JAKARTA - Industri kerajinan tenun di Nusa Tenggara Timur (NTT) bukan hanya warisan budaya, tetapi kini juga menjadi tulang punggung ekonomi desa. Di balik eksistensinya yang semakin berkembang, ternyata ada kekuatan besar yang menopang dari belakang: Dana Desa. Dalam praktiknya, Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi tumpuan utama dalam membiayai beragam kegiatan pengembangan industri tenun, mulai dari pelatihan hingga sarana produksi.
Di tengah upaya memperkuat kemandirian ekonomi desa, pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan menyalurkan alokasi besar Dana Desa yang diarahkan untuk memberdayakan industri rumah tangga, khususnya kerajinan tenun. Berdasarkan data terbaru, alokasi pagu kegiatan terkait pengembangan tenun desa di NTT mencapai Rp5,74 miliar, dengan porsi terbesar atau sekitar 98,6 persen bersumber dari Dana Desa.
Dalam media briefing yang berlangsung di Rumah Tenun Labuan Bajo, Ketua Tim Pengelola Direktorat Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan Kementerian Keuangan, Kurnia, menegaskan bahwa Dana Desa masih memegang peran vital dalam menopang sektor kerajinan ini.
“Dana Desa masih memegang peran dominan dalam mendukung industri kerajinan tenun. Optimalisasi sumber pendanaan lain seperti CSR dan bagi hasil usaha desa perlu didorong,” ujar Kurnia.
Mendorong Ekonomi Produktif Lewat Tenun
Meski Dana Desa bukan sumber tunggal ideal untuk jangka panjang, perannya dalam menciptakan stimulus ekonomi di sektor desa sangat krusial. Dana ini bukan hanya digunakan sebagai belanja konsumtif, tapi benar-benar difokuskan pada pengembangan usaha produktif di tingkat akar rumput.
Sebagian besar dana dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan pelatihan usaha ekonomi produktif, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan sentra tenun dan koperasi desa. Tercatat, dari total dana sebesar Rp5,74 miliar, sekitar Rp1,97 miliar digunakan untuk pengembangan UMKM dan koperasi, sedangkan Rp1,64 miliar dialokasikan bagi industri kecil yang tumbuh di tingkat desa.
Selain itu, Rp700 juta digelontorkan untuk memfasilitasi kelompok usaha ekonomi produktif, yang bertujuan meningkatkan kapasitas produksi masyarakat desa. Sementara untuk pengelolaan langsung sentra tenun atau usaha kain tenun, anggaran yang disiapkan sekitar Rp269 juta meskipun porsinya hanya 4,7 persen dari total anggaran, peran dana ini terbukti signifikan.
Rumah Tenun, Pelatihan, dan Edukasi Wisata
Dana Desa telah bertransformasi menjadi alat yang bukan hanya memperkuat ekonomi desa, tetapi juga melestarikan budaya. Contohnya terlihat di Labuan Bajo, di mana rumah-rumah tenun seperti Puncak Waringin, Baku Peduli, dan Songke Leros tidak sekadar berfungsi sebagai tempat produksi kain, tapi juga menjadi pusat wisata edukasi.
Kegiatan di rumah tenun tersebut tak hanya melibatkan aktivitas menenun secara tradisional, tetapi juga pelatihan teknik pewarna alami, pengolahan produk turunan seperti pakaian modern, aksesori khas, hingga pemanfaatan platform digital untuk pemasaran. Dengan pendekatan ini, desa tidak hanya memproduksi barang budaya, tapi juga menjual pengalaman budaya kepada wisatawan domestik dan mancanegara.
Perempuan Desa Jadi Motor Penggerak
Perhatian terhadap kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan juga menjadi salah satu aspek penting dalam alokasi Dana Desa. Kegiatan pelatihan manajemen koperasi, pelatihan khusus pemberdayaan perempuan, hingga pengadaan teknologi tepat guna masuk dalam daftar program yang dibiayai dari pos ini.
Melalui pelatihan dan pendampingan berkelanjutan, perempuan di desa tak hanya menjadi tenaga produksi tetapi juga mampu mengambil peran strategis dalam pengelolaan dan pemasaran usaha tenun. Dengan demikian, Dana Desa turut mendorong terbentuknya ekosistem kewirausahaan perempuan berbasis komunitas di pedesaan.
Menjaga Konsistensi Penyaluran dan Realisasi
Pemanfaatan Dana Desa untuk sektor tenun tak lepas dari upaya percepatan realisasi anggaran di daerah. Berdasarkan laporan dari Kementerian Keuangan, hingga awal Juli, realisasi Dana Desa di Kabupaten Manggarai Barat telah mencapai Rp70,6 miliar atau sekitar 49,1 persen dari total pagu anggaran.
Secara keseluruhan, Provinsi Nusa Tenggara Timur mencatat realisasi Dana Desa sebesar Rp1,44 triliun, atau 53,5 persen dari total pagu provinsi yang berjumlah Rp2,7 triliun. Ini menunjukkan bahwa arus distribusi dana tergolong cukup baik, meski tetap memerlukan monitoring agar tepat sasaran dan memberi dampak langsung terhadap masyarakat desa.
Menenun Masa Depan dari Desa
Fokus penggunaan Dana Desa yang diarahkan untuk pengembangan potensi lokal seperti industri tenun menunjukkan paradigma baru dalam pembangunan desa. Tak lagi sebatas pembangunan fisik semata, tapi lebih ke arah penguatan kapasitas ekonomi dan budaya yang berkelanjutan.
“Fokus penggunaan Dana Desa diarahkan untuk pengembangan potensi dan keunggulan desa, termasuk desa wisata, desa devisa, dan industri rumah tangga seperti tenun,” jelas Kurnia.
Dengan model seperti ini, desa tidak hanya jadi objek pembangunan, tapi menjadi subjek yang aktif, produktif, dan berdaya saing. Dana Desa berperan sebagai katalisator, yang menghidupkan semangat gotong royong dan kemandirian ekonomi di masyarakat pedesaan.
Industri tenun pun menjadi lebih dari sekadar tradisi. Ia kini menjadi wajah baru pembangunan inklusif berbasis desa tempat warisan budaya dan harapan masa depan dijalin dengan benang yang sama: Dana Desa.