Hilirisasi Nikel RI Harus Penuhi Standar ESG

Jumat, 11 Juli 2025 | 14:49:08 WIB
Hilirisasi Nikel RI Harus Penuhi Standar ESG

JAKARTA - Dalam upaya memperkuat posisi sebagai produsen nikel terbesar di dunia, Indonesia kini menghadapi tantangan baru: memastikan bahwa seluruh proses hilirisasi nikel memenuhi standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (Environmental, Social, and Governance/ESG). Tanpa pemenuhan prinsip-prinsip tersebut, keberhasilan Indonesia dalam membangun industri hilir dikhawatirkan tidak akan berdampak optimal secara ekonomi dan diplomatik.

Isu ini mencuat kembali dalam diskusi khusus sektor pertambangan, di mana berbagai pemangku kepentingan menyoroti perlunya komitmen yang lebih serius terhadap ESG. Pasalnya, negara-negara tujuan ekspor nikel serta para produsen kendaraan listrik sebagai konsumen akhir, kini makin selektif dalam memastikan bahan baku yang mereka gunakan berasal dari sumber yang bertanggung jawab.

Wakil Koordinator Bidang Pengembangan Model Bisnis di Satuan Tugas Hilirisasi, Imanuddin Abdullah, menegaskan bahwa keberhasilan Indonesia dalam mengembangkan hilirisasi nikel sangat bergantung pada kesesuaian dengan standar ESG global. Jika tidak, menurutnya, ada potensi besar bahwa produk nikel Indonesia tidak akan diterima pasar internasional.

"Karena kita akan menjual produk ini untuk negara dan final consumer yang peduli dengan lingkungan. Kalau misalnya kita tidak memenuhi checkbox ini, kita khawatir produk kita itu tidak bisa dijual," ungkap Imanuddin dalam sesi dialog yang disiarkan CNBC Indonesia.

Ia mengingatkan bahwa keberadaan pabrik-pabrik pengolahan nikel yang sudah berdiri belum tentu menjamin keberlanjutan bisnis, apabila pasar menolak produk akibat tidak patuh terhadap standar keberlanjutan. Di sinilah aspek ESG dianggap sangat krusial, karena menyangkut kepercayaan dan daya saing global produk mineral Indonesia.

Tak hanya menyangkut penjualan, menurut Imanuddin, ESG juga punya korelasi langsung dengan iklim investasi. “Sudah dipanggungkan pabriknya, jangan-jangan tidak ada yang mau beli. Nah, itu yang menjadi titik tekan,” tambahnya, menggambarkan risiko besar jika standar ESG diabaikan.

Sementara itu, dari sisi pelaku usaha, tantangan dalam memenuhi standar ESG juga tidak ringan. Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menyatakan bahwa upaya pelaku industri dalam menerapkan ESG kini sedang berlangsung. Namun, ia menilai standar internasional ESG saat ini masih sangat sulit untuk bisa diterapkan sepenuhnya di Indonesia.

"Kan, proses audit ini nggak gampang. Itu kembali bahwa apa yang mereka lakukan, list parameter dari ESG standar internasional itu kalau saya bilang nggak proper untuk Indonesia," jelas Meidy.

Menurutnya, Indonesia harus mencari pendekatan yang tepat, yakni standar ESG yang realistis untuk diterapkan di lapangan, namun tetap mampu memenuhi ekspektasi pasar global. Ia menyebut, hanya sebagian kecil perusahaan dunia yang saat ini sudah tersertifikasi sepenuhnya dalam aspek ESG.

Meski tantangannya besar, APNI tidak tinggal diam. Meidy mengungkapkan bahwa pihaknya kini tengah menjalin komunikasi dengan lembaga pengukuran ESG untuk mendesain pendekatan yang cocok diterapkan dalam operasi nikel di Indonesia. Fokus utamanya adalah mengidentifikasi kesenjangan (gap analysis) antara regulasi nasional dengan indikator ESG internasional.

"Dan kita mencari gap analisis, 57 aturan di Indonesia yang mengatur tentang ESG. Itu sudah kita rekap, dan apa gapnya, dan bagaimana kekosongan itu yang akan kita isi," jelas Meidy.

Dia juga menyatakan bahwa terdapat 57 aspek ESG yang menjadi perhatian utama dalam mengukur kepatuhan perusahaan terhadap prinsip keberlanjutan. Penyusunan indikator tersebut nantinya akan disesuaikan dengan karakteristik industri nikel nasional, tanpa mengurangi nilai-nilai utama dalam ESG itu sendiri.

Langkah ini menjadi krusial, sebab hilirisasi nikel telah menjadi strategi utama pemerintah dalam mendorong nilai tambah dari komoditas tambang. Pemerintah juga mendorong agar hasil dari hilirisasi tersebut dapat menjadi bahan baku utama industri baterai kendaraan listrik, seiring meningkatnya permintaan global atas kendaraan ramah lingkungan.

Namun, seperti diingatkan oleh para pengamat dan pelaku usaha, ambisi tersebut harus dibarengi dengan peningkatan kualitas pengelolaan sumber daya. ESG menjadi instrumen penting untuk menjamin bahwa industri ini berkembang tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga berkontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan dan sosial.

Dengan adanya upaya menyusun pendekatan ESG yang kontekstual untuk Indonesia, diharapkan para pelaku industri dapat segera menyesuaikan diri. Ke depan, sertifikasi dan kepatuhan terhadap ESG diyakini akan menjadi syarat utama untuk bisa berpartisipasi dalam rantai pasok global, khususnya dalam sektor strategis seperti baterai dan energi terbarukan.

Di tengah urgensi transisi energi global, peran Indonesia sebagai penyedia bahan baku kritis seperti nikel semakin strategis. Namun peran itu hanya akan diakui dan dimanfaatkan secara optimal apabila dibarengi dengan komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip ESG.

Dengan demikian, transformasi industri pertambangan nasional tidak cukup hanya dengan membangun pabrik dan meningkatkan produksi, tetapi juga harus melibatkan perubahan paradigma dalam tata kelola dan keberlanjutan. ESG bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan syarat mutlak bagi daya saing nikel Indonesia di pasar global.

Terkini