JAKARTA - Perubahan nama kompetisi sepak bola nasional kembali menjadi sorotan, menyusul keputusan untuk mengganti nama Liga 1 menjadi Super League. Meski terkesan sebagai pembaruan identitas, langkah ini sebenarnya membuka kembali perdebatan lama soal konsistensi branding dan kekuatan brand equity dalam industri olahraga Indonesia.
Fenomena perubahan nama liga bukan pertama kalinya terjadi. Sejak era Divisi Utama pada 1994, kompetisi tertinggi di Indonesia telah mengalami enam kali pergantian nama. Perubahan terbaru ke “Super League” menjadi kelanjutan dari pola yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB), Ferry Paulus, menyatakan bahwa keputusan ini didasari kebutuhan akan kekuatan merek yang lebih solid. "Labelling kita, liga utamanya adalah Super League, siapa pun sponsornya," ujar Ferry, menandakan bahwa nama ini diharapkan menjadi identitas jangka panjang yang tak mudah berubah-ubah.
Namun, benarkah perubahan nama akan memperkuat merek liga? Atau justru sebaliknya, melemahkan fondasi brand equity yang tengah dibangun?
Stabilitas Brand: Fondasi yang Belum Kokoh
Dari kacamata akademis, stabilitas nama adalah elemen penting dalam membentuk brand equity yang kuat. Hal ini ditegaskan dalam riset Thilo Kunkel, seorang pakar branding olahraga dari Temple University, Amerika Serikat. Ia mengungkapkan bahwa dalam industri olahraga tim, nama, simbol, dan desain bukan sekadar elemen visual, melainkan aspek penting dalam membedakan dan mempertahankan identitas sebuah produk di mata konsumen.
Menurut Kunkel, kestabilan dalam branding memungkinkan audiens mengenali dan mengingat produk dengan lebih mudah, apalagi dalam konteks liga olahraga yang sangat bergantung pada loyalitas dan keterlibatan emosional penonton. Perubahan nama yang terlalu sering bisa berdampak negatif, bahkan menyebabkan kebingungan identitas di kalangan konsumen, termasuk sponsor dan penggemar.
Risiko Reset Brand Awareness
Penelitian-penelitian dalam industri olahraga menunjukkan bahwa kesadaran merek (brand awareness) dan citra merek (brand image) memainkan peran penting dalam kesuksesan kompetisi olahraga. Pergantian nama dapat mengakibatkan efek “reset” terhadap kesadaran yang telah dibentuk sebelumnya. Artinya, kerja keras untuk membangun pengenalan publik terhadap satu nama liga bisa hilang begitu saja hanya karena perubahan nomenklatur.
Kunkel mencontohkan kasus A-League di Australia yang lahir dari rebranding National Soccer League. Meski awalnya kontroversial, perubahan ini dilakukan secara strategis, termasuk penghapusan akar etnis pada nama-nama tim, dan terbukti mampu memperluas pasar serta menjangkau audiens yang lebih luas.
“Memodifikasi karakteristik dari sebuah merek olahraga dapat berdampak pada keterhubungan konsumen dengan produk,” tulis Kunkel dalam salah satu jurnal akademiknya.
Belajar dari Pengalaman Sendiri
Indonesia sebenarnya pernah memiliki momentum untuk membangun brand kuat lewat Liga 1 yang bertahan dari 2017 hingga 2025. Ini merupakan periode kedua terpanjang sejak Divisi Utama. Sayangnya, keputusan mengubah nama kembali menimbulkan kesan inkonsistensi dan membuat posisi merek liga semakin tidak kokoh.
Transisi dari era Divisi Utama ke ISL, kemudian ke IPL, dan munculnya dualisme liga juga telah merusak kredibilitas kompetisi nasional di mata publik dan internasional. Bahkan, pada satu titik, sanksi FIFA menyebabkan kelahiran turnamen sementara Indonesia Soccer Championship (ISC), yang semakin menambah fragmentasi brand dalam sejarah sepak bola Indonesia.
Super League: Nama Baru, Harapan Lama
Dengan mengusung nama Super League, Indonesia berharap bisa menciptakan citra baru yang kuat dan lebih kompetitif di mata dunia. Namun, nama saja tidak cukup. Tanpa dukungan konsistensi, strategi jangka panjang, dan pengelolaan yang profesional, perubahan ini hanya akan menjadi satu lagi babak dalam sejarah panjang perubahan yang tidak berdampak signifikan.
Sebagai perbandingan, Premier League di Inggris tetap mempertahankan namanya selama lebih dari dua dekade. Konsistensi ini yang turut menyumbang pada kuatnya posisi mereka sebagai liga paling bergengsi dan paling bernilai secara komersial di dunia.
Rebranding yang Berhasil Butuh Strategi Menyeluruh
Studi lain dari Amerika Serikat dan Australia menunjukkan bahwa rebranding bisa berhasil jika diikuti langkah besar dan nyata. Major League Soccer (MLS), misalnya, melakukan kampanye rebranding yang disertai kebijakan designated player, yang memungkinkan klub mendatangkan bintang dunia seperti David Beckham dan Thierry Henry. Begitu pula A-League di Australia yang merekrut nama-nama besar seperti Alessandro Del Piero demi menarik perhatian global.
Indonesia belum menunjukkan adanya strategi penguatan brand yang sekomprehensif itu. Mengubah nama tanpa mengubah cara membangun reputasi kompetisi hanyalah upaya kosmetik yang berisiko mengaburkan tujuan utama.
Bangun Brand, Bukan Hanya Nama
Jika ingin menjadikan Super League sebagai identitas yang bertahan lama, Indonesia perlu keluar dari pola lama perubahan tanpa arah. Branding bukan sekadar soal nama—ia adalah soal membangun kepercayaan, pengalaman penonton, serta reputasi kompetisi yang kuat, baik di dalam maupun luar negeri.
Super League memang terdengar menjanjikan. Tapi untuk benar-benar menjadi “super”, dibutuhkan komitmen institusional, pengelolaan profesional, dan konsistensi dalam membentuk persepsi publik. Tanpa itu semua, perubahan nama hanya akan menjadi penanda baru dari perjalanan panjang sepak bola Indonesia yang belum selesai mencari jati diri.