Anies Baswedan Diapresiasi Pengamat: Seruan Demokrasi Substantif

Jumat, 25 Juli 2025 | 13:24:39 WIB
Anies Baswedan Diapresiasi Pengamat: Seruan Demokrasi Substantif

JAKARTA - Di tengah suasana politik nasional yang belum sepenuhnya pulih dari hiruk-pikuk Pemilu 2024, mantan calon presiden Anies Baswedan kembali mencuri perhatian lewat pidatonya dalam Rapat Pimpinan Nasional Gerakan Rakyat. Alih-alih menyuarakan kekecewaan atau sikap reaktif pasca kekalahan, Anies justru tampil dengan narasi yang terstruktur dan menyeluruh mengenai arah perjuangan demokrasi ke depan.

Pidato tersebut tidak hanya mendapat sambutan dari para pendukung, namun juga menuai apresiasi dari kalangan pengamat sosial-politik. Nazaruddin, seorang analis politik, menilai bahwa pernyataan Anies dalam forum itu sarat pesan strategis. Menurutnya, Anies tidak sedang berupaya menciptakan perlawanan sesaat, melainkan merintis sebuah landasan ideologis jangka panjang.

“Pertama-tama, Anies mengangkat isu ancaman terhadap demokrasi secara global, dan menempatkan dinamika di Indonesia sebagai bagian dari fenomena tersebut. Ini bukan hanya retorika nasional, tapi upaya mengajak publik merasa menjadi bagian dari perjuangan internasional untuk menjaga nilai-nilai demokratis,” kata Nazaruddin.

Lebih jauh, Anies menyampaikan kekhawatiran terhadap kecenderungan konsolidasi kekuasaan. Ia menyoroti pentingnya pembatasan masa jabatan pemimpin sebagai mekanisme koreksi dalam sistem demokrasi. Menurut Nazaruddin, ini merupakan kritik tersirat terhadap kecenderungan otoritarianisme yang tumbuh secara perlahan melalui manipulasi aturan atau apatisme publik.

“Yang dia bangun bukan hanya kritik prosedural, tapi juga kesadaran bahwa demokrasi adalah semangat yang harus dijaga secara konsisten,” tambah Nazaruddin.

Tidak hanya berhenti pada wacana sistemik, Anies juga menekankan pentingnya stamina fisik, moral, dan intelektual dalam memperjuangkan perubahan. Hal ini menurut Nazaruddin mencerminkan upaya membentuk gerakan sosial yang lebih luas, bukan semata-mata kekuatan elektoral.

“Anies tampaknya sedang membangun jaringan loyal, bukan hanya untuk mempertahankan citranya, tetapi demi mewujudkan visi perubahan itu sendiri,” katanya.

Kesetiaan Anies terhadap basis relawan akar rumput juga tampak dalam pidatonya. Ia menegaskan akan terus menjaga hubungan dengan simpatisan yang bersifat non-partisan. Namun Nazaruddin mengingatkan, arah perjuangan ini akan sangat ditentukan oleh kemampuan Gerakan Rakyat dalam menginstitusionalisasi gagasannya.

“Apakah Gerakan Rakyat akan menjadi kekuatan politik riil dengan kapasitas organisasi yang kuat, atau hanya simbolik semata, itu yang akan menentukan relevansinya di masa depan,” ujarnya.

Pidato Anies pada pertemuan yang digelar di Jakarta Pusat itu juga menyinggung bahaya kemunduran demokrasi yang kini menghantui banyak negara, termasuk Indonesia. Ia mempertanyakan, “Apakah kita akan membiarkan demokrasi di Indonesia memburuk? Tidak,” serunya, yang langsung disambut tepuk tangan hadirin.

Anies juga membela pentingnya sistem demokrasi sebagai jalan koreksi arah bangsa, salah satunya lewat pembatasan masa jabatan pemimpin. Ia menekankan bahwa menjaga demokrasi adalah tanggung jawab semua warga, bukan hanya elite politik.

Tak ketinggalan, ia juga menyampaikan rasa terima kasih kepada para pendukung Gerakan Rakyat yang tetap konsisten memperjuangkan agenda perubahan. Dukungan itu menurutnya menjadi kekuatan moral sekaligus semangat untuk terus bergerak.

Sejalan dengan pemikiran Anies, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Muhammad Chirzin, turut menyampaikan keprihatinan atas kondisi demokrasi Indonesia dalam satu dekade terakhir. Ia menyoroti lemahnya kontrol institusional, semakin menurunnya independensi legislatif, serta pengesahan kebijakan kontroversial seperti revisi Undang-Undang KPK dan pemindahan ibu kota negara.

Chirzin menyebut perlunya kewaspadaan rakyat terhadap berbagai bentuk penyimpangan demokrasi. Ia mengajak publik untuk tetap aktif melakukan pengawasan dan tidak bersikap permisif.

“Rakyat harus terus awas dan melawan penyimpangan demokrasi. Jangan sampai kita jatuh dari mulut buaya ke mulut singa,” ujarnya, menyiratkan bahaya yang lebih besar jika masyarakat pasif terhadap kondisi politik yang memburuk.

Dalam konteks ini, pidato Anies Baswedan dinilai sebagai penegasan arah perjuangan yang tidak lagi semata menanti momentum elektoral. Ia berupaya menanamkan gagasan bahwa demokrasi adalah kesadaran kolektif yang harus dipelihara melalui gerakan sosial yang kuat dan berkelanjutan.

Nazaruddin menutup analisisnya dengan menegaskan bahwa strategi yang dibangun Anies bukan sekadar retorika oposisi, melainkan potensi cikal bakal gerakan politik yang berbasis pada nilai dan partisipasi.

“Kalau ini bisa diimplementasikan menjadi gerakan politik nyata bukan hanya dalam bentuk pidato maka akan muncul oposisi yang substantif dan punya pengaruh besar ke depan,” pungkasnya.

Terkini