JAKARTA - Pernyataan Presiden Prabowo Subianto tentang ambisi Indonesia mencapai 100% energi terbarukan dalam satu dekade ke depan mencuri perhatian banyak pihak. Di tengah forum bilateral bersama Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva, Prabowo menyampaikan keyakinan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk mewujudkan transisi energi bersih lebih cepat dari target awal tahun 2040.
"Kami berencana mencapai 100% energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan," kata Prabowo dalam konferensi pers bersama Presiden Brasil. Ia menambahkan, “Targetnya, tentu saja, adalah 2040, tetapi para ahli saya mengatakan kita dapat mencapainya jauh lebih cepat.”
Pernyataan tersebut membuka babak baru diskusi seputar masa depan energi nasional. Meski optimisme tergambar jelas dalam pernyataan kepala negara, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa jalan menuju transisi energi penuh masih diwarnai berbagai tantangan signifikan.
Realitas di Lapangan Tak Semudah Rencana
Sejauh ini, laju pertumbuhan energi terbarukan Indonesia belum cukup menggembirakan. Target bauran energi baru terbarukan (EBT) tahun ini bahkan diturunkan dari 23% menjadi 20%. Revisi tersebut tercermin dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) yang baru.
Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), menyampaikan bahwa salah satu penyebab utama tidak tercapainya target bauran adalah kurangnya arus investasi di sektor EBT. “Kalau banyak pertanyaan kenapa (target EBT) 23% nggak tercapai, ya karena investasinya nggak ada,” ujar Eniya dalam sebuah forum ekonomi hijau.
Fakta ini menegaskan bahwa tanpa dukungan finansial yang kuat dan ekosistem regulasi yang sehat, mimpi menuju energi bersih sepenuhnya hanya akan menjadi sekadar wacana.
Transisi Energi dan Perjuangan Melawan Dominasi Energi Fosil
Salah satu tantangan terbesar dalam perjalanan transisi energi Indonesia adalah ketimpangan antara pertumbuhan pembangkit EBT dan ekspansi energi fosil yang masih masif. Eniya menegaskan bahwa meski energi terbarukan terus tumbuh, peningkatan permintaan energi nasional masih banyak disuplai dari sumber konvensional.
“Kita EBT-nya tumbuh, tetapi memang kejar-kejaran sama yang masih fosil dan lain sebagainya. Memang masa transisi ini perlu distrategikan,” ujarnya dalam diskusi bertema ‘Mengelola Transisi Energi’.
Kondisi ini menggambarkan betapa peliknya mengatur strategi transisi energi di negara berkembang yang masih sangat bergantung pada batubara dan bahan bakar fosil lainnya.
Rencana Besar di Atas Kertas: Antara Harapan dan Tantangan
Kementerian ESDM telah meluncurkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 sebagai salah satu kerangka kerja dalam mempercepat bauran energi hijau. Dalam dokumen tersebut, penambahan kapasitas pembangkit hingga 69,5 GW direncanakan dalam sembilan tahun ke depan.
Dari total tersebut, sekitar 42,6 GW akan berasal dari pembangkit EBT, sementara 16,6 GW dari energi fosil, dan 10,3 GW lainnya dari storage. Hal ini menunjukkan bahwa meski Indonesia secara resmi mengarahkan fokus ke energi bersih, pembangkit berbasis fosil belum sepenuhnya ditinggalkan.
Kondisi ini menunjukkan adanya kompromi yang masih harus dilakukan antara kebutuhan energi cepat dan keberlanjutan lingkungan. Namun, jika benar 75% dari kapasitas baru berasal dari sumber terbarukan, ini bisa menjadi langkah maju yang layak diapresiasi.
Capaian Aktual Masih Jauh dari Target
Berdasarkan catatan Direktorat EBTKE, hingga pertengahan tahun ini, bauran energi baru terbarukan Indonesia baru menyentuh angka 14,68% hingga 15%. Masih ada jarak sekitar 5% lagi untuk mencapai target akhir tahun, yaitu 20%. Sementara waktu terus berjalan, upaya pemerintah dalam mempercepat pertumbuhan pembangkit EBT perlu dikebut.
Lemahnya pencapaian ini bisa dimaklumi jika mempertimbangkan berbagai hambatan di lapangan, mulai dari birokrasi, minimnya infrastruktur pendukung, hingga rendahnya minat investor akibat ketidakpastian regulasi dan keekonomian proyek energi bersih.
Dukungan Internasional dan Diplomasi Energi
Kunjungan Prabowo ke Brasil tak sekadar mempererat hubungan diplomatik, tetapi juga memperkuat kolaborasi di sektor energi bersih. Brasil dikenal sebagai negara yang sukses mengembangkan bioenergi, khususnya bioetanol dari tebu, yang kini menjadi salah satu komoditas energi strategis di dunia.
Kerja sama dan pertukaran pengalaman antara kedua negara menjadi langkah penting, terutama untuk mempercepat teknologi transfer, peningkatan kapasitas SDM, dan pendanaan hijau. Jika kolaborasi ini dikawal dengan baik, Indonesia bisa mendapatkan lompatan signifikan dalam agenda transisi energi.
Mimpi Besar Butuh Pondasi Kokoh
Ambisi Presiden Prabowo untuk mencapai 100% energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan adalah cerminan semangat baru menuju masa depan energi yang bersih dan berkelanjutan. Namun, pencapaian besar tidak bisa dilepaskan dari kerja keras dan perencanaan yang realistis.
Diperlukan terobosan dalam menarik investasi, perbaikan regulasi, serta penguatan sinergi antarlembaga. Tanpa itu semua, target ambisius tersebut hanya akan menjadi retorika politik semata.
Namun jika momentum ini bisa dikawal dengan komitmen jangka panjang dan implementasi kebijakan yang konsisten, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin transisi energi di kawasan Asia Tenggara.