjadi otoritas moneter di Indonesia. Proses akuisisi saham DJB oleh negara mencapai 97 persen, yang akhirnya ditetapkan secara hukum melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia. Dengan demikian, BI menggantikan DJB Wet 1922 dan resmi berfungsi sebagai bank sentral yang sepenuhnya milik Indonesia, bukan lagi lembaga kolonial.
Namun, peran BI pada masa awal berdirinya masih sangat luas dan kompleks. Selain menjalankan fungsi bank sentral, BI juga berperan sebagai bank komersial, memberikan kredit, dan menjalankan fungsi bank sirkulasi. Kebijakan moneter ketika itu ditetapkan oleh Dewan Moneter yang dipimpin Menteri Keuangan, dengan anggota terdiri dari Gubernur BI dan Menteri Perdagangan. BI bertugas menjalankan kebijakan tersebut, bukan menentukan secara independen.
- Baca Juga Peran Pendidikan bagi Masa Depan
Pada era Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno, BI mengalami perubahan fungsi yang signifikan. Gubernur BI diangkat menjadi anggota kabinet dengan jabatan Menteri Urusan Bank Sentral, sementara Dewan Moneter dibubarkan. Pada tahun 1965, muncul konsep “Bank Berdjoang” yang menyatukan seluruh bank negara menjadi satu institusi besar bernama Bank Negara Indonesia (BNI). Bank Indonesia pun diubah menjadi BNI Unit I, sedangkan bank-bank lain menjadi Unit II hingga V. Namun, struktur ini tidak bertahan lama.
Tahun 1968 menandai kembalinya BI sebagai bank sentral yang berdiri sendiri berdasarkan UU No. 13 Tahun 1968. BI kembali ke fungsi utamanya sebagai pengatur moneter, agen pembangunan, dan pemegang kas negara, sekaligus melepas peran sebagai bank komersial. Bank-bank Unit II hingga V pun dipisahkan dan dijadikan bank pemerintah mandiri.
Periode Orde Baru membawa era deregulasi perbankan. Pada 27 Oktober 1988, BI mengeluarkan Paket Kebijaksanaan Deregulasi Perbankan yang dikenal sebagai Pakto 88. Paket ini membuka ruang lebih luas bagi perbankan, mempercepat izin pendirian bank swasta, dan meliberalisasi sektor keuangan. Namun, kebijakan ini berujung pada krisis moneter Asia 1997 yang mengguncang ekonomi Indonesia. BI pun mengambil tindakan drastis, seperti penerapan sistem kurs mengambang, penutupan bank bermasalah, dan restrukturisasi perbankan nasional.
Setelah krisis, reformasi mendasar terhadap BI dilakukan. DPR RI mengesahkan UU No. 23 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan melalui UU No. 3 Tahun 2004, menegaskan BI sebagai lembaga independen yang bebas dari intervensi pemerintah. Dengan status ini, BI memperoleh wewenang penuh dalam pengambilan kebijakan moneter dan pengawasan sistem keuangan nasional.
Saat ini, BI tidak hanya mengemban tugas menjaga inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah. Dengan diterbitkannya UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, ruang lingkup BI diperluas untuk menguatkan sektor makroprudensial. Transformasi internal BI juga dilakukan dengan merombak struktur organisasi, memperbarui sistem teknologi, dan memperkuat kapasitas sumber daya manusia.
Langkah-langkah ini penting karena tantangan ekonomi Indonesia semakin kompleks. Tidak cukup hanya mengandalkan kebijakan fiskal dan moneter, tapi perlu sektor keuangan yang kuat, sehat, dan tahan terhadap guncangan eksternal maupun internal. BI terus menegaskan posisinya sebagai garda terdepan dalam menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan nasional.
Melalui perjalanan panjang dari masa ke masa, mulai dari warisan kolonial, masa Demokrasi Terpimpin, era deregulasi, krisis moneter, hingga menjadi lembaga independen modern, Bank Indonesia membuktikan kemampuannya menyesuaikan diri dan berperan strategis. Sejarah panjang ini menjadi fondasi kuat bagi BI untuk menghadapi tantangan ekonomi masa depan dan menjaga kedaulatan ekonomi Indonesia.