JAKARTA — Harga minyak mentah dunia kembali tertekan menjelang keputusan penting Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya (OPEC+) terkait potensi penambahan pasokan. Penurunan ini memperpanjang tren negatif yang telah membuat harga minyak mencatat pelemahan mingguan terbesar dalam lebih dari dua tahun terakhir, dipicu oleh ketidakpastian geopolitik dan kekhawatiran kelebihan pasokan.
Berdasarkan data perdagangan Senin pagi, harga minyak mentah Brent terkoreksi mendekati level US$67 per barel setelah anjlok hingga 12 persen pada pekan lalu. Di sisi lain, harga West Texas Intermediate (WTI) juga melorot ke kisaran US$65 per barel. Kondisi ini menunjukkan tekanan bearish yang kuat, seiring hedge fund yang agresif meningkatkan posisi jual mereka atas komoditas energi tersebut.
Ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel yang sempat mereda melalui gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat dinilai belum cukup untuk menenangkan pasar. Iran bahkan menyatakan pihaknya meragukan kelangsungan gencatan senjata tersebut. “Kami tidak yakin kesepakatan ini akan bertahan lama, sebab belum ada komitmen nyata dari pihak Israel,” demikian pernyataan resmi pemerintah Iran seperti dikutip dari sumber internasional.
Sementara itu, Presiden Amerika Serikat saat itu, Donald Trump, memberi sinyal kemungkinan melonggarkan sanksi terhadap Iran jika negara tersebut menunjukkan sikap damai. Namun pasar minyak masih diliputi ketidakpastian karena potensi kembalinya minyak Iran ke pasar global dapat menambah tekanan pada harga yang sudah turun signifikan dalam beberapa hari terakhir.
Fokus utama pasar saat ini tertuju pada pertemuan OPEC+ yang dijadwalkan berlangsung Minggu mendatang. Sejumlah sumber menyebut, beberapa anggota utama OPEC dan negara mitra seperti Rusia sedang mempertimbangkan opsi untuk menambah produksi hingga 411.000 barel per hari pada Agustus mendatang. Jika disetujui, ini akan menjadi kenaikan produksi besar-besaran untuk bulan keempat berturut-turut, dan lebih dari tiga kali lipat dari rencana awal OPEC+.
“Dengan adanya kemungkinan kenaikan pasokan yang signifikan dari OPEC+, pasar minyak berisiko mengalami kelebihan pasokan pada kuartal keempat tahun ini,” ujar analis energi senior dari Energy Aspects yang dikutip dalam laporan pasar.
Penurunan harga minyak yang berlanjut telah membuat harga kembali mendekati posisi sebelum Israel melancarkan serangan terhadap Iran pada 13 Juni lalu. Kala itu, harga sempat melonjak akibat kekhawatiran eskalasi konflik di Timur Tengah yang berpotensi mengganggu pasokan minyak global.
Namun dengan ketegangan yang mulai mereda, perhatian pelaku pasar kembali beralih ke fundamental pasokan dan permintaan. Kekhawatiran utama kini tertuju pada apakah permintaan minyak global mampu menyerap tambahan pasokan yang akan dihasilkan jika OPEC+ benar-benar menaikkan produksinya.
Di sisi lain, pelaku pasar juga menyoroti perkembangan negosiasi dagang internasional, khususnya terkait kebijakan tarif Presiden Trump yang memiliki tenggat 10 hari lagi sebelum tarif khusus negara kembali diberlakukan. Kebijakan ini dikhawatirkan dapat menekan pertumbuhan ekonomi global, yang pada akhirnya menurunkan permintaan minyak.
“Fundamental pasar saat ini sangat rentan. Jika negosiasi dagang gagal atau produksi OPEC+ bertambah signifikan, harga minyak bisa terus tertekan,” jelas seorang trader minyak dari Singapura yang enggan disebut namanya.
Menurut laporan Commodity Futures Trading Commission (CFTC), posisi hedge fund pada kontrak minyak menunjukkan peningkatan drastis untuk taruhan bearish, yang memperkuat ekspektasi harga akan melemah dalam jangka pendek. Ini menandakan sentimen negatif di pasar minyak semakin mendominasi, didorong oleh risiko ganda dari sisi geopolitik dan kebijakan pasokan OPEC+.
Secara historis, keputusan OPEC+ memiliki dampak besar terhadap arah harga minyak global, mengingat konsorsium ini menguasai sekitar 40 persen produksi minyak dunia. Dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya, kebijakan pengurangan atau penambahan produksi dari OPEC+ kerap memicu volatilitas signifikan di pasar energi internasional.
Sementara itu, dari sisi permintaan, pertumbuhan konsumsi minyak dunia tahun ini masih dibayangi risiko perlambatan ekonomi di negara-negara utama konsumen minyak, termasuk Amerika Serikat, China, dan negara Uni Eropa. Bank-bank sentral di beberapa negara tersebut juga masih menerapkan kebijakan moneter ketat yang berpotensi menekan aktivitas ekonomi, dan pada gilirannya mengurangi kebutuhan energi.
Selain itu, analis dari JPMorgan Chase memperkirakan bahwa jika OPEC+ menambah produksi lebih besar dari yang diantisipasi pasar, harga Brent bisa jatuh ke kisaran US$60 per barel pada kuartal keempat 2025, terutama jika permintaan global tidak tumbuh sesuai ekspektasi.
Melihat dinamika tersebut, pelaku pasar dan investor minyak mentah global kini menunggu kepastian hasil pertemuan OPEC+ pada akhir pekan ini. Apapun keputusan yang diambil oleh kartel minyak dan sekutunya dipastikan akan menjadi penentu arah harga minyak untuk beberapa bulan ke depan, mengingat tingginya sensitivitas pasar terhadap kebijakan produksi yang disepakati negara-negara produsen utama.