Sri Mulyani Belum Jawab Usulan Rp5 T Jalan Daerah

Kamis, 10 Juli 2025 | 10:27:00 WIB
Sri Mulyani Belum Jawab Usulan Rp5 T Jalan Daerah

JAKARTA - Pemerintah terus menghadapi tantangan besar dalam upaya membenahi infrastruktur daerah, terutama terkait pembangunan jalan. Salah satu isu krusial yang mengemuka baru-baru ini adalah belum jelasnya nasib anggaran sebesar Rp5 triliun yang diusulkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk mendanai program pembangunan jalan daerah. Usulan itu hingga kini masih menunggu jawaban dari Kementerian Keuangan, dan ketidakpastian ini memicu pertanyaan dari banyak pihak, termasuk DPR RI.

Menteri PUPR Dody Hanggodo, dalam rapat kerja bersama Komisi V DPR RI, mengungkapkan bahwa usulan dana Rp5 triliun tersebut diajukan untuk melanjutkan program yang sebelumnya dikenal sebagai Inpres Jalan Daerah (IJD). Di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, program ini akan mengalami rebranding menjadi Inpres Infrastruktur Daerah (IID) dan mencakup pula proyek sanitasi dan penyediaan air minum.

Namun, sampai saat ini, belum ada kepastian dari Kementerian Keuangan mengenai apakah dan kapan anggaran tersebut akan disetujui. Hal ini membuat kementerian teknis seperti PUPR belum bisa memberikan informasi konkret terkait pelaksanaan proyek di lapangan. “Khusus untuk Inpres Jalan Daerah, mohon izin, kami sudah mengusulkan total Rp5 triliun, tapi sampai detik ini surat permohonan kami belum dijawab oleh Bu Menteri Keuangan,” ujar Dody di hadapan para anggota DPR.

Situasi tersebut menempatkan Kementerian PUPR dalam posisi serba sulit. Di satu sisi, kebutuhan pembangunan jalan daerah sangat mendesak, terutama karena disparitas kualitas jalan antara pusat dan daerah masih sangat tinggi. Di sisi lain, keterbatasan koordinasi lintas kementerian membuat pengambilan keputusan menjadi lamban.

Dody menambahkan bahwa pihaknya akan segera memberikan informasi lebih lanjut setelah mendapatkan respons resmi dari Menteri Keuangan Sri Mulyani. “Kalau sudah ada jawaban, nanti kami langsung sampaikan,” ucapnya.

Isu ini pun memicu tanggapan serius dari Komisi V DPR RI. Ketua Komisi V, Lasarus, secara terang-terangan mengkritik lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam konteks pembangunan infrastruktur jalan. Ia menegaskan bahwa jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan kabupaten/kota sesungguhnya merupakan satu kesatuan jaringan transportasi yang tidak bisa dipisahkan secara kaku berdasarkan kewenangan administratif.

Menurut Lasarus, perbedaan-perbedaan ini justru sering menjadi sumber ego sektoral yang pada akhirnya merugikan masyarakat. “Sebenarnya jaringan jalan itu sulit kita pisahkan. Ini hanya soal ego sektoral saja,” ujarnya.

Ia pun menggarisbawahi bahwa kemampuan keuangan daerah saat ini sangat terbatas. Minimnya Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk infrastruktur membuat banyak pemerintah daerah tidak memiliki cukup dana untuk memperbaiki atau membangun jalan. Dalam kondisi seperti ini, intervensi dari pemerintah pusat dalam bentuk instruksi presiden (inpres) menjadi sangat krusial.

Dalam paparannya, Lasarus memaparkan data ketimpangan kualitas jalan antarwilayah. Jika kualitas jalan nasional telah mencapai tingkat kemantapan hingga 97%, kondisi jalan provinsi masih jauh tertinggal, hanya sekitar 60%. Lebih buruk lagi, kualitas jalan kabupaten dan kota berada pada angka 40-45%. Ketimpangan ini mencerminkan kesenjangan pembangunan infrastruktur yang masih belum teratasi secara menyeluruh.

Situasi ini memperkuat argumen bahwa diperlukan tindakan cepat dan terukur dari pemerintah pusat. Namun, proses pengambilan keputusan yang terganjal di tingkat kementerian justru memperlambat eksekusi program di lapangan.

Sebagai informasi tambahan, program pembangunan jalan daerah yang digagas di era Presiden Joko Widodo sempat diatur melalui Inpres Nomor 3 Tahun 2023. Saat itu, Kementerian PUPR mengajukan anggaran hingga Rp15 triliun untuk mendukung infrastruktur jalan daerah. Namun, dengan adanya skema baru bernama IID, nilai pasti anggaran yang akan digunakan menjadi tidak jelas karena proses penentuan pedoman pelaksanaan masih berada di tangan Bappenas.

“Saya nggak bisa ngomong. Karena itu ada tek-tokannya kenceng dengan Bappenas,” ucap Dody usai rapat, mengisyaratkan bahwa tarik ulur anggaran tidak hanya melibatkan Kementerian Keuangan, tetapi juga koordinasi dengan lembaga perencana pembangunan nasional.

Ia menambahkan bahwa angka final anggaran baru bisa dibicarakan setelah inpres resmi diterbitkan dan pedoman pelaksanaannya disusun oleh Bappenas. “Kalau nilainya kan nanti setelah selesai inpresnya, ada pedoman pelaksanaan dari Bappenas, baru kita bicara,” tutupnya.

Realita tersebut memperlihatkan bahwa pembangunan infrastruktur, meski menjadi prioritas, tidak selalu berjalan mulus dalam tataran teknis dan administratif. Hambatan birokrasi, kurangnya koordinasi, serta tarik-menarik kepentingan anggaran seringkali menjadi penghalang utama percepatan pembangunan.

Apabila pemerintah pusat ingin mempercepat pemerataan pembangunan infrastruktur, maka reformasi dalam mekanisme alokasi dan koordinasi anggaran lintas kementerian menjadi keharusan. Kepastian pendanaan dan sinergi kebijakan adalah kunci untuk memastikan bahwa masyarakat di daerah, terutama di pelosok dan wilayah terpencil, dapat menikmati akses jalan yang memadai sebagaimana mestinya.

Jika tidak ada langkah konkret dan segera dari para pemangku kepentingan, kekhawatiran akan terus muncul bahwa program-program infrastruktur strategis hanya akan menjadi wacana di atas kertas tanpa dampak nyata bagi masyarakat. Dalam hal ini, jawaban dari Kementerian Keuangan menjadi penentu keberlanjutan proyek yang sangat dibutuhkan tersebut.

Terkini