JAKARTA - Ibadah haji 2025 telah memasuki hari ke-60 pelaksanaan, namun di balik kekhusyukan para jemaah dalam menyempurnakan rukun Islam kelima ini, catatan duka kembali hadir. Hingga Selasa, angka kematian jemaah haji Indonesia dilaporkan telah mencapai 418 orang, mencatatkan jumlah yang sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun lalu pada periode yang sama.
Fakta ini menjadi sorotan serius karena mengindikasikan bahwa pelayanan kesehatan selama musim haji masih menghadapi tantangan besar, khususnya dalam menangani penyakit-penyakit kronis yang diderita oleh sebagian besar jemaah lansia.
Kementerian Kesehatan melalui berbagai kanal resmi telah menyampaikan bahwa penyakit jantung menjadi penyebab utama kematian, disusul oleh sindrom gangguan pernapasan akut pada orang dewasa. Hal ini sesuai dengan kecenderungan risiko kesehatan yang meningkat akibat kelelahan, cuaca ekstrem di Arab Saudi, dan riwayat penyakit kronis yang telah diderita sebelumnya.
Penyakit Jantung Masih Dominan Sebagai Penyebab Wafat
Sejak awal pelaksanaan haji tahun ini, pihak medis telah mewaspadai risiko penyakit jantung sebagai penyebab utama kematian jemaah. Data terbaru menunjukkan bahwa syok kardiogenik dan gangguan jantung iskemik akut menjadi dua faktor paling sering teridentifikasi dalam laporan medis para jemaah yang wafat.
Syok kardiogenik adalah kondisi darurat medis di mana jantung tidak mampu memompa cukup darah ke organ vital. Ini biasanya terjadi setelah serangan jantung berat. Sementara itu, gangguan jantung iskemik terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otot jantung, biasanya karena penyumbatan arteri koroner.
“Sebagian besar jemaah yang meninggal adalah mereka yang memiliki komorbid, terutama penyakit jantung dan hipertensi. Situasi menjadi lebih berat dengan cuaca panas dan aktivitas fisik yang tinggi selama rangkaian ibadah,” ujar seorang dokter kloter (kelompok terbang) yang enggan disebutkan namanya.
Kondisi tersebut diperparah oleh fakta bahwa mayoritas jemaah Indonesia yang berangkat tahun ini masuk dalam kategori lansia dengan risiko tinggi. Pemerintah memang telah memberikan imbauan khusus bagi jemaah risiko tinggi (risti) agar menjaga kondisi tubuh dan tidak memaksakan diri.
Gangguan Pernapasan dan Tantangan Cuaca Ekstrem
Selain penyakit jantung, sindrom gangguan pernapasan akut pada orang dewasa juga tercatat sebagai penyebab kematian yang cukup menonjol. Sindrom ini ditandai dengan kesulitan bernapas berat, oksigenasi rendah, dan seringkali membutuhkan perawatan intensif dengan ventilator atau alat bantu napas.
Kondisi ini rentan terjadi saat cuaca sangat panas, udara kering, serta paparan debu atau polutan—semua kondisi tersebut banyak ditemukan di wilayah Arab Saudi selama musim haji.
Bahkan dalam beberapa hari terakhir, suhu di Makkah dan Madinah mencapai lebih dari 45°C, meningkatkan risiko heatstroke dan dehidrasi akut, terutama bagi jemaah lanjut usia. Situasi seperti ini membutuhkan perhatian ekstra dari tim kesehatan dan petugas kloter agar jemaah tetap terlindungi dari dampak buruk cuaca.
Upaya Pemerintah dan Tim Kesehatan Haji
Untuk mengantisipasi dan merespons kondisi darurat, Kementerian Kesehatan dan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) telah mengerahkan ratusan tenaga kesehatan, baik dokter umum, spesialis, hingga tenaga paramedis. Fasilitas layanan kesehatan juga dibuka secara bertahap di semua sektor, baik di Makkah, Madinah, maupun Arafah dan Mina.
Setiap kloter juga dilengkapi dengan petugas kesehatan yang bertugas melakukan pemeriksaan rutin, edukasi kesehatan, dan pemantauan ketat terhadap jemaah berisiko tinggi.
Namun, dengan jumlah jemaah yang sangat besar—lebih dari 240.000 jemaah haji Indonesia pada tahun ini—sistem pelayanan kesehatan tetap menghadapi tekanan besar, terutama saat puncak ibadah di Arafah dan Mina.
“Meski fasilitas medis sudah ditingkatkan, tetap tidak mudah mengelola kondisi darurat dengan ribuan jemaah dalam satu lokasi, terutama di tengah cuaca panas ekstrem,” tutur salah satu petugas PPIH di sektor Makkah.
Dibandingkan Tahun Sebelumnya
Angka 418 jemaah wafat memang lebih tinggi dari tahun 2024, namun bukan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. Tahun-tahun sebelumnya juga mencatatkan angka kematian signifikan pada jemaah haji Indonesia, terutama saat pandemi COVID-19 masih membayangi atau ketika cuaca ekstrem tak dapat dihindari.
Namun demikian, lonjakan tahun ini tetap menjadi catatan evaluatif. Diperlukan pendekatan baru dalam aspek seleksi kesehatan jemaah, pelatihan manajemen kesehatan bagi petugas kloter, serta pemanfaatan teknologi seperti alat pemantau kesehatan jarak jauh (telemonitoring) untuk mendeteksi dini gangguan kesehatan serius.
Imbauan: Jaga Kesehatan, Jangan Paksakan Diri
Pemerintah terus mengimbau kepada jemaah, khususnya yang masih berada di Arab Saudi untuk menyelesaikan ibadah sunah maupun ziarah, agar tidak memaksakan diri, terutama jika merasa kelelahan atau mengalami gejala gangguan pernapasan dan jantung.
“Kesehatan harus jadi prioritas. Ibadah memang penting, tapi jika kondisi tubuh tidak memungkinkan, jangan dipaksakan. Gunakan kursi roda, alat bantu, dan selalu konsultasikan dengan dokter kloter,” demikian pesan dari Tim Kesehatan PPIH Arab Saudi.
Pemerintah juga mengingatkan kepada jemaah yang masih berada di Tanah Suci untuk banyak minum air, menghindari paparan matahari langsung, memakai pelindung kepala, dan mengonsumsi makanan bergizi.
Evaluasi Berkelanjutan Demi Haji yang Lebih Aman
Ibadah haji adalah perjalanan spiritual luar biasa yang membutuhkan kesiapan fisik dan mental. Namun data 418 jemaah wafat di hari ke-60 ini menjadi alarm bahwa kesiapan fisik tetap harus menjadi perhatian utama.
Ke depan, evaluasi menyeluruh diperlukan. Baik dari sisi manajemen jemaah risiko tinggi, standar pelayanan medis, hingga pendekatan preventif yang dimulai sejak jemaah berada di tanah air. Pelibatan keluarga, pemantauan kesehatan sejak masa pelatihan manasik, hingga edukasi intensif soal risiko medis wajib menjadi bagian dari strategi nasional penyelenggaraan haji.
Dengan evaluasi dan pembenahan yang menyeluruh, diharapkan setiap jemaah dapat menunaikan ibadah haji dengan selamat, sehat, dan kembali ke Tanah Air dalam keadaan baik.