SAHAM

Rekomendasi Saham Logam 2025

Rekomendasi Saham Logam 2025
Rekomendasi Saham Logam 2025

JAKARTA - Di tengah kondisi pasar yang semakin dinamis dan penuh tantangan, sektor pertambangan logam tetap menyimpan prospek menarik bagi investor. Meski harga jual ore nikel mengalami penurunan dalam beberapa pekan terakhir, analis menilai bahwa sektor ini masih punya ruang untuk pertumbuhan, terutama menjelang paruh kedua tahun ini.

Pendorong utama ekspektasi tersebut berasal dari sejumlah faktor strategis, seperti dinamika suplai, pergerakan permintaan global, serta arah kebijakan yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kombinasi elemen-elemen ini menciptakan ruang interpretasi baru bagi pelaku pasar yang menilai peluang di tengah ketidakpastian harga.

Dalam laporan riset terbaru, sejumlah analis merekomendasikan beberapa emiten logam sebagai pilihan menarik untuk dibeli. Emiten yang dinilai punya prospek paling cerah adalah PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA), dengan target harga di kisaran Rp490. Saham MBMA disebut-sebut masih memiliki ruang penguatan mengingat eksposurnya terhadap tren hilirisasi dan pengembangan ekosistem kendaraan listrik.

Selain MBMA, saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) juga masuk dalam daftar rekomendasi dengan target harga Rp3.300, diikuti oleh saham PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) dengan target Rp480. Ketiga emiten tersebut dinilai memiliki prospek fundamental kuat dalam menghadapi tantangan harga nikel saat ini.

Tidak hanya itu, PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) juga menjadi salah satu saham unggulan dengan target harga Rp1.500. Lalu, ada pula PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang diproyeksikan bisa mencapai Rp3.000, serta PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) dengan target Rp2.400. Terakhir, PT Timah Tbk (TINS) diprediksi mampu menguat menuju level Rp1.300 per saham.

Para analis menjelaskan bahwa rekomendasi ini muncul di tengah tren koreksi harga premium ore nikel yang mulai terasa pada awal semester II. Padahal sebelumnya, sepanjang paruh pertama tahun ini, harga ore nikel sempat mengalami kenaikan tajam. Namun, pada bulan Juli, terjadi pembalikan tren akibat melemahnya harga acuan High-Grade Primary Nickel (HPM) dan tekanan harga nikel di bursa London Metal Exchange (LME).

Data menunjukkan bahwa harga ore nikel secara keseluruhan masih mencatat kenaikan +19% year-to-date (YTD). Namun, produk turunan seperti Nickel Pig Iron (NPI) justru mencatat penurunan -2%. Hal ini memberikan tekanan pada margin keuntungan perusahaan tambang, terutama yang tidak memiliki integrasi vertikal dalam rantai produksinya.

Situasi tersebut membuat smelter non-terintegrasi menjadi pihak yang paling terdampak, lantaran tidak memiliki akses langsung ke sumber bahan baku. Margin keuntungan mereka menyusut hingga mendekati zona negatif, yang mendorong banyak pelaku pasar untuk menunda proses restocking sambil menunggu situasi pasar menjadi lebih kondusif.

Harga premium ore nikel sempat menembus angka US$26,8 per wmt, namun koreksi harga terjadi menyusul stagnasi permintaan dari sektor smelter serta lemahnya harga NPI, yang kini berada di level mendekati titik terendah tahunan sekitar US$11.000 per ton.

Dalam jangka pendek, analis memprediksi harga ore nikel masih akan melandai. Penurunan ini didorong oleh lemahnya permintaan restocking dari industri stainless steel, serta potensi lonjakan pasokan menyusul rencana pemerintah untuk merilis tambahan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dalam waktu dekat.

Namun demikian, tidak semua proyeksi bersifat negatif. Masih ada peluang kenaikan harga yang bisa muncul dari faktor musiman, seperti masa restocking tradisional di China yang dikenal dengan istilah “Golden September, Silver October.” Momen ini secara historis seringkali menjadi titik balik tren harga karena lonjakan permintaan.

Selain itu, perubahan kebijakan RKAB dari skema triwulanan menjadi tahunan juga menambah elemen ketidakpastian pasokan, yang bisa memicu keketatan di pasar domestik dan akhirnya mendukung perbaikan harga.

Meskipun harga ore tengah dalam fase koreksi, emiten-emiten yang memiliki diversifikasi produk atau orientasi ekspor disebut lebih resilien menghadapi tekanan ini. Ore tetap dianggap sebagai produk paling menjanjikan dibandingkan produk nikel olahan seperti Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), NPI, maupun matte, karena margin profitabilitasnya masih tergolong solid.

Dengan mempertimbangkan kombinasi peluang dan risiko tersebut, analis menegaskan posisi neutral terhadap sektor tambang logam untuk sisa tahun ini. Namun, pendekatan selektif dalam memilih saham menjadi kunci. Emiten dengan posisi fundamental kuat, diversifikasi produk, serta keterlibatan dalam proyek hilirisasi diyakini lebih mampu mempertahankan kinerja keuangan mereka di tengah fluktuasi harga komoditas global.

Prospek jangka panjang dari sektor logam tetap cerah, terutama seiring dengan meningkatnya kebutuhan bahan baku energi terbarukan, baterai kendaraan listrik, serta transisi energi bersih global. Investor yang mencari eksposur ke sektor ini disarankan untuk memperhatikan momentum harga dan mengacu pada perkembangan regulasi terbaru dari otoritas dalam dan luar negeri.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index