JAKARTA - Nama Charles Oliveira selama ini identik dengan seni submission dalam dunia UFC. Ia bukan hanya sekadar petarung, tetapi simbol dari teknik grappling yang mematikan dan konsistensi tinggi dalam menyelesaikan lawan lewat kuncian. Namun, dalam dunia olahraga penuh adrenalin seperti MMA, tak ada posisi yang selamanya aman di puncak. Terlebih ketika usia dan fisik mulai menjadi faktor yang tak bisa dihindari. Momen terbarunya di UFC 317 menjadi sorotan besar karena memperlihatkan bagaimana sang legenda harus mengakui keperkasaan lawannya hanya dalam satu ronde.
Dengan rekor luar biasa 20 kemenangan submission, Oliveira mencatatkan diri dalam sejarah UFC sebagai pengoleksi submission terbanyak di divisi ringan. Gayanya dikenal lincah, mematikan, dan efisien. Perpaduan tendangan rendah dan pukulan overhand yang eksplosif menjadi pembuka menuju teknik ground game yang dominan. Namun, di balik semua itu, realitas pertarungan tak selalu berpihak pada statistik atau reputasi.
Sebelum laga melawan Ilia Topuria, Oliveira sebenarnya sudah mulai menunjukkan tanda-tanda pasang surut performa. Dalam enam bulan terakhir, ia mencatatkan rekor 2–2, sebuah penurunan yang cukup mencolok bagi petarung sekelas dirinya. Meski berhasil menundukkan nama-nama besar seperti Michael Chandler dan Daniel Hooker, tubuhnya sudah tidak lagi sekuat beberapa tahun lalu.
Pertarungan melawan Islam Makhachev dalam UFC 280 menjadi titik balik yang banyak dipandang sebagai awal dari penurunan Oliveira. Kekalahan KO tersebut bukan hanya soal hasil di atas kertas, tetapi juga sinyal bahwa daya tahan tubuh dan refleks sang petarung mulai menurun. Faktor usia jelas memainkan peranan penting. Di usia 35 tahun, banyak petarung mulai berpikir tentang masa depan mereka di luar oktagon. Ancaman cedera, penurunan stamina, dan beban latihan yang tak lagi mudah dihadapi menjadikan setiap duel sebagai taruhan besar.
Meski demikian, tak ada yang bisa menghapus warisan Oliveira. Ia tetap akan dikenang sebagai pionir teknik submission modern di UFC, petarung yang mampu mendobrak batas dan menjadikan grappling sebagai senjata utama di tengah dominasi stand-up fight. Ia pernah mengenakan sabuk juara di dua kelas berbeda—ringan dan bulu—prestasi yang tak bisa diraih sembarang atlet MMA.
Namun, dunia MMA terus bergerak, dan kini panggung utama mulai dikuasai wajah-wajah baru. Ilia Topuria, lawan Oliveira di UFC 317, menunjukkan bahwa generasi berikutnya telah siap mengambil alih. Kemenangan satu ronde atas legenda hidup seperti Oliveira tidak hanya menjadi pembuktian pribadi, tetapi juga simbol bahwa era baru tengah berlangsung di divisi lightweight.
Pergeseran ini menciptakan dinamika baru. Nama-nama seperti Islam Makhachev, Kamaru Usman, dan Topuria kini menjadi fokus perhatian publik. Dalam konteks ini, kekalahan Oliveira bukan akhir, tetapi titik balik untuk mengevaluasi langkah selanjutnya. Apakah ia akan kembali ke oktagon dengan pendekatan berbeda, atau justru memilih pensiun terhormat dengan meninggalkan panggung saat masih disegani?
Tak sedikit fans yang masih berharap Oliveira melakukan satu pertarungan perpisahan, sejenis tribute fight sebagai penutup karier cemerlangnya. Pertarungan tersebut bisa menjadi momen nostalgia dan pengingat betapa berpengaruhnya Oliveira dalam membentuk wajah modern UFC, terutama dalam teknik submission.
Dalam wawancara pasca pertarungan, Oliveira tidak banyak berbicara tentang rencana ke depan. Namun, sinyal ke arah pensiun mulai banyak dibaca dari berbagai analis MMA dan media. Realitas pahit dalam olahraga tarung seperti ini adalah bahwa tak seorang pun bisa melawan waktu. Pada akhirnya, setiap petarung akan menghadapi titik ketika mereka harus menggantung sarung tangan—tidak sebagai tanda kekalahan, tetapi sebagai bentuk kemenangan dalam mempertahankan kehormatan.
Kehilangan Oliveira dari puncak persaingan tentu meninggalkan ruang kosong dalam peta persaingan UFC. Namun, sebagaimana dunia olahraga yang tak pernah berhenti berputar, akan selalu ada wajah baru, gaya baru, dan cerita baru yang menanti untuk ditulis. Dan bagi Charles Oliveira, cerita legendarisnya mungkin telah memasuki bab akhir, tapi pengaruhnya akan terus hidup sebagai inspirasi bagi generasi petarung berikutnya.
Dengan semua pencapaiannya, Oliveira tetap menjadi figur sentral dalam sejarah UFC. Ia bukan hanya petarung, tetapi legenda yang mengubah arah permainan. Keperkasaan Topuria mungkin jadi headline hari ini, tetapi warisan Oliveira akan terus menjadi fondasi dari pertarungan yang akan datang.
Kini, dunia MMA menanti: apakah Charles Oliveira akan kembali sekali lagi untuk menutup kisahnya dengan elegan? Atau ia akan mengundurkan diri dari arena, membawa pulang semua kenangan, sabuk, dan penghormatan dari para penggemarnya di seluruh dunia?