JAKARTA - Di tengah upaya pemulihan industri penerbangan nasional, langkah Garuda Indonesia untuk membeli 50 unit pesawat Boeing langsung mengundang sorotan tajam. Banyak yang menganggap kebijakan ini sebagai strategi berani menuju kebangkitan pasca-restrukturisasi. Namun, sebagian lainnya, terutama kalangan ekonom, justru melihatnya sebagai keputusan berisiko tinggi yang bisa menjerumuskan perusahaan ke dalam krisis berikutnya.
Langkah ekspansif ini tentu menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, pembelian pesawat baru bisa menandai optimisme dalam menyambut pertumbuhan industri aviasi nasional. Di sisi lain, besarnya nilai investasi serta kondisi internal Garuda yang masih belum sepenuhnya stabil menjadi alasan kuat untuk mempertanyakan urgensinya.
Ekonom Achmad Nur Hidayat secara terbuka menyuarakan keprihatinan terhadap kebijakan tersebut. Menurutnya, pembelian besar-besaran di tengah situasi keuangan yang belum pulih justru dapat menciptakan tekanan baru dalam struktur keuangan Garuda Indonesia.
“Apakah ini langkah kebangkitan atau justru tiket menuju krisis berikutnya?” kata Achmad.
Ia merinci bahwa harga rata-rata pesawat Boeing 737 MAX maupun 787 Dreamliner berkisar antara USD 120 juta hingga 150 juta per unit, tergantung tipe dan konfigurasi. Jika 50 unit dibeli, maka nilai transaksinya dapat mencapai USD 6–7,5 miliar atau sekitar Rp 96–120 triliun dengan asumsi kurs saat ini.
“Angka ini setara dengan tiga kali lipat belanja modal Kementerian Perhubungan 2025 dan nyaris 20 persen APBN sektor infrastruktur transportasi nasional,” ungkap Achmad.
Perbandingan tersebut menggambarkan betapa besar skala investasi yang akan dikeluarkan Garuda. Sebagai maskapai pelat merah, beban finansial Garuda berpotensi menjadi tanggungan publik jika terjadi gagal bayar di masa mendatang. Apalagi, status Garuda sebagai BUMN strategis membuatnya sangat mungkin mendapat intervensi fiskal apabila kembali mengalami masalah likuiditas.
Achmad menegaskan bahwa meskipun restrukturisasi utang melalui mekanisme PKPU telah dijalankan, kondisi keuangan maskapai belum benar-benar stabil. Masih ada tantangan besar dalam menjaga cash flow, efisiensi operasional, dan pemulihan pangsa pasar. Dalam situasi seperti ini, pembelian pesawat dalam jumlah besar dianggapnya sebagai keputusan yang sangat berisiko.
Di luar isu internal Garuda, perhatian publik juga tertuju pada kondisi pabrikan Boeing itu sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, reputasi Boeing terguncang akibat serangkaian insiden yang melibatkan produk-produknya, khususnya tipe 737 MAX.
Pesawat jenis ini sempat di-grounded selama dua tahun setelah dua kecelakaan fatal di Lion Air dan Ethiopian Airlines yang menewaskan ratusan penumpang. Masalah desain MCAS menjadi sorotan tajam regulator dunia. Belum lama ini, insiden panel terlepas di pesawat Boeing 737 MAX 9 milik Alaska Airlines kembali mengguncang kepercayaan pasar dan memicu penyelidikan mendalam dari otoritas penerbangan sipil Amerika Serikat, FAA.
Tak berhenti di sana, laporan dari whistleblower mengenai cacat produksi pada jalur perakitan 737 dan 787 turut memperburuk citra Boeing sebagai produsen pesawat komersial. Risiko teknis yang melekat pada pesawat-pesawat ini bisa berdampak besar bagi maskapai pembeli, termasuk Garuda Indonesia.
“Jika Garuda membeli 50 unit Boeing dengan dominasi 737 MAX, risiko teknis, operasional, dan reputasi akan membayangi siklus hidup pesawat tersebut,” ujar Achmad.
Di sisi lain, ada tekanan geopolitik yang juga perlu dicermati. Pemerintah Amerika Serikat, khususnya dalam masa kepemimpinan Donald Trump, diketahui aktif mendorong negara-negara mitra untuk membeli produk-produk unggulan AS seperti pesawat terbang dan produk pertanian. Dalam konteks kerja sama dagang dan penurunan tarif, pembelian pesawat dari Boeing bisa saja menjadi bagian dari negosiasi politik dan ekonomi yang lebih luas.
Achmad menyoroti bahwa fokus Garuda seharusnya diarahkan pada strategi pemulihan yang lebih realistis dan fundamental. Bukan melalui ekspansi armada besar-besaran, melainkan dengan penguatan internal seperti efisiensi operasional, optimalisasi rute, dan peningkatan tata kelola.
Ia menyarankan beberapa langkah konkret seperti memperbaiki utilisasi armada eksisting, membenahi governance dan sistem pengawasan keuangan, serta memaksimalkan sinergi melalui kerja sama codeshare dan route sharing dengan maskapai mitra. Selain itu, optimalisasi lini bisnis kargo dan pengembangan model LCC (low-cost carrier) juga menjadi pilihan strategis yang lebih sesuai dengan kondisi Garuda saat ini.
“Membeli armada jumbo tanpa kesiapan finansial yang kokoh dan governance yang sehat justru dapat menimbulkan krisis baru di masa depan,” tegas Achmad.
Situasi ini membuat banyak pihak mempertanyakan arah manajemen Garuda dalam menyusun strategi jangka panjang. Apakah pembelian 50 unit Boeing merupakan bagian dari rencana ekspansi berbasis riset dan data? Ataukah hanya sekadar langkah politis dan simbolik untuk menunjukkan eksistensi maskapai di tengah ketidakpastian?
Masyarakat dan pemangku kepentingan tentu berharap Garuda mampu bangkit secara sehat, tanpa harus mengorbankan keberlanjutan keuangan atau mengandalkan intervensi negara yang berulang. Ketika publik masih menaruh simpati terhadap proses penyelamatan Garuda sebelumnya, transparansi dan kehati-hatian dalam kebijakan ekspansi justru menjadi tuntutan utama.