JAKARTA - Meningkatnya suhu permukaan tanah akibat cuaca ekstrem dan kekeringan kembali memicu kekhawatiran terhadap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera. Dalam kondisi ini, Riau kembali menjadi provinsi dengan tingkat kewaspadaan tertinggi, karena mendominasi jumlah titik panas (hotspot) di Pulau Sumatera.
Dari hasil pemantauan citra satelit milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sebanyak 1.292 titik panas terdeteksi tersebar di berbagai provinsi di Sumatera. Dari jumlah tersebut, Riau tercatat menyumbang 582 titik, menjadikannya sebagai wilayah dengan sebaran hotspot tertinggi.
Menurut keterangan Forecaster on Duty BMKG Stasiun Pekanbaru, Deby C, dua kabupaten di Riau menjadi kontributor utama terhadap peningkatan jumlah titik panas tersebut. “Kabupaten Rokan Hilir mencatatkan 244 titik panas, dan disusul Kabupaten Rokan Hulu dengan 192 titik,” ujar Deby.
Peningkatan jumlah hotspot tersebut dianggap sebagai indikasi nyata adanya aktivitas panas permukaan tanah yang signifikan. Kondisi ini menjadi sinyal bahaya bagi potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan, terutama di wilayah-wilayah yang didominasi lahan gambut.
Lahan gambut memang dikenal sangat rentan terbakar saat musim kemarau panjang. Kelembapan yang turun drastis, diperparah oleh tiupan angin kencang, membuat api lebih mudah menyebar. Deby menjelaskan bahwa Riau saat ini berada di fase puncak musim kemarau, yang diprediksi berlangsung dari Juli hingga Agustus. “Kondisi cuaca kering disertai angin kencang membuat lahan gambut menjadi sangat mudah terbakar,” katanya.
Selain Rokan Hilir dan Rokan Hulu, sejumlah wilayah lain di Riau juga menunjukkan jumlah titik panas yang mengkhawatirkan. Kabupaten Kampar mencatatkan 40 titik, Pelalawan sebanyak 30 titik, Bengkalis 21 titik, dan Kota Dumai memiliki 22 titik panas.
Sementara itu, Kabupaten Siak melaporkan keberadaan 15 titik panas, Kepulauan Meranti 9 titik, Kuantan Singingi 7 titik, dan bahkan Kota Pekanbaru, sebagai pusat pemerintahan provinsi, ikut terdampak dengan 2 titik panas yang terdeteksi.
Data ini menunjukkan bahwa hampir seluruh wilayah administratif di Riau terkena dampak dari kondisi ekstrem yang tengah berlangsung. Situasi ini memperkuat kekhawatiran bahwa jika tidak ditangani dengan cepat dan tegas, potensi karhutla di provinsi ini dapat berkembang menjadi bencana yang meluas.
Riau memang bukan kali pertama menjadi pusat perhatian dalam isu kebakaran lahan. Setiap musim kemarau tiba, provinsi ini selalu masuk dalam daftar wilayah rawan karhutla, terutama karena karakteristik lahannya yang luas berupa gambut dan vegetasi mudah terbakar. Berbagai upaya penanggulangan seperti patroli udara, pengawasan satelit, hingga penyuluhan kepada masyarakat dan korporasi terus dilakukan pemerintah dan instansi terkait.
Namun, meningkatnya jumlah titik panas tahun ini menandakan bahwa tantangan tersebut belum sepenuhnya bisa ditekan. Tidak hanya faktor alam, aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab juga turut berkontribusi, seperti pembakaran lahan untuk pembukaan kebun.
Selain Riau, provinsi-provinsi lain di Sumatera juga tidak luput dari pantauan BMKG. Sumatera Utara tercatat sebagai wilayah dengan jumlah titik panas terbanyak kedua, yakni 236 titik. Diikuti oleh Sumatera Selatan dengan 125 titik, Sumatera Barat 122 titik, dan Jambi 96 titik.
Provinsi Bangka Belitung melaporkan 79 titik panas, sementara Bengkulu memiliki 27 titik, Lampung 20 titik, dan Kepulauan Riau mencatatkan 5 titik. Meskipun jumlahnya tidak sebesar di Riau, angka-angka ini tetap menjadi perhatian, karena menunjukkan persebaran potensi karhutla di hampir seluruh wilayah Sumatera.
Kondisi ini menegaskan urgensi perlunya koordinasi lintas sektoral dalam mencegah dan menangani kebakaran hutan dan lahan. Tidak cukup hanya dengan mendeteksi titik panas, tetapi juga memerlukan aksi nyata di lapangan, mulai dari peningkatan kesadaran masyarakat hingga penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran ilegal.
Pemerintah daerah di Riau diharapkan dapat memperkuat langkah-langkah antisipatif, termasuk mengaktifkan satuan tugas karhutla, melakukan pemantauan lapangan yang intensif, serta menggandeng TNI dan Polri untuk patroli gabungan. Selain itu, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sektor perkebunan juga harus dilibatkan secara aktif untuk mencegah munculnya titik api di area konsesi mereka.
Peringatan dini seperti yang disampaikan BMKG seharusnya menjadi momentum untuk mempercepat langkah mitigasi, bukan sekadar laporan statistik. Karena ketika hotspot telah berubah menjadi kobaran api, dampak yang ditimbulkan bukan hanya kerusakan lingkungan, tetapi juga membahayakan kesehatan masyarakat akibat kabut asap yang ditimbulkan.
Sejarah mencatat, bencana kabut asap akibat karhutla di Sumatera pernah menyebabkan gangguan penerbangan, penutupan sekolah, hingga peningkatan penyakit ISPA. Oleh karena itu, keberadaan 1.292 titik panas di Sumatera saat ini seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak.
Dengan kondisi cuaca yang belum menunjukkan tanda-tanda membaik, tindakan pencegahan dan respons cepat menjadi kunci utama dalam menekan risiko bencana. Semua elemen, baik pemerintah, pelaku usaha, maupun masyarakat, harus bersinergi demi menjaga kelestarian lingkungan dan keselamatan bersama.