JAKARTA - Transformasi layanan publik di tingkat desa kini memasuki babak baru. Pemerintah tengah mendorong agar Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes) Merah Putih tidak hanya menjadi sentra ekonomi kerakyatan, tetapi juga berperan aktif dalam sektor kesehatan. Salah satu langkah strategis yang dibahas adalah mengintegrasikan keberadaan klinik dan apotek desa ke dalam struktur koperasi ini.
Langkah kolaboratif ini dibicarakan secara serius oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) bersama Kementerian Kesehatan. Tujuannya adalah menjadikan Kopdes Merah Putih sebagai platform yang mampu mendekatkan layanan kesehatan dan akses obat-obatan murah kepada masyarakat desa secara berkelanjutan.
Wakil Menteri Koperasi, Ferry Juliantono, yang juga menjabat sebagai Koordinator Ketua Pelaksana Harian Satgas Percepatan Pembentukan Kopdes Merah Putih, mengungkapkan bahwa saat ini terdapat 103 lokasi Kopdes yang akan dijadikan proyek percontohan untuk integrasi klinik dan apotek.
Gagasan ini sejalan dengan Instruksi Presiden yang memberi mandat pada Kemenkop untuk mempercepat penguatan koperasi desa berbasis layanan publik. Dalam pelaksanaannya, Kemenkop telah menyusun model bisnis klinik desa dan apotek desa, namun dibutuhkan dukungan teknis serta data valid dari Kementerian Kesehatan untuk menyempurnakan implementasinya.
“Untuk mewujudkan itu, kami memerlukan masukan dari Kementerian Kesehatan,” jelas Ferry. Pertemuan dengan Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, menjadi bagian penting dari upaya harmonisasi kebijakan lintas sektor ini.
Lebih jauh, Ferry menegaskan bahwa proses bisnis layanan kesehatan di desa perlu dirancang dengan model yang efektif namun sederhana. Salah satu fokus pembahasan adalah integrasi antara layanan yang sudah ada seperti puskesmas pembantu dan poskesdes dengan format klinik desa yang lebih permanen dan terpadu. Hal ini dinilai penting agar tidak terjadi tumpang tindih peran, serta memastikan efisiensi dalam penyediaan layanan.
“Kami akan urai bagaimana proses bisnis serta hubungan kerja samanya,” ujar Ferry, menegaskan pendekatan holistik yang akan ditempuh.
Namun, tidak sedikit tantangan yang harus diselesaikan sebelum integrasi ini benar-benar berjalan. Salah satu hambatan utama adalah ketersediaan tenaga kesehatan. Kehadiran dokter, perawat, bidan, dan apoteker di desa masih menjadi isu klasik yang belum sepenuhnya teratasi, terutama di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
Ferry menyebut, selain sumber daya manusia, persoalan regulasi juga tak kalah penting. Izin operasional klinik dan apotek, penempatan apoteker, hingga pengaturan harga obat yang terjangkau untuk masyarakat menjadi aspek yang harus diatur secara tepat agar tidak menghambat pelaksanaan di lapangan.
Diskusi antar kementerian juga mencakup integrasi layanan dengan BPJS Kesehatan. Dalam pandangan Kemenkop, integrasi ini harus dipastikan sejak awal, karena menjadi penopang utama pembiayaan layanan kesehatan di tingkat masyarakat.
Agar seluruh skema ini dapat berjalan optimal, Ferry berharap petunjuk teknis (juknis) pengelolaan klinik dan apotek desa dapat segera disusun dan dirilis. Juknis ini akan menjadi rujukan standar bagi pengelola Kopdes Merah Putih dalam mengembangkan unit layanan kesehatan berbasis koperasi.
“Untuk mendekatkan layanan kesehatan dan obat murah bagi masyarakat desa, diperlukan standar minimal layanan kesehatan yang ada di klinik desa,” ujar Ferry.
Ia juga menambahkan, tim teknis dari Kemenkop akan terus berkoordinasi lintas sektor untuk mempercepat proses uji coba. Harapannya, program percontohan di 103 lokasi tersebut bisa menjadi model replikasi nasional.
Pihak Kemenkop juga memandang bahwa keberadaan klinik dan apotek yang terintegrasi dalam koperasi bisa memberi manfaat ekonomi jangka panjang. Tak hanya memberikan layanan sosial, tetapi juga membuka peluang pemberdayaan ekonomi warga melalui keterlibatan dalam pengelolaan koperasi dan distribusi produk kesehatan.
Dalam jangka panjang, koperasi dapat memainkan peran sebagai penyedia layanan primer di bidang kesehatan dengan pendekatan inklusif. Keberadaan koperasi di desa yang selama ini lebih dikenal sebagai unit simpan pinjam, kini didorong agar bertransformasi menjadi wadah multifungsi yang tidak hanya menggerakkan ekonomi lokal, tetapi juga menjawab kebutuhan mendasar masyarakat, seperti kesehatan.
Melalui pendekatan ini, pemerintah berharap tidak hanya akan mempercepat pencapaian target akses kesehatan universal, tetapi juga memperkuat ekonomi gotong royong sebagai fondasi sistem pelayanan publik.
Kolaborasi antara Kemenkop dan Kemenkes dinilai menjadi langkah strategis dalam mendekatkan negara ke desa, memperkuat layanan dasar, serta memperluas cakupan jaminan sosial berbasis koperasi. Dengan sinergi yang solid dan desain teknis yang matang, integrasi klinik dan apotek ke dalam Kopdes Merah Putih diharapkan menjadi tonggak baru dalam reformasi layanan kesehatan berbasis masyarakat di Indonesia.