konsep teori kutub pertumbuhan

Konsep Teori Kutub Pertumbuhan: Pengertian hingga Penerapan

Konsep Teori Kutub Pertumbuhan: Pengertian hingga Penerapan
konsep teori kutub pertumbuhan

JAKARTA - Konsep teori kutub pertumbuhan menjelaskan bahwa keterkaitan antara manusia dan aspek ekonomi sangatlah kuat. 

Tingkat ekonomi seseorang sering kali menjadi cerminan dari kualitas hidup yang dijalaninya. Ketika kondisi ekonomi seseorang meningkat, biasanya kesejahteraan hidupnya pun turut membaik.

Hal ini dapat tercermin dari jenis makanan yang dikonsumsi hingga pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier yang menggunakan produk-produk berkualitas tinggi. 

Kondisi ini tentu berbeda jauh dengan kelompok masyarakat yang memiliki kondisi ekonomi rendah, di mana kemampuan untuk sekadar makan dan bertahan hidup saja sudah menjadi pencapaian yang berarti.

Faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat di suatu wilayah sangat beragam. Di antaranya adalah tingkat pendidikan serta ketersediaan sumber daya alam. 

Untuk memahami dinamika perputaran ekonomi ini, dapat digunakan pendekatan melalui konsep teori kutub pertumbuhan.

Konsep Teori Kutub Pertumbuhan

Perroux menyatakan bahwa pertumbuhan dalam ruang geografis tidak berlangsung secara acak atau bersamaan di semua tempat. 

Ia berpendapat bahwa kemajuan ekonomi cenderung muncul di titik-titik tertentu atau pusat-pusat pertumbuhan yang memiliki intensitas bervariasi. 

Dari titik-titik ini, perkembangan menyebar melalui berbagai jalur dengan pengaruh yang berbeda-beda terhadap sistem ekonomi secara keseluruhan.

Dalam pandangan Perroux, kemajuan ekonomi dipicu oleh adanya konsentrasi kegiatan ekonomi yang terfokus pada suatu wilayah dalam ruang abstrak. 

Sementara itu, Boudeville mengartikan pusat pertumbuhan (growth pole) sebagai kumpulan industri yang mengalami pertumbuhan pesat di daerah urban dan mendorong aktivitas ekonomi di sekitarnya untuk ikut berkembang. 

Ia juga melihat pusat pertumbuhan ini sebagai suatu pendekatan perencanaan yang dapat diterapkan secara praktis, di mana wilayah yang mengalami pertumbuhan intensif dapat memunculkan pusat-pusat gravitasi ekonomi baru.

Glasson kemudian mengembangkan lebih lanjut gagasan ini dengan menambahkan sejumlah prinsip geografis yang mendukung terbentuknya wilayah yang mengalami pemusatan pertumbuhan. 

Salah satunya adalah teori tentang leading industries, yakni perusahaan besar yang memiliki pengaruh dominan dan menjadi penggerak utama ekonomi di pusat pertumbuhan tersebut. 

Selain itu, konsep polarisasi juga muncul, yang menyatakan bahwa percepatan pertumbuhan dari industri-industri utama ini mampu menarik unit-unit ekonomi lain untuk bergabung ke dalam wilayah yang sama.

Tak hanya berhenti di situ, terdapat pula prinsip spread effect atau trickling down effect, yang menjelaskan bagaimana pada akhirnya kekuatan ekonomi yang terpusat tersebut akan meluas ke area di sekitarnya, membawa dampak pertumbuhan ke luar pusatnya. 

Seluruh pandangan ini menjadi landasan dalam memahami konsep teori kutub pertumbuhan dalam dinamika pembangunan wilayah dan ekonomi.

Sejarah Teori Kutub Pertumbuhan

Menurut Misyoshi, perkembangan konsep kutub pertumbuhan (growth pole) berlangsung melalui beberapa fase. Fase pertama adalah kelahiran ide mengenai kutub pertumbuhan. 

Fase kedua berkaitan dengan bagaimana konsep ini mulai diterapkan secara spasial atau geografis. Pada fase ketiga, fokusnya adalah pada bagaimana ketidakseimbangan antarwilayah dianalisis menggunakan pendekatan kutub pertumbuhan. 

Fase keempat mencerminkan upaya revisi dan penyempurnaan terhadap konsep tersebut. Gagasan ini pertama kali dikembangkan oleh Perroux pada tahun 1955. 

Ia merancang konsep ini dengan mengacu pada teori aglomerasi serta teori lokasi sebelumnya. 

Perroux mengamati bahwa pertumbuhan ekonomi tidak terjadi secara merata, melainkan terpusat di lokasi-lokasi tertentu, yang awalnya ia gambarkan dalam ruang abstrak. 

Sebelumnya, struktur keruangan lebih banyak dijelaskan melalui teori tempat sentral, namun teori ini dikritik dan dianggap kurang menggambarkan kenyataan yang terjadi. 

Konsep growth pole kemudian hadir sebagai respons atas kritik tersebut dan dalam implementasinya berkembang lebih luas dibanding kerangka teoritis awalnya.

Pada dekade 1960-an, konsep ini mulai banyak digunakan sebagai acuan kebijakan di negara-negara berkembang maupun negara maju, dikenal dengan strategi growth pole. 

Selanjutnya, pada tahun 1970-an, konsep ini dibahas secara lebih mendalam dan dijadikan referensi serius dalam perencanaan pembangunan.

Memasuki tahap kedua dari perkembangan pemikiran growth pole, para ekonom mulai mengaitkannya dengan rencana pembangunan wilayah. Tokoh-tokoh seperti Boudeville dan Hirschman memberikan kontribusi penting dalam hal ini. 

Boudeville, misalnya, mendefinisikan kutub pertumbuhan sebagai sekelompok industri yang berkembang di wilayah perkotaan, yang kemudian mendorong pertumbuhan ekonomi lebih luas melalui dampak dari wilayah pengaruhnya.

Friedmann, di sisi lain, menyatakan bahwa pola pembangunan yang diterapkan di Amerika bisa dijadikan model bagi negara-negara berkembang. Pada masa itu, banyak negara berkembang yang mengadopsi pendekatan ini. 

Gore juga mencatat bahwa pada era 1960-an, para ekonom wilayah cenderung memiliki pandangan yang sejalan mengenai kutub pertumbuhan. 

Mereka meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi berjalan secara bertahap dan bahwa strategi ini efektif dalam mendukung tujuan-tujuan pembangunan wilayah. 

Selain itu, hubungan antarwilayah yang dihasilkan dari strategi tersebut dapat dibuktikan secara empiris.

Ketika memasuki tahap ketiga, beberapa ekonom wilayah mulai mengkritisi konsep growth pole sebagai penyebab ketimpangan antarwilayah. 

Stohr dan Todtling melalui studi kasus menemukan bahwa strategi ini tidak mampu menggerakkan pembangunan ke wilayah belakang (hinterland). 

Meskipun strategi ini dapat memperkecil ketimpangan antarwilayah, namun dampaknya terhadap wilayah sekitar sangat terbatas, bahkan berpotensi menimbulkan ketimpangan di dalam wilayah itu sendiri. 

Polenske menambahkan bahwa terdapat dua pandangan dalam teori ini: pertama, bahwa dominasi perusahaan besar berkontribusi positif terhadap pembangunan; kedua, bahwa dominasi tersebut justru menciptakan ketergantungan yang merugikan.

Dalam hal ini, teori dependency menjelaskan bahwa dominasi oleh perusahaan-perusahaan besar menyebabkan surplus produksi tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan penduduk lokal, melainkan dialihkan untuk kepentingan kelompok kapitalis tertentu.

Pada fase keempat, setelah muncul banyak kritik terhadap teori kutub pertumbuhan, sejumlah ekonom mencoba memperbaikinya. 

Richardson menyatakan bahwa kegagalan kebijakan growth pole di banyak negara tidak serta-merta membuktikan bahwa prinsip polarisasi keliru. 

Menurutnya, yang terjadi adalah harapan yang terlalu tinggi dan jangka waktu implementasi yang terlalu pendek. 

Sementara itu, Higgins menegaskan bahwa kegagalan tersebut bukanlah kesalahan pada teori Perroux, melainkan akibat dari interpretasi dan penerapan teori yang tidak tepat oleh para ilmuwan yang terlibat dalam implementasinya.

Ciri-ciri Pusat Pertumbuhan

Menurut sejumlah sumber, suatu wilayah dapat diidentifikasi sebagai pusat pertumbuhan apabila memenuhi beberapa karakteristik berikut:

1. Keberadaan Hubungan Internal dan Aktivitas Ekonomi yang Beragam

Pada umumnya, wilayah yang berkembang sebagai pusat pertumbuhan menampilkan berbagai jenis kegiatan ekonomi. 

Kegiatan tersebut meliputi sektor-sektor seperti pemukiman, perdagangan, industri, pelabuhan, logistik, distribusi barang, hiburan, dan lainnya.

Ragam aktivitas ini tidak hanya eksis berdampingan, tetapi juga saling terintegrasi dan membentuk sistem ekonomi yang saling mendukung di dalam wilayah tersebut. 

Contoh nyata bisa dilihat di Kota Surabaya, yang memadukan perniagaan, pendidikan, dan infrastruktur pelabuhan dalam satu kawasan perkotaan. 

Integrasi tersebut menjadikan Surabaya sebagai contoh wilayah yang dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.

2. Terjadinya Efek Penggandaan (Multiplier Effect)

Sebuah kawasan yang berfungsi sebagai simpul atau titik konektivitas (nodal) biasanya menunjukkan adanya ketergantungan antara wilayah inti dengan wilayah di sekitarnya (hinterland). 

Hubungan semacam ini menghasilkan efek menyebar (spread effect) dari pusat ke daerah sekitarnya.

Sebagai ilustrasi, pembangunan bandara di suatu daerah bukan hanya memberi dampak langsung, tetapi juga mendorong tumbuhnya sektor-sektor pendukung seperti perumahan, pusat perbelanjaan, area wisata, hotel, jasa logistik, dan perkantoran di sekitar lokasi bandara.

Efek berantai semacam ini penting dipertimbangkan dalam merancang pembangunan pusat pertumbuhan, karena mampu membuka peluang kerja dan mempercepat dinamika ekonomi di wilayah yang lebih luas.

3. Mendorong Pertumbuhan Wilayah Sekitar

Wilayah pusat pertumbuhan biasanya memengaruhi dan dipengaruhi oleh kawasan sekitarnya. Contohnya adalah hubungan Jakarta dan Bekasi. Awalnya, Bekasi berkembang karena kedekatannya dengan Jakarta. 

Seiring waktu, Bekasi mengalami pertumbuhan yang signifikan hingga mampu berdiri sebagai pusat pertumbuhan tersendiri. 

Ini menunjukkan bahwa pusat pertumbuhan dapat merangsang kemajuan di wilayah-wilayah tetangganya, yang pada akhirnya bisa mengembangkan simpul pertumbuhan baru.

4. Konsentrasi Geografis dan Spesialisasi Ekonomi

Walaupun pusat pertumbuhan memiliki berbagai macam aktivitas ekonomi, biasanya wilayah ini tetap menunjukkan kecenderungan terhadap spesialisasi tertentu. 

Konsentrasi geografis atau aglomerasi kegiatan ekonomi menjadi ciri khas yang membuat wilayah tersebut tumbuh lebih pesat.

Spesialisasi ini tidak hanya menjadi pembeda dari wilayah lain, tetapi juga memperkuat efek penggandaan. 

Konsentrasi aktivitas ekonomi di satu lokasi memungkinkan efisiensi yang lebih tinggi dan memperbesar dampak pertumbuhan terhadap daerah sekitarnya, mempercepat pengembangan kawasan secara menyeluruh.

Penerapan Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole) di Indonesia

Di Indonesia, penerapan teori kutub pertumbuhan diterjemahkan melalui strategi pembangunan wilayah yang menghasilkan terbentuknya kawasan urban besar (megaurban) yang sulit untuk dibatasi, seperti Jabodetabek, Gerbangkertasusila, dan beberapa wilayah lainnya.

Namun, penerapan strategi ini juga membawa dampak ketimpangan antarwilayah, terutama dalam hal kesejahteraan. Wilayah-wilayah di sekitar kota-kota utama cenderung mengalami kesenjangan yang cukup signifikan. 

Sebagai akibatnya, banyak masyarakat cenderung berpindah atau mencari kehidupan di sekitar kota-kota besar yang dianggap memiliki lebih banyak peluang dan sumber daya.

Faktor-faktor yang Menyebabkan Suatu Wilayah Menjadi Pusat Pertumbuhan

Sebuah wilayah dapat berkembang menjadi pusat pertumbuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor geografis, sosial, dan ekonomi. 

Beberapa faktor yang berperan dalam menjadikan suatu wilayah sebagai pusat pertumbuhan, berdasarkan informasi dari Zenius.net, antara lain:

  • Keberadaan industri yang menciptakan banyak peluang kerja serta kebutuhan akan tempat tinggal.
  • Kondisi geografis, seperti iklim, jenis dataran, dan tingkat kesuburan tanah.
  • Ketersediaan fasilitas lengkap, seperti tempat tinggal, layanan kesehatan, dan lainnya, serta infrastruktur yang memadai, termasuk sistem transportasi dan jalan, yang mendukung aktivitas ekonomi dan sosial di wilayah tersebut.

Sebagai penutup, konsep teori kutub pertumbuhan menunjukkan bagaimana pusat ekonomi dapat mendorong perkembangan wilayah sekitarnya, meski terkadang menimbulkan ketimpangan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index