Harga Kopi Petani Sumsel Labil di Tengah Lonjakan Ekspor

Rabu, 06 Agustus 2025 | 14:38:50 WIB
Harga Kopi Petani Sumsel Labil di Tengah Lonjakan Ekspor

JAKARTA - Meningkatnya ekspor kopi dari Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel) tidak serta-merta membawa angin segar bagi para petani di wilayah tersebut. Di balik lonjakan volume pengiriman biji kopi ke luar negeri, para petani justru menghadapi realitas yang tidak sejalan, yakni harga jual kopi di tingkat lokal yang masih mengalami fluktuasi.

Tren ekspor komoditas kopi Sumsel memang menunjukkan grafik menanjak dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data dari Karantina Sumsel, sebanyak 19,8 ton kopi telah berhasil diekspor ke Malaysia melalui Pelabuhan Boom Baru di Kota Palembang. Nilai ekonomi dari pengiriman kopi tersebut diperkirakan mencapai Rp1,2 miliar, dan seluruh proses ekspor dilaporkan sudah melalui tahap karantina ketat untuk menjamin kualitas dan keamanan.

Kepala Karantina Sumsel, Sri Endah Ekandari, menjelaskan bahwa seluruh komoditas pertanian yang akan dikirim ke luar negeri harus memenuhi berbagai standar dan persyaratan teknis dari negara tujuan. "Kami pastikan kopi dari Sumsel aman, sehat, dan memenuhi ketentuan teknis. Hal ini juga untuk memperlancar proses ekspor di pelabuhan tujuan," ujarnya.

Tidak hanya pada ekspor terakhir, peningkatan volume pengiriman kopi asal Sumsel sudah terlihat sejak beberapa tahun ke belakang. Pada 2023, ekspor kopi dari wilayah ini baru mencapai 64 kilogram. Namun pada 2024 jumlahnya melonjak drastis menjadi 19,8 ton, dan pada paruh pertama 2025, volume ekspor sudah mencapai angka 127 ton. Capaian tersebut menjadi sinyal positif bagi potensi sektor perkebunan di provinsi tersebut.

"Januari hingga pertengahan 2025, ekspor kopi meningkat pesat mencapai volume 127 ton. Ini menunjukkan juga besarnya potensi sektor perkebunan Sumsel," tambah Sri Endah.

Namun, di sisi lain, harga kopi di tingkat petani belum menunjukkan perbaikan. Bahkan, penurunan harga justru terjadi bersamaan dengan dorongan besar-besaran ekspor kopi. Realitas ini dialami langsung oleh Umar Makruf, petani kopi dari Kecamatan Buay Pemaca, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan.

Umar menyebutkan bahwa saat ini harga kopi jenis Robusta petik merah hanya dihargai sekitar Rp43.000 per kilogram, sementara untuk kopi Arabika malah lebih rendah, yakni sekitar Rp35.000 per kilogram. Padahal sebelumnya, harga kopi sempat menyentuh titik tertinggi sebesar Rp75.000 per kilogram.

“Sayangnya harga di petani kita merosot, padahal kemarin pernah tertinggi di Rp75 ribu per Kg,” ujar Umar saat dihubungi.

Penurunan harga tersebut membuat banyak petani di wilayah OKU Selatan enggan segera menjual hasil panennya. Mereka memilih menyimpan kopi terlebih dahulu, sambil menanti kemungkinan kenaikan harga pada bulan-bulan mendatang, terutama memasuki September.

Umar juga menyoroti sisi produksi dari kebun kopinya. Untuk kopi Robusta, dia berhasil mencapai produksi sebesar 2,5 ton per hektare. Sedangkan untuk kopi Arabika, dengan total pohon sebanyak 400 batang, hasil panennya berada di kisaran 1 ton per hektare.

Meski menghadapi tantangan harga, Umar menyebutkan bahwa dari sisi teknis, para petani sudah mampu mengatasi berbagai ancaman hama dan penyakit tanaman. “Untuk sekarang tantangan tidak ada, karena petani sudah mengantisipasi hama dan penyakit. Kecuali kalau cuaca tidak bisa kita prediksi, tapi Alhamdulillah sekarang (cuaca) bersahabat,” ujarnya.

Kondisi serupa juga dirasakan oleh Abi La Baba, petani kopi asal Desa Serambi, Kecamatan Jarai, Kabupaten Lahat. Dia mengatakan bahwa harga kopi Robusta petik merah masih berada di kisaran Rp80.000 per kilogram, tetapi jenis Robusta petik pelangi mengalami penurunan harga menjadi Rp46.000 per kilogram.

“Masih bertengger di harga itu. Tapi untuk penurunan terjadi di Robusta petik pelangi yang sekarang Rp46 ribu per Kg,” ucapnya.

Abi, yang juga mengelola usaha kopi bernama Kopi Kite, menjelaskan bahwa masa panen di dataran rendah di daerahnya telah selesai. Saat ini, panen kopi hanya berlangsung di kawasan dataran tinggi.

“Saat ini panen kopi hanya berlangsung di dataran tinggi,” tutupnya.

Fenomena ekspor yang meningkat namun tidak diiringi kenaikan harga di tingkat petani menjadi sorotan penting. Hal ini menunjukkan adanya gap antara potensi pasar global dan realitas kesejahteraan petani di lapangan. Meskipun proses ekspor telah berjalan mulus, nilai jual kopi yang fluktuatif memberikan tekanan tersendiri bagi pelaku usaha di sektor hulu.

Ke depan, berbagai pihak berharap agar peningkatan volume ekspor juga bisa diikuti dengan pembenahan rantai distribusi dan penguatan harga beli di tingkat petani. Langkah-langkah seperti kebijakan penetapan harga minimum atau sistem kemitraan yang lebih adil dengan eksportir bisa menjadi alternatif solusi.

Dengan demikian, semangat untuk menjadikan kopi Sumsel sebagai komoditas unggulan ekspor tidak hanya menjadi pencapaian di atas kertas, tetapi juga berdampak langsung terhadap kesejahteraan petani yang menjadi fondasi utama sektor perkebunan ini.

Terkini

Istilah Gol Sepak Bola: Brace hingga Quintrick

Rabu, 06 Agustus 2025 | 15:26:22 WIB

Olahraga Sehat di Tengah Sibuknya Kota

Rabu, 06 Agustus 2025 | 15:33:03 WIB

Tiga Raja Juara VNL Voli Putra

Rabu, 06 Agustus 2025 | 15:36:17 WIB

Hernandez vs Dolidze: Duel Penentu UFC

Rabu, 06 Agustus 2025 | 15:41:43 WIB

Agustus Meriah Bareng Artis Korea

Rabu, 06 Agustus 2025 | 15:51:09 WIB