Nikel

Cadangan Nikel RI Tersisa 13 Tahun, ESDM Diminta Pacu Eksplorasi

Cadangan Nikel RI Tersisa 13 Tahun, ESDM Diminta Pacu Eksplorasi
Cadangan Nikel RI Tersisa 13 Tahun, ESDM Diminta Pacu Eksplorasi

JAKARTA Ketahanan pasokan nikel Indonesia terancam menipis lebih cepat dari perkiraan. Ketua Badan Kejuruan (BK) Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli memprediksi cadangan nikel tertakar di Indonesia hanya bertahan 9 hingga 13 tahun ke depan. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran Indonesia akan semakin bergantung pada impor bijih nikel untuk memenuhi kebutuhan industri smelter yang terus berkembang pesat.

“Cadangan kita, itu kalau dihitung, beberapa ahli menyatakan antara 9—13 tahun daya tahannya. Itu bukan waktu yang lama. Kita belum apa-apa sudah pensiun. Habis sudah. Kalau menurut saya, karena smelter itu banyak sekali dibangun; 100 lebih, bahkan 144 terakhir ya,” kata Rizal.

Menurut Rizal, pertumbuhan investasi smelter pirometalurgi berbasis rotary kiln electric furnace (RKEF) yang terlalu agresif mendorong lonjakan kebutuhan nikel berkadar tinggi di atas 1,5% atau saprolit sebagai bahan baku utama baja nirkarat. Di saat yang sama, cadangan nikel saprolit di Indonesia terus menipis, lantaran belum diimbangi dengan eksplorasi baru di wilayah greenfield dan frontier.

Eksplorasi berjalan lambat, cadangan semakin tergerus

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat total cadangan bijih nikel nasional sebesar 5,32 miliar ton dengan cadangan logam nikel 56,11 juta ton per 2024. Maluku Utara tercatat sebagai provinsi dengan cadangan terbanyak, dengan 60% berupa saprolit dan 40% limonit. Sedangkan total sumber daya bijih nikel nasional mencapai 18,55 miliar ton dengan sumber daya logam nikel 184,6 juta ton.

Namun, potensi besar ini tidak otomatis menjadi solusi jika eksplorasi berjalan lambat. Rizal menegaskan satu-satunya jalan keluar adalah percepatan eksplorasi nikel di kawasan timur Indonesia, seperti Sulawesi, Halmahera, Maluku, hingga Papua, untuk memperpanjang umur cadangan.

“Pemerintah harus melakukan upaya supaya eksplorasi di daerah frontier itu bisa berjalan cepat, karena eksplorasi butuh waktu yang lama. Bisa delapan tahun,” tegas Rizal.

Hambatan perizinan bikin eksplorasi mandek

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin, menilai keterlambatan eksplorasi banyak dipicu persoalan perizinan. Sejumlah perusahaan kesulitan mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) di wilayah potensial nikel.

“Di Papua, Sulawesi, dan Maluku Utara banyak harta karun nikel yang belum dibuka karena terganjal IPPKH dari Kementerian Kehutanan. Coba kita berani gali? Kan tidak mungkin. Langsung disegel duluan kita,” keluh Meidy.

Meidy menegaskan jika pemerintah tidak segera memperbaiki iklim perizinan, peluang meningkatkan cadangan nasional lewat eksplorasi akan semakin kecil. Hal ini justru berpotensi mempercepat ketergantungan pada bijih impor di tengah konsumsi smelter dalam negeri yang terus meningkat.

Moratorium pembangunan smelter RKEF, solusi atau tantangan?

Rizal mengungkapkan kalangan ahli pertambangan sebenarnya sudah pernah merekomendasikan moratorium pembangunan smelter RKEF baru untuk menahan laju penurunan cadangan nikel kadar tinggi. Namun, kebijakan ini sulit diterapkan karena daerah penghasil nikel masih mengandalkan industri tambang sebagai motor penggerak ekonomi.

“Perusahaan besar seperti Vale atau Antam memang akan bertahan karena mereka punya areal luas. Tetapi yang kecil-kecil, apalagi smelter yang tidak terintegrasi dengan tambangnya, itu akan riskan,” ujar Rizal.

Ketergantungan pada impor semakin nyata

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indonesia sudah mulai mengimpor bijih nikel. Pada Februari 2025, volume impor bijih nikel dan konsentrat (HS 26040000) dari Filipina mencapai 2,38 juta ton, meningkat dibanding Januari 2,07 juta ton. APNI mengonfirmasi impor bijih nikel dari Filipina akan terus berlanjut, bahkan akan bertambah dengan kontrak impor dari Solomon dan New Caledonia mulai Juni 2025.

“Sejak tahun lalu kita sudah impor bijih nikel dari Filipina, pada [Juni] akan masuk dari Solomon dan New Caledonia,” ungkap Meidy.

Menurutnya, perusahaan-perusahaan nikel sudah menandatangani kontrak impor, namun detail volume dan nilai transaksi masih belum diumumkan ke publik. “Kalau sudah sampai baru saya tahu. New Caledonia sudah mulai masuk. Dari Solomon sudah kontrak. Delivery-nya kapan saya belum dapat informasi,” imbuhnya.

Indonesia masih jadi produsen utama, tapi rawan krisis pasokan

Berdasarkan proyeksi International Energy Agency (IEA), pada 2030 tiga negara penghasil nikel terbesar dari sisi tambang adalah Indonesia (62%), Filipina (8%), dan New Caledonia (6%). Namun di sektor smelter, Indonesia hanya akan menguasai 44%, disusul China (21%) dan Jepang (6%). Ini menegaskan posisi Indonesia yang dominan sebagai produsen nikel, tetapi rapuh dari sisi daya tahan pasokan jika eksplorasi tidak dipercepat.

Meidy menegaskan pemerintah harus segera mengambil posisi tegas untuk memperbaiki perizinan, memastikan penambang dengan izin usaha pertambangan (IUP) bisa mengeksplorasi wilayah kerjanya. “Jangan sampai persetujuan RKAB sudah ada, tapi karena kuota IPPKH habis, izin tidak keluar. Sementara smelter sudah terlanjur butuh bijih,” ujarnya.

Dampak bagi industri hilir dan hilirisasi nasional

Jika tren ini terus berlanjut, hilirisasi yang menjadi kebanggaan pemerintah justru berpotensi melemahkan kemandirian sektor nikel. Indonesia terancam hanya menjadi tempat pabrikasi smelter tanpa kendali pada pasokan bahan baku. Situasi ini berlawanan dengan tujuan hilirisasi: mengoptimalkan nilai tambah sumber daya alam nasional di dalam negeri.

Rizal mengingatkan agar pemerintah tidak terlena dengan euforia pembangunan smelter dan tetap fokus menjaga keseimbangan antara kapasitas pengolahan dengan cadangan. “Kalau smelter dibangun tanpa hitung-hitungan cadangan, kita akan cepat habis. Ujung-ujungnya impor,” pungkas Rizal.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index