JAKARTA - Model pendidikan inklusif kini semakin nyata diwujudkan oleh Pemerintah Kota Solo. Melalui peresmian Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 17, Solo membuka akses lebih luas bagi generasi muda dari kalangan prasejahtera untuk menikmati pendidikan berkualitas tanpa dipungut biaya.
Sekolah yang diresmikan pada Senin, 14 Juli 2025 itu hadir bukan hanya sebagai lembaga pendidikan biasa, tetapi sebagai bagian dari visi besar Pemkot Solo untuk mengentaskan kesenjangan pendidikan dengan pendekatan berbasis asrama atau boarding school. Fasilitas lengkap serta bebas biaya menjadi fondasi utama dalam membangun SRMA 17 sebagai simbol keberpihakan terhadap kelompok yang selama ini terpinggirkan dalam sistem pendidikan formal.
Wali Kota Solo, Respati Ardi, menyampaikan bahwa pendirian sekolah ini bukanlah proyek instan, melainkan buah dari pemikiran panjang dan keinginan kuat menghadirkan keadilan sosial di sektor pendidikan.
“Fasilitas yang kami sediakan di SRMA 17 bertujuan untuk membiasakan siswa dengan sistem asrama. Ini bukan hanya soal tempat tinggal, tetapi tentang pembentukan karakter, kemandirian, dan rasa tanggung jawab sejak dini,” kata Respati saat peresmian.
Sekolah Asrama sebagai Solusi Pemerataan
SRMA 17 membawa konsep unik karena mengintegrasikan sistem boarding school ke dalam pendidikan rakyat, yang selama ini lebih dikenal sebagai pendekatan informal berbasis komunitas. Namun berbeda dengan sekolah rakyat tradisional, SRMA 17 menggunakan pendekatan kurikulum nasional dan dilengkapi sarana modern—mulai dari ruang kelas multimedia, laboratorium IPA, ruang perpustakaan digital, hingga asrama siswa dengan standar kenyamanan tinggi.
Tujuan dari sistem asrama adalah untuk mengurangi disparitas sosial dan geografis. Banyak anak dari pinggiran Solo atau bahkan luar kota yang kesulitan mengakses sekolah unggulan di pusat kota karena keterbatasan transportasi dan biaya hidup. Dengan tinggal di lingkungan sekolah, mereka dapat fokus belajar tanpa terbebani urusan logistik harian.
“Kami ingin anak-anak ini merasa setara. Mereka berhak atas fasilitas terbaik, pendidikan terbaik, dan kesempatan terbaik,” lanjut Respati.
Gratis Tapi Berkualitas: SRMA 17 Usung Konsep Efisiensi Sosial
Salah satu aspek paling menonjol dari SRMA 17 adalah kebijakan biaya nol rupiah. Seluruh pembiayaan sekolah, mulai dari makan, tempat tinggal, perlengkapan sekolah, hingga bimbingan tambahan disubsidi oleh Pemerintah Kota Solo. Hal ini menjadi solusi strategis untuk mengurangi angka putus sekolah dan meningkatkan angka partisipasi sekolah menengah atas, yang di banyak daerah masih rendah.
Namun, gratis bukan berarti murahan. Pemkot Solo menggandeng sejumlah mitra, termasuk perusahaan swasta, perguruan tinggi, dan komunitas relawan pendidikan untuk ikut terlibat dalam penyusunan program, pengawasan mutu, dan pelatihan guru di SRMA 17. Guru-guru yang mengajar di sekolah ini dipilih secara ketat dan dibekali pelatihan khusus tentang pendekatan pendidikan inklusif dan berbasis karakter.
Menjawab Tantangan Generasi Emas 2045
Konsep SRMA 17 juga selaras dengan arah kebijakan nasional menuju Indonesia Emas 2045. Pemerintah pusat menargetkan bonus demografi Indonesia dapat dimanfaatkan secara optimal melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia sejak usia sekolah. Program seperti SRMA 17 menjadi kontribusi nyata pemerintah daerah terhadap misi besar tersebut.
Melalui model pendidikan berbasis asrama, siswa juga dibekali pelatihan non-akademik seperti kepemimpinan, kewirausahaan, hingga pendidikan karakter. Mereka tidak hanya disiapkan untuk lulus ujian nasional, tetapi juga untuk menghadapi realita kehidupan sosial dan ekonomi ke depan.
“Di sini kami ingin membentuk anak-anak yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh secara mental dan siap menjadi pemimpin di masa depan,” jelas Kepala Dinas Pendidikan Kota Solo, Nur Cahyo.
Respons Positif dari Warga dan Tokoh Pendidikan
Program ini pun disambut positif oleh warga Solo. Sejumlah orang tua dari kalangan ekonomi bawah merasa terbantu karena anak-anak mereka akhirnya punya tempat belajar yang setara dengan sekolah swasta unggulan, tanpa harus mengeluarkan biaya besar.
Sementara itu, akademisi dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Prof. Dwi Rahayu, menilai model SRMA 17 patut dijadikan studi kasus nasional tentang bagaimana pemerintah daerah dapat berinovasi dalam mengatasi ketimpangan pendidikan.
“Kombinasi antara sistem asrama, biaya gratis, dan kurikulum berbasis karakter merupakan langkah progresif. Ini bukan hanya sekolah, tapi sebuah ekosistem pendidikan,” ujarnya.
Tantangan Ke Depan dan Harapan Pemerintah Kota
Meski menuai pujian, Pemkot Solo menyadari tantangan tetap ada. Pengelolaan sekolah berbasis asrama membutuhkan komitmen jangka panjang, mulai dari pembiayaan operasional, pemeliharaan fasilitas, hingga monitoring perkembangan siswa. Untuk itu, Pemkot merancang sistem evaluasi berkala dan membuka ruang kolaborasi dengan lembaga pendidikan nasional untuk memastikan SRMA 17 tetap relevan dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
Respati Ardi menegaskan bahwa SRMA 17 bukanlah proyek satu kali, melainkan awal dari rencana jangka panjang membangun jaringan sekolah serupa di wilayah lain di Solo dan sekitarnya.
“Kami ingin menciptakan ekosistem pendidikan yang merata. Ke depan, SRMA bukan hanya angka 17, tapi bisa 18, 19, dan seterusnya. Setiap anak Solo harus punya kesempatan yang sama untuk sukses,” tutupnya.