JAKARTA - Munculnya kembali makanan tradisional dalam kemasan kekinian menjadi bukti bahwa kuliner Indonesia memiliki daya tahan dan daya tarik yang tak lekang oleh waktu. Salah satu contohnya adalah sego cokot, makanan berbahan dasar nasi yang kini viral dan menjadi favorit banyak orang sebagai menu sarapan praktis. Fenomena ini menggambarkan bagaimana kebutuhan masyarakat urban terhadap efisiensi di pagi hari mampu melahirkan tren kuliner yang sederhana namun inovatif.
Di tengah kesibukan pagi hari yang padat, mulai dari anak-anak yang harus berangkat sekolah hingga para pekerja yang berpacu dengan waktu, masyarakat membutuhkan solusi makanan yang cepat saji tanpa mengorbankan rasa dan kelezatan. Sego cokot hadir menjawab kebutuhan tersebut. Dengan harga terjangkau dan penyajian yang super praktis, makanan ini kini dapat ditemui di berbagai sudut kota setiap pagi.
Keunikan sego cokot terletak pada bentuk dan konsepnya. Nasi yang dikepal padat dengan isian lauk di dalamnya ini mudah dibawa, tidak merepotkan untuk dimakan, dan cukup mengenyangkan. Konsep ini sekilas mengingatkan pada lemper, salah satu jajanan pasar tradisional Indonesia. Namun, sego cokot tampil lebih fleksibel dalam varian isi dan rasa, menjadikannya favorit baru semua kalangan.
Tak hanya anak-anak yang menyukai kepraktisan makanan ini, orang dewasa pun merasa terbantu dengan hadirnya sego cokot di pagi hari. Pamela Damayanti (37), seorang ibu rumah tangga asal Kota Kediri, mengungkapkan bahwa sego cokot awalnya ia kenal sebagai menu sarapan yang bisa dibeli dengan harga sangat murah.
“Awalnya saya sering beli dan harganya sangat terjangkau, hanya Rp 5.000 saja. Setelah tahu resepnya dari YouTube Channel, saya pun mulai membuat sego cokot sendiri. Lebih praktis daripada harus keluar pagi-pagi dan mengantri,” kata Pamela.
Dengan bekal informasi dari internet, Pamela kemudian mencoba membuatnya sendiri di rumah. Ia mengaku, membuat sego cokot tidak memakan waktu lama dan justru mempermudah rutinitas paginya. Apalagi, dia bisa menyesuaikan isian sesuai selera keluarga.
Pamela menambahkan, “Kalau anak saya pulang sore, saya buatkan juga untuk bekalnya ke sekolah. Untuk daging isiannya saya variasi agar tidak bosan. Kadang pakai suwir ayam, ikan tuna, cumi, atau bisa juga pakai jamur dengan bumbu pedas manis. Sego cokot sebenarnya terinspirasi dari lemper yang sudah ada sejak dulu.”
Pernyataan Pamela ini memperkuat narasi bahwa viralnya sego cokot bukan sekadar tren semata, melainkan contoh nyata dari adaptasi kuliner tradisional yang mengikuti kebutuhan zaman. Dengan menambahkan variasi isian dan menggunakan bumbu yang kekinian, sego cokot berhasil menarik perhatian konsumen masa kini, yang cenderung memilih makanan ringkas tanpa mengorbankan selera.
Dari sisi penyajian, makanan ini memiliki nilai tambah. Selain karena bentuknya yang praktis, sego cokot tidak memerlukan peralatan makan khusus. Cukup dibungkus kertas minyak atau plastik makanan, ia bisa langsung dikonsumsi tanpa perlu piring dan sendok. Hal ini menjadikan makanan ini sangat cocok untuk mereka yang memiliki mobilitas tinggi di pagi hari.
Selain di Kediri, tren sego cokot kini mulai merambah berbagai kota lain. Penjual kaki lima hingga warung sarapan rumahan mulai menawarkan menu ini sebagai alternatif cepat saji. Keberadaannya pun cukup mudah dikenali karena biasanya dijajakan di trotoar atau depan rumah dengan tampilan yang menggoda.
Melihat fenomena ini, tak sedikit pelaku UMKM yang mencoba peruntungan dengan menjual sego cokot dalam berbagai variasi. Mereka memanfaatkan media sosial seperti TikTok dan Instagram untuk promosi, menjadikan makanan ini bukan hanya tren lokal tetapi juga memiliki potensi sebagai produk kuliner nasional yang ikonik.
Keberhasilan sego cokot sebagai makanan viral juga menunjukkan pentingnya kreativitas dalam mengemas ulang makanan tradisional. Transformasi dari makanan rumahan menjadi produk populer masa kini tidak hanya mendongkrak nilai ekonomis, tetapi juga melestarikan warisan kuliner Nusantara dalam bentuk yang relevan dengan kebutuhan masyarakat modern.
Fenomena ini seolah membuktikan bahwa untuk menjadi sukses, sebuah produk tidak selalu harus serba mewah atau mahal. Justru kesederhanaan yang dibarengi inovasi dan pemahaman terhadap kebutuhan konsumen bisa menciptakan peluang besar. Dalam hal ini, sego cokot adalah contoh ideal bagaimana adaptasi kuliner lokal bisa menjadi solusi sarapan praktis yang sehat, murah, dan menyenangkan.
Di tengah tren makanan cepat saji yang serba instan dan asing, kehadiran sego cokot sebagai pilihan lokal yang tak kalah menggoda patut diapresiasi. Kuliner ini bukan hanya mencerminkan kearifan lokal, tetapi juga menjadi simbol bagaimana warisan budaya bisa hidup kembali melalui pendekatan modern yang sederhana.