JAKARTA - Kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan merupakan fondasi penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional. Untuk menjamin hal itu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terus memperkuat perannya sebagai pelindung dana nasabah, tidak hanya melalui penjaminan simpanan, tetapi juga lewat transformasi menyeluruh dalam menangani potensi krisis perbankan sejak dini.
Salah satu bukti nyata komitmen tersebut adalah capaian LPS dalam menjamin total 71,82 juta rekening bank yang tersebar di seluruh wilayah Jawa Timur. Jumlah itu merupakan bagian dari 626,76 juta rekening yang dijamin secara nasional oleh LPS. Angka tersebut menunjukkan bahwa hampir seluruh rekening nasabah bank di Indonesia kini berada dalam lingkup perlindungan LPS.
Untuk sektor perbankan rakyat, LPS juga mencatat telah menjamin sebanyak 2,58 juta rekening Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) di Jawa Timur, serta 15,71 juta rekening secara nasional. Data ini mencerminkan cakupan perlindungan yang luas dan menyeluruh terhadap simpanan masyarakat, baik di bank umum maupun lembaga keuangan mikro.
“LPS senantiasa menjaga kepercayaan terhadap industri perbankan melalui kecukupan penjaminan simpanan,” ujar Kepala Kantor Perwakilan LPS II Surabaya, Bambang S. Hidayat, dalam satu sesi pertemuan media di Malang.
Tidak hanya itu, LPS juga terus meningkatkan kecepatan dalam membayar klaim simpanan nasabah saat sebuah bank dicabut izin usahanya. Bila pada 2020, proses pembayaran klaim tahap pertama membutuhkan waktu rata-rata 14 hari kerja, kini proses tersebut hanya memerlukan waktu sekitar 5 hari kerja saja.
Bambang menyatakan bahwa percepatan ini merupakan bagian dari langkah strategis LPS untuk memberikan kepastian dan perlindungan yang optimal kepada masyarakat. “Rata-rata waktu pembayaran klaim penjaminan simpanan dari tahun ke tahun semakin cepat,” jelasnya.
Transformasi LPS tak berhenti pada penjaminan simpanan semata. Melalui Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), LPS kini memiliki kewenangan yang lebih luas sebagai otoritas resolusi bank. Posisi LPS diperkuat, tidak hanya sebagai paybox dan loss minimizer, tapi telah berkembang menjadi risk minimizer. Ini berarti, LPS dapat lebih awal terlibat dalam pemantauan dan penanganan bank bermasalah sebelum kondisi memburuk.
“Melalui undang-undang ini, fungsi LPS sebagai otoritas resolusi bank tidak hanya sekadar menjadi paybox dan loss minimizer, namun telah meningkat menjadi fungsi risk minimizer di mana kewenangan LPS juga telah dilengkapi dengan fungsi surveilans dan early involvement,” tegas Bambang.
Dalam praktiknya, LPS kini berwenang menangani Bank Dalam Resolusi (BDR). Hal ini memungkinkan LPS menjajaki berbagai opsi penyelamatan bank seperti mengundang investor strategis, mengalihkan aset dan kewajiban ke bank lain, atau menggunakan skema seperti bridge bank hingga purchase and assumption, sebelum mengambil langkah terakhir berupa likuidasi.
Contoh nyata keberhasilan pendekatan ini terlihat saat LPS berhasil menyelamatkan Bank Perekonomian Rakyat Indramayu Jabar (BIMJ) pada 2024. Bank yang semula masuk kategori BDR itu berhasil direstrukturisasi dan dikembalikan menjadi bank normal. Intervensi LPS yang melibatkan calon investor menjadi kunci keberhasilan proses resolusi tersebut.
Tak hanya memperkuat sistem perbankan, LPS juga telah dipersiapkan untuk mengemban amanah baru sebagai penyelenggara Program Penjaminan Polis (PPP) bagi industri asuransi. Mandat ini ditetapkan melalui UU P2SK dan akan efektif berlaku mulai Januari 2028.
Program ini dirancang untuk memberikan perlindungan terhadap pemegang polis, tertanggung, atau peserta dari perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya. Setiap perusahaan asuransi yang memenuhi tingkat kesehatan tertentu akan menjadi peserta wajib dari PPP, yang kriterianya ditentukan bersama oleh OJK dan LPS.
“Saat ini kami fokus pada persiapan menyeluruh, mulai dari penyusunan blueprint IT, pemenuhan SDM, pengembangan kompetensi teknis PPP, hingga penyusunan peraturan teknis,” ujar Bambang.
PPP akan menjamin unsur proteksi produk asuransi pada lini usaha tertentu, dengan pengecualian untuk asuransi sosial dan asuransi wajib. Bentuk perlindungan bisa berupa pengalihan portofolio polis kepada perusahaan asuransi lain yang sehat, atau pengembalian hak pemegang polis sesuai dengan batas penjaminan yang akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Langkah progresif ini menunjukkan bahwa LPS tidak hanya bertindak reaktif dalam melindungi simpanan nasabah, tetapi juga semakin proaktif dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Transformasi ini penting mengingat ekosistem keuangan nasional kian kompleks, dan risiko sistemik dapat muncul dari berbagai sektor, termasuk perbankan dan asuransi.
Dengan sistem perlindungan yang diperluas dan kemampuan resolusi yang diperkuat, LPS berada pada posisi strategis untuk mendukung ketahanan sektor keuangan nasional. Perlindungan terhadap simpanan nasabah dan polis asuransi tidak hanya penting dari sisi perlindungan individu, tetapi juga berperan besar dalam menjaga kepercayaan publik terhadap sistem keuangan.
Ke depan, LPS akan terus berinovasi dan menjalin kolaborasi yang erat dengan otoritas pengawas lainnya guna memastikan bahwa setiap potensi risiko dapat diantisipasi secara dini, serta ditangani dengan efektif dan efisien.