JAKARTA - Dalam upaya menjaga kesinambungan produksi industri pengolahan nikel dalam negeri, Indonesia membuka kemungkinan untuk kembali mengimpor bijih nikel dari Filipina. Meskipun sempat menjadi negara produsen utama yang mengedepankan larangan ekspor bahan mentah, dinamika kebutuhan industri justru mendorong Indonesia menempuh langkah berbeda.
Langkah impor ini bukan tanpa sebab. Pasokan bijih nikel dari dalam negeri dilaporkan tidak selalu stabil, menyebabkan beberapa smelter kekurangan bahan baku. Dalam konteks ini, opsi impor menjadi solusi jangka pendek yang dipilih untuk mencegah terganggunya produksi hilir nikel yang menyangkut banyak sektor strategis, termasuk baterai kendaraan listrik (EV).
Djoko Widajatno, anggota Dewan Penasihat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), menjelaskan bahwa potensi impor dari Filipina memang terbuka, tetapi volumenya kemungkinan jauh lebih rendah dari klaim 10 juta ton yang sebelumnya disampaikan pihak asing.
- Baca Juga Cuka Apel untuk Kesehatan Alami
“Impornya kurang dari 10 juta ton karena harga pengolahan nikel dari Filipina yang kadar 1,4 akan lebih mahal, sedangkan harga dan pasar feronikel turun yang akan mengurangi keuntungan perusahaan,” jelas Djoko.
Menurutnya, bijih nikel dari Filipina memiliki kandungan yang berbeda, dengan rasio silika dan magnesium lebih rendah. Hal ini memang membuatnya cocok untuk spesifikasi teknis beberapa smelter. Namun, nilai keekonomisannya masih kalah dibanding bijih nikel lokal.
Meski begitu, kondisi pasar global juga turut mempengaruhi kebijakan Indonesia. Harga nikel di bursa logam London Metal Exchange (LME) terus mengalami tekanan, menjauh dari titik tertingginya yang sempat melampaui US$20.000/ton. Per 15 Juli, harga nikel berada di kisaran US$15.064/ton, menandai tren penurunan akibat over-supply di pasar global.
Ketika harga global lesu, Indonesia justru menghadapi tantangan internal dalam menyeimbangkan produksi dengan kebutuhan industri hilir. Produksi bijih nikel Indonesia tahun 2024 ditaksir mencapai 240 juta ton, naik signifikan dari tahun sebelumnya yang sebesar 193,5 juta ton, berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Evaluasi terhadap angka tersebut kini tengah dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) demi menjaga stabilitas harga dan pasokan.
Menyikapi isu ini, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menyatakan bahwa masih terlalu dini untuk memastikan klaim peningkatan impor dari Filipina dalam jumlah besar. Data klaim baru bisa divalidasi setelah kargo benar-benar tiba di pelabuhan Indonesia.
Namun, ia mengakui bahwa ada kebutuhan khusus dari beberapa smelter di Indonesia yang memang cocok dengan karakteristik bijih nikel Filipina. “Untuk beberapa smelter nikel, kualitas ore dari Filipina lebih cocok buat mereka; khususnya terkait dengan rasio silika magnesiumnya yang lebih rendah,” ujarnya.
Menurut Hendra, perubahan regulasi RKAB oleh pemerintah Indonesia justru memberikan ruang fleksibilitas lebih besar bagi pelaku usaha untuk menyesuaikan perencanaan produksi dengan dinamika pasar. Artinya, kebijakan ini tidak serta-merta menjadi alasan utama peningkatan impor, melainkan sebagai adaptasi terhadap kondisi pasar nikel yang terus berubah.
Di sisi lain, dari sudut pandang pemasok, Filipina melihat tren peningkatan ekspor nikel ke Indonesia sebagai peluang. Presiden unit pertambangan DMCI Holdings Inc., Tulsi Das Reyes, bahkan memperkirakan pengiriman bijih nikel ke Indonesia bisa mencapai 5–10 juta ton tahun ini, naik signifikan dari hanya sekitar 1 juta ton pada 2023.
Namun Reyes juga menyampaikan pandangan realistisnya bahwa tren ini tidak akan bertahan lama. “Jika saya Indonesia, saya akan memaksimalkan apa yang saya miliki secara internal,” ujarnya.
Pernyataan Reyes mencerminkan ketegangan antara strategi jangka pendek Indonesia yang mengimpor nikel untuk menjaga pasokan smelter, dan strategi jangka panjang untuk meningkatkan kemandirian melalui optimalisasi sumber daya lokal.
Sementara itu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa impor bijih dan konsentrat nikel dari Filipina telah mencapai 2,77 juta ton hanya dalam tahun 2025. Pada 2024, total impor nikel dari Filipina mencapai lebih dari 10 juta ton, menandakan lonjakan signifikan dari tahun ke tahun.
Beberapa pelabuhan utama yang menerima kiriman tersebut termasuk Morowali di Sulawesi Tengah dan Weda Bay di Maluku Utara, menunjukkan bahwa aktivitas impor telah menyentuh wilayah-wilayah basis industri nikel utama di Indonesia. Dari Weda Bay saja tercatat 1,20 juta ton nikel diimpor.
Di balik dinamika perdagangan ini, terlihat jelas bahwa Indonesia tengah menghadapi dilema antara kebutuhan menjaga kesinambungan produksi industri dalam negeri dan idealisme kebijakan hilirisasi nasional. Sementara Filipina, sebagai produsen bijih nikel terbesar kedua dunia, masih tertinggal dalam membangun infrastruktur pengolahan sendiri akibat keterbatasan modal.
Rencana larangan ekspor bijih mentah di Filipina yang bertujuan mendorong investasi dalam pabrik pengolahan pun sempat mendapat penolakan dari parlemen dan pelaku industri, menambah kompleksitas rantai pasok regional.
Pada akhirnya, Indonesia tetap perlu mengambil langkah strategis dan berhati-hati untuk menjaga posisi dominan dalam industri nikel global, seraya memastikan bahwa hilirisasi tetap menjadi tulang punggung kebijakan energi dan industri masa depan.