JAKARTA – Harga minyak dunia tercatat mengalami penurunan tajam pada perdagangan Rabu, 30 April 2025, yang menjadi penurunan bulanan terbesar dalam hampir 3,5 tahun terakhir. Harga minyak mentah Brent turun sebesar 1,13 Dolar AS atau 1,76 persen, ditutup di angka 63,12 Dolar AS per barel. Sementara itu, minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) anjlok lebih dalam, turun 2,21 Dolar AS atau 3,66 persen, yang menempatkannya pada posisi 58,21 Dolar AS per barel – harga terendah sejak Maret 2021.
Faktor Penyebab Penurunan Harga Minyak
Penurunan harga minyak dunia yang tajam ini disebabkan oleh beberapa faktor yang saling terkait, di antaranya kebijakan produksi dari Arab Saudi, salah satu produsen minyak terbesar di dunia, serta ketegangan dagang global yang menekan permintaan minyak.
Arab Saudi, yang merupakan pemimpin dalam kelompok produsen minyak OPEC+, baru-baru ini memberi sinyal akan meningkatkan produksi minyaknya untuk merebut kembali pangsa pasar yang telah hilang. Keputusan ini menambah kekhawatiran tentang kemungkinan terjadinya “perang produksi” antara negara-negara penghasil minyak utama, yang dapat memicu penurunan lebih lanjut dalam harga minyak dunia.
“Ini memunculkan kekhawatiran akan terjadinya perang produksi lagi,” kata Phil Flynn, analis senior dari Price Futures Group, yang mengomentari dinamika pasar minyak saat ini. “Apakah Arab Saudi ingin menunjukkan bahwa mereka siap merebut kembali pangsa pasarnya? Kita lihat saja nanti,” lanjutnya.
Selain itu, pada awal bulan ini, Arab Saudi telah mendorong peningkatan produksi OPEC+ yang melebihi rencana sebelumnya untuk Mei 2025. Beberapa negara anggota OPEC+ juga berencana mengusulkan kenaikan produksi lebih lanjut untuk bulan Juni. Pertemuan kelompok ini dijadwalkan pada 5 Mei 2025 untuk membahas langkah-langkah produksi berikutnya.
Pengaruh Perang Dagang dan Ekonomi Global
Di sisi lain, ketegangan dalam perdagangan global juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi permintaan minyak. Dengan adanya peningkatan perang dagang antara negara-negara besar, permintaan terhadap minyak mulai melemah, karena adanya penurunan aktivitas ekonomi dan perjalanan internasional yang turut terhambat.
Pavel Molchanov, analis strategi dari Raymond James, mengungkapkan bahwa “perang dagang mengurangi langsung permintaan minyak dan aktivitas perjalanan. Jika OPEC mencabut pengurangan produksi, maka risiko pasokan berlebih makin tinggi.” Pernyataan ini mengindikasikan bahwa langkah OPEC untuk meningkatkan produksi minyak justru berisiko menyebabkan kelebihan pasokan di pasar global, yang dapat memperburuk penurunan harga.
Kekhawatiran mengenai melemahnya ekonomi global juga menjadi faktor penggerak utama dalam penurunan harga minyak. Data ekonomi terbaru menunjukkan bahwa ekonomi Amerika Serikat mengalami kontraksi pada kuartal pertama tahun 2025, terutama disebabkan oleh lonjakan impor yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang berusaha menghindari biaya tinggi akibat perang dagang yang berlangsung.
Faktor Ekonomi AS dan Implikasi Jangka Panjang
Kontraksi ekonomi AS memberikan dampak signifikan pada sektor energi global. Penurunan permintaan dari Amerika Serikat, sebagai salah satu konsumen energi terbesar dunia, memengaruhi proyeksi permintaan global terhadap minyak mentah. Lonjakan impor yang terjadi pada kuartal pertama 2025 menunjukkan adanya upaya perusahaan-perusahaan AS untuk menghindari tarif tinggi yang diberlakukan akibat ketegangan perdagangan internasional.
Dalam jangka panjang, penurunan ini dapat memperburuk prospek harga minyak jika ketegangan dagang terus berlanjut dan negara-negara besar lainnya mengikuti jejak Amerika Serikat dalam mengurangi konsumsi energi. Pasar minyak global akan terus terombang-ambing oleh kebijakan produksi yang berubah-ubah, serta ketidakpastian ekonomi yang semakin meningkat.
Apa yang Bisa Diharapkan ke Depan?
Menanggapi situasi ini, banyak pengamat pasar yang memperkirakan bahwa harga minyak akan tetap volatile, tergantung pada keputusan yang diambil oleh negara-negara OPEC+ dalam pertemuan mendatang. Beberapa ahli juga memperingatkan bahwa jika Arab Saudi dan negara-negara penghasil minyak lainnya terus meningkatkan produksi mereka, maka pasar akan menghadapi risiko pasokan berlebih, yang dapat menyebabkan penurunan harga lebih lanjut.