BATU BARA

Rakyat Pesisir Batu Bara Suarakan Keluh Kesah Infrastruktur Rusak: Kami Tak Bisa Bicara Ketahanan Pangan Jika Jalan ke Ladang Pun Tak Bisa Dilalui

Rakyat Pesisir Batu Bara Suarakan Keluh Kesah Infrastruktur Rusak: Kami Tak Bisa Bicara Ketahanan Pangan Jika Jalan ke Ladang Pun Tak Bisa Dilalui
Rakyat Pesisir Batu Bara Suarakan Keluh Kesah Infrastruktur Rusak: Kami Tak Bisa Bicara Ketahanan Pangan Jika Jalan ke Ladang Pun Tak Bisa Dilalui

JAKARTA - Sebuah surat terbuka yang ditulis dengan penuh harap dan ketulusan oleh warga dari pesisir Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, menggugah perhatian banyak pihak. Ditujukan langsung kepada Presiden Republik Indonesia, surat itu menyuarakan jeritan hati para petani kecil yang selama bertahun-tahun harus berjuang melawan infrastruktur yang rusak parah.

Surat yang berasal dari warga Dusun Pematang Jernang, Desa Perupuk, Kecamatan Lima Puluh Pesisir, itu menggambarkan dengan jelas betapa buruknya kondisi jalan penghubung antar desa yang menjadi akses utama menuju ladang, sawah, dan kebun milik warga. Bagi mereka, kerusakan jalan bukan sekadar masalah akses, melainkan luka terbuka yang menghambat kesejahteraan dan harapan akan ketahanan pangan.

Jalan Rusak, Ketahanan Pangan Terluka

Dalam surat tersebut, warga menyebutkan bahwa jalan penghubung yang menjadi urat nadi kegiatan pertanian mereka telah rusak selama bertahun-tahun tanpa perbaikan berarti. Jika musim hujan tiba, jalan berubah menjadi kubangan lumpur licin, mengancam keselamatan dan menghambat pengangkutan hasil tani. Sementara saat kemarau, jalanan dipenuhi debu dan lubang besar yang membahayakan pengguna.

“Setiap langkah kaki dan roda gerobak kami menyentuh luka-luka itu setiap hari,” tulis warga dengan nada getir namun sopan.

Keluhan ini mencerminkan realita pahit yang masih dihadapi banyak petani di pelosok negeri. Meski menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional, mereka justru seringkali berjalan di atas fondasi infrastruktur yang rapuh dan terabaikan.

Suara dari Ujung Dusun untuk Presiden

Surat yang diawali dengan sapaan hangat dan penuh hormat, "Salam sejahtera untuk Bapak Presiden yang kami cintai", mencerminkan betapa besar harapan warga desa terhadap pemimpin tertinggi negara ini. Mereka menyebut diri mereka sebagai “petani penanam harapan, pemelihara tanah ibu pertiwi, pengangkut hasil bumi,” sebuah ungkapan yang menegaskan betapa strategisnya peran mereka dalam siklus pangan nasional.

Namun, mereka menyayangkan kenyataan di lapangan yang justru jauh dari narasi pembangunan yang kerap digaungkan. Ketika mendengar pidato Presiden tentang pentingnya ketahanan pangan, warga Pematang Jernang tidak tinggal diam. Mereka mempertanyakan bagaimana mungkin mereka diminta menjaga ketahanan pangan nasional jika akses ke lahan pertanian pun tidak layak dilewati.

“Kami mendengar pidato Bapak, merasakan semangat Bapak tentang pentingnya ketahanan pangan. Tapi izinkan kami bertanya dengan suara lirih, bagaimana mungkin kami menjaga ketahanan pangan, bila jalan menuju ladang pun tak sanggup menahan beban kaki kami,” bunyi kutipan surat yang ditulis dengan nada lirih namun sarat makna.

Pentingnya Infrastruktur untuk Pertanian

Keluhan masyarakat Dusun Pematang Jernang bukan tanpa alasan. Infrastruktur yang memadai merupakan syarat mutlak untuk mendukung produktivitas pertanian. Jalan yang baik akan memperlancar distribusi pupuk, alat pertanian, dan tentunya hasil panen ke pasar. Dengan akses yang layak, biaya logistik bisa ditekan, pendapatan petani meningkat, dan pasokan pangan menjadi lebih stabil.

Namun, realitas yang dihadapi warga Batu Bara menunjukkan betapa jauhnya antara semangat di tingkat pusat dengan kenyataan di akar rumput. Di sinilah pentingnya sinkronisasi antara program pembangunan nasional dan eksekusi di lapangan.

Harapan akan Respons Cepat Pemerintah

Surat tersebut diharapkan bisa menjadi pemantik respons cepat dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Infrastruktur jalan desa seharusnya menjadi prioritas karena menjadi tulang punggung aktivitas ekonomi masyarakat pedesaan, khususnya di sektor pertanian.

Warga tidak menuntut jalan beraspal mulus seperti jalan tol. Yang mereka harapkan hanyalah akses yang layak agar gerobak bisa berjalan tanpa terguling, agar anak-anak bisa ke sekolah tanpa harus jatuh di lumpur, agar hasil tani bisa sampai ke pasar sebelum membusuk.

Menagih Keadilan Sosial dari Janji Pembangunan

Kisah yang disampaikan warga Desa Perupuk juga menjadi refleksi penting bahwa pembangunan haruslah menjangkau hingga ke titik-titik paling ujung negeri. Mereka bukan hanya menanam cabai dan padi, mereka menanam harapan. Ketika mereka menyuarakan suara lirih mereka, itu adalah seruan untuk keadilan sosial yang selama ini menjadi janji dalam sila kelima Pancasila.

Infrastruktur yang layak bukanlah kemewahan, melainkan hak dasar yang semestinya dijamin negara. Ketika petani dipaksa berjalan kaki puluhan kilometer karena kendaraan terjebak lumpur, maka yang tercoreng bukan hanya program pertanian, melainkan juga martabat bangsa yang mengaku menjunjung tinggi kesejahteraan rakyat.

Langkah Selanjutnya: Apa yang Harus Dilakukan?

Pemerintah daerah Kabupaten Batu Bara, dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, diharapkan segera melakukan tinjauan lapangan. Identifikasi kerusakan, penganggaran, dan pelaksanaan perbaikan jalan perlu dipercepat. Sementara itu, pemerintah pusat melalui Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi bisa memberikan intervensi tambahan melalui program padat karya tunai desa atau Dana Desa.

Program ketahanan pangan yang dicanangkan Presiden seyogianya tidak hanya dibangun di atas konsep dan data statistik. Ia harus berakar dari kondisi nyata, dari tanah tempat petani menanam, dari jalan yang mereka lalui, dari peluh yang mengalir di balik ketegaran mereka.

Satu Surat, Seribu Suara

Surat dari ujung dusun di pesisir Batu Bara bukan sekadar aduan. Ia adalah representasi dari ribuan desa lain di Indonesia yang mengalami hal serupa. Ketika pembangunan terlalu sering dibaca dari layar presentasi, suara dari tanah lapang seperti inilah yang menyentuh nadi bangsa. Suara yang lirih, namun seharusnya menggema di ruang-ruang kekuasaan.

Presiden dan jajaran pemerintah diharapkan tidak sekadar mendengar, tetapi juga hadir dan bertindak. Karena bagi petani kecil, setiap lubang di jalan adalah penghalang bagi masa depan anak-anak mereka. Dan bagi negara, setiap jeritan warga yang tak terjawab adalah kehilangan makna dari pembangunan itu sendiri.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index