JAKARTA - Membicarakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tidak hanya soal pertumbuhan ekonomi, tetapi juga soal keberlanjutan sosial. UMKM menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, terutama mereka yang tidak tertampung dalam sektor formal. Namun, keberhasilan sektor ini sangat bergantung pada satu hal mendasar: adanya ekosistem usaha yang tangguh dan berpihak.
Selama ini, kita terlalu sering menyamakan semua skala usaha dalam satu istilah "UMKM", padahal karakteristik dan tantangan yang dihadapi oleh pelaku usaha mikro dan kecil sangat berbeda dibandingkan dengan usaha menengah. Oleh karena itu, perhatian utama seharusnya difokuskan pada UMK—usaha mikro dan kecil—yang masih menghadapi tantangan besar dalam akses pasar, permodalan, legalitas, dan pendampingan usaha.
Meski pemerintah menunjukkan perhatian pada sektor ini dengan membentuk kementerian khusus, praktik di lapangan sering kali bertolak belakang. Aparat seperti satpol PP kerap menggusur pelaku usaha kecil dari tempat berjualan, memindahkan mereka ke lokasi yang tidak strategis dan minim pembeli. Jika keseriusan ingin dibuktikan, maka pendekatan menyeluruh dan kolaboratif harus menjadi prioritas.
Modal dan Pendanaan, Masalah Utama yang Harus Diselesaikan
Modal adalah tantangan klasik bagi UMK. Akses terhadap pendanaan yang terjangkau, cepat, dan adil menjadi penentu utama keberlanjutan usaha. Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sejatinya dirancang sebagai solusi, namun pelaksanaannya di lapangan belum sepenuhnya sesuai harapan. Walaupun KUR tidak mensyaratkan agunan, masih banyak petugas bank yang memintanya.
Kesulitan lain datang dari ketidakmampuan pelaku UMK menyusun laporan keuangan yang rapi, yang justru menjadi syarat utama penilaian kelayakan kredit oleh perbankan. Di sinilah pentingnya pendampingan dan edukasi dari bank, agar UMK mampu menyusun laporan sederhana dan tidak terjebak pada pinjaman online yang mencekik bunga dan dendanya.
Di dalam ekosistem usaha yang sehat, pembiayaan bukan hanya tentang menyalurkan dana, tetapi juga soal membina hubungan jangka panjang. Bank idealnya memberikan edukasi, mengontrol penggunaan dana, dan menanamkan budaya menabung. Dengan menabung, pelaku usaha bisa berkembang naik kelas dan mendapatkan legalitas formal, yang penting untuk memperkuat basis data dan perlindungan hukum.
Mendorong Kemitraan Usaha sebagai Akselerator Pertumbuhan
Selain modal, pola kemitraan juga menjadi elemen penting dalam membangun ekosistem UMKM yang tangguh. Hubungan antara usaha kecil dan perusahaan menengah maupun besar bisa membuka akses pasar yang lebih luas, mendorong inovasi, dan menumbuhkan daya saing.
Kemitraan yang dimaksud bukan sekadar pemberian bantuan sesaat, tetapi mencakup peningkatan kapasitas, penataan hubungan jangka panjang, dan penguatan nilai tambah. Kapasitas pelaku usaha, baik dari sisi manajerial maupun keterampilan teknis, menjadi syarat mutlak agar bisa menjadi mitra yang sejajar dan kompetitif.
Edukasi dan advokasi berkelanjutan penting agar pelaku UMK tidak hanya diberi “ikan” atau “kail”, tetapi juga pengetahuan tentang cara mengelola risiko bisnis. UMKM yang terdidik akan menjadi lebih layak mendapat pembiayaan dan mampu menjalin kerja sama dengan pihak mana pun, termasuk investor.
Legalitas dan Pendataan Menjadi Langkah Awal Naik Kelas
Kebanyakan UMK masih berada di sektor informal, sehingga perlu proses pendataan akurat agar kebutuhan mereka dapat diidentifikasi dengan tepat. Legalitas usaha adalah langkah awal untuk masuk dalam rantai pasok industri nasional dan global.
Pendataan dan legalisasi juga diperlukan untuk penguatan ekosistem hilirisasi berbasis komoditas lokal. Dari sini, bisa ditentukan strategi masuk ke dalam rantai nilai industri, baik sebagai produsen, karyawan, distributor, atau konsumen.
Sinkronisasi Kebijakan dan Regulasi Antar Lembaga
Harmonisasi regulasi antar-kementerian, pemerintah daerah, dan lembaga keuangan menjadi penting untuk menciptakan lingkungan usaha yang ramah terhadap UMK. Tidak boleh lagi ada tumpang tindih kebijakan yang membingungkan pelaku usaha.
Regulasi yang terlalu banyak atau birokrasi yang berbelit-belit justru menjadi penghambat. Bahkan, praktik “pengusiran” oleh oknum dengan dalih penertiban hanya akan memperburuk kondisi dan menurunkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah.
Inklusivitas dan Daya Saing sebagai Pilar Ekonomi Kerakyatan
Nilai tambah yang ditawarkan oleh UMK harus menyasar kelompok berpenghasilan rendah agar tercipta pasar yang inklusif. Dengan melibatkan mereka dalam rantai nilai industri, baik sebagai pelaku usaha maupun konsumen, akan tercipta multiplier effect terhadap kesejahteraan masyarakat.
Keunggulan kompetitif akan tercapai jika pelaku usaha mampu menggabungkan sumber daya yang ada secara efektif. Dengan pengelolaan manajemen yang sistematis dan kompetensi yang terus ditingkatkan, UMK bisa menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang tahan banting.
Membangun Ekosistem, Bukan Sekadar Program
Semua strategi ini bermuara pada satu hal: pentingnya membangun ekosistem UMKM yang menyeluruh, kuat, dan berkelanjutan. Ekosistem ini tidak bisa dibangun dalam waktu singkat, tetapi melalui keseriusan semua pihak, mulai dari pemerintah pusat, daerah, lembaga keuangan, pelaku usaha besar, hingga dunia pendidikan.
Sudah saatnya dunia pendidikan berhenti hanya mencetak pencari kerja. Lebih dari itu, sistem pendidikan perlu mendorong lahirnya wirausaha-wirausaha baru yang siap menjadi pelaku ekonomi andalan bangsa.
Jika semua unsur ini terintegrasi dalam satu visi, maka UMKM tidak hanya menjadi solusi darurat pengangguran, tetapi juga menjadi fondasi kokoh ekonomi nasional yang inklusif dan berdaya saing global.