JAKARTA - Di tengah kondisi pasar yang penuh tantangan, pergerakan harga batu bara global menunjukkan tren yang bervariasi. Ketidakpastian yang dipicu oleh lonjakan produksi batu bara domestik di China menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi harga komoditas ini di pasar dunia.
Pada perdagangan Kamis, 17 Juli 2025 harga batu bara Newcastle untuk kontrak Juli 2025 tercatat stagnan di level US$ 110 per ton. Untuk kontrak bulan berikutnya, yaitu Agustus 2025, harga mengalami koreksi tipis sebesar US$ 0,5 menjadi US$ 111,5 per ton. Sementara itu, kontrak September 2025 justru mengalami sedikit kenaikan sebesar US$ 0,05 dan diperdagangkan pada level US$ 112,15 per ton.
Di sisi lain, harga batu bara Rotterdam justru mengalami tekanan yang lebih besar. Untuk kontrak Juli 2025, harga turun sebesar US$ 0,4 menjadi US$ 105,15 per ton. Koreksi lebih dalam terjadi pada kontrak Agustus 2025 yang jatuh US$ 0,8 menjadi US$ 103,4 per ton. Untuk kontrak September 2025, harga ikut terpangkas sebesar US$ 0,85 ke level US$ 103,35 per ton.
China Tingkatkan Produksi, Impor Dikurangi
Melimpahnya pasokan batu bara dari China menjadi salah satu alasan utama fluktuasi harga global. Dalam laporan yang dikutip dari oilprice.com, produksi batu bara domestik China mencatatkan rekor tertinggi pada periode Januari hingga Mei 2025. Produksi tahunan negara itu bahkan diproyeksikan naik sekitar 5% hingga akhir tahun ini.
Situasi kelebihan pasokan ini membuat China menurunkan volume impor batu baranya secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Tak hanya itu, Negeri Tirai Bambu juga mulai mendorong ekspor batu bara sebagai strategi untuk mengelola kelebihan pasokan dalam negeri.
Langkah tersebut menimbulkan efek domino di pasar global, di mana pasokan batu bara semakin membanjiri pasar internasional. Kondisi ini, ditambah dengan permintaan listrik berbasis batu bara yang masih lemah, turut mendorong harga batu bara ke level yang lebih rendah.
Pasar Dibanjiri Batu Bara Murah
Analis pasar batu bara mengungkapkan bahwa situasi penurunan harga saat ini sudah dapat diprediksi sejak awal tahun. Pasalnya, sejumlah indikator seperti harga domestik China yang rendah, permintaan yang lesu, dan stok batu bara yang masih tinggi di pelabuhan-pelabuhan utama telah terlihat sejak kuartal pertama 2025.
“Dengan harga domestik yang rendah, permintaan yang lesu, dan stok batu bara di pelabuhan yang masih tinggi, penurunan impor ini sudah diprediksi sejak awal tahun,” ungkap analis seperti dikutip dalam laporan tersebut.
Strategi China untuk mengelola stok dengan mengurangi impor dan mendorong ekspor menghasilkan tekanan harga di pasar regional, khususnya di Asia. Negara-negara eksportir utama seperti Indonesia dan Australia ikut merasakan dampak dari strategi ini, terutama dalam hal harga jual dan volume ekspor.
Tren Koreksi Berlanjut di Tengah Permintaan Lemah
China, sebagai konsumen dan importir batu bara terbesar dunia, mencatatkan rekor impor lebih dari 500 juta ton sepanjang 2024. Namun, tren koreksi signifikan mulai terjadi sejak awal 2025. Penurunan permintaan impor dari China diyakini akan berlanjut dalam beberapa bulan ke depan, seiring upaya negara tersebut menyeimbangkan pasokan domestik dan konsumsi dalam negeri.
Kondisi ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi negara-negara pengekspor batu bara. Bagi Indonesia, yang merupakan salah satu eksportir batu bara termurah di dunia, penurunan harga dan permintaan dari China dapat memengaruhi penerimaan negara, terutama dari sisi ekspor komoditas energi.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia diketahui sedang mempertimbangkan penerapan pungutan ekspor batu bara sebagai langkah optimalisasi penerimaan negara. Langkah ini bisa menjadi instrumen fiskal baru dalam menyeimbangkan kebutuhan penerimaan negara dengan tekanan pasar global.
Prospek Pasar Masih Dibayangi Ketidakpastian
Melihat perkembangan terbaru, pelaku pasar dan analis memperkirakan bahwa tekanan harga batu bara kemungkinan akan terus berlanjut dalam jangka pendek. Meskipun ada potensi rebound, terutama jika terjadi gangguan pasokan atau peningkatan konsumsi di negara-negara berkembang, namun saat ini fokus pasar masih tertuju pada faktor pasokan berlebih yang berasal dari China.
Kondisi stok yang tinggi, terutama di pelabuhan-pelabuhan utama China, menunjukkan bahwa pemulihan harga tidak akan berlangsung cepat. Apalagi, jika permintaan listrik berbasis batu bara tetap rendah akibat pergeseran ke energi terbarukan atau faktor cuaca yang tidak mendukung lonjakan konsumsi listrik.
Dengan demikian, pasar batu bara global masih harus menghadapi dinamika harga yang tidak stabil, setidaknya hingga China menyesuaikan kembali strategi produksinya atau terjadi perubahan signifikan pada permintaan global.