Perumahan

Perumahan di Zona Rawan Banjir, Tata Ruang Mataram Dikritik

Perumahan di Zona Rawan Banjir, Tata Ruang Mataram Dikritik
Perumahan di Zona Rawan Banjir, Tata Ruang Mataram Dikritik

JAKARTA - Bencana banjir bandang yang melanda Kota Mataram bukan hanya persoalan alam semata, tetapi lebih jauh merupakan cermin dari lemahnya tata kelola lingkungan dan tata ruang perkotaan. Alih fungsi lahan yang tak terkendali serta tidak optimalnya peran pemerintah dalam menjaga ekosistem sungai menjadi sorotan tajam sejumlah pihak. Desakan untuk memperketat izin pembangunan kembali mengemuka sebagai langkah preventif guna mencegah bencana serupa terjadi di masa mendatang.

Sorotan Terhadap Normalisasi Sungai

Salah satu faktor dominan yang dianggap berkontribusi besar terhadap terjadinya banjir bandang adalah kurangnya perhatian terhadap normalisasi sungai dan saluran air. I Gede Wiska, Anggota Komisi III DPRD Kota Mataram, secara tegas menyebut bahwa proses normalisasi sungai di Mataram sangat minim dilakukan. Ia menilai, meski tanggung jawab utama berada di Balai Besar Wilayah Sungai Nusa Tenggara I, anggaran yang tersedia untuk kegiatan tersebut terbilang kecil.

“Normalisasi sungai sangat minim sekali anggarannya. Jadi normalisasi hampir tidak tersentuh,” ujar Wiska, menggambarkan kondisi kritis pengelolaan sungai di kota tersebut.

Kurangnya kegiatan normalisasi berdampak pada penyempitan badan sungai dan sedimentasi tinggi yang menyebabkan air tak mampu mengalir secara maksimal. Saat hujan deras turun, air meluap dan menyebabkan genangan yang berujung pada banjir.

Tata Ruang dan Pemberian Izin Jadi Masalah Serius

Selain minimnya normalisasi, kebijakan tata ruang juga menjadi sorotan. Krisis tata ruang di Mataram dinilai semakin parah dengan mudahnya izin pembangunan diterbitkan, termasuk di kawasan yang rentan bencana. Menurut Wiska, pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam menerbitkan izin pembangunan, bahkan di zona yang secara teknis diperbolehkan.

“Sebenarnya kawasan itu boleh dibangun, tapi harus diperhatikan ekosistem di sekitarnya. Jadi harus lebih hati-hati menerbitkan izin,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa kajian analisis dampak lingkungan (amdal) perlu benar-benar dicermati. Namun sayangnya, meski kajian amdal menyatakan sebuah proyek layak, Pemkot Mataram terkadang tidak punya kekuatan untuk menolak karena khawatir akan menghambat investasi yang masuk.

Permasalahan Sampah yang Kronis

Tak hanya soal izin dan tata ruang, persoalan sampah juga tak luput dari perhatian. Dalam pandangan Fraksi PDI Perjuangan, salah satu penyebab utama banjir adalah tumpukan sampah yang menghambat aliran air di saluran dan sungai. Fraksi tersebut mendorong penerapan Peraturan Wali Kota (Perwal) tentang pengelolaan sampah agar masyarakat tidak lagi membuang sampah sembarangan.

“Perwal ini tidak diterapkan dengan alasan belum adanya fasilitas yang memadai,” ungkap Wiska.

Pengakuan Dinas PU Kota Mataram

Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Mataram, Lale Wediahning, mengakui bahwa penerbitan amdal yang tidak tepat dapat berdampak buruk bagi lingkungan. Ia menekankan bahwa air yang semestinya mengairi sawah dan kawasan terbuka kini dialirkan ke laut karena lahan sudah dipenuhi bangunan.

Soal revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Lale menegaskan bahwa pihaknya berupaya mempertahankan lahan-lahan tersisa yang memiliki fungsi ekologis. Namun di tengah pesatnya pembangunan infrastruktur, langkah ini bukan perkara mudah.

“Kita hanya bisa mempertahankan yang semestinya dipertahankan. Hanya itu yang tersisa,” katanya.

Kritik Tajam dari Walhi NTB

Organisasi lingkungan hidup juga angkat bicara. Direktur Walhi NTB, Amri Nuryadin, menyoroti bahwa banjir di Mataram sebagian besar terjadi di kawasan bantaran sungai yang menyempit. Hilangnya daerah resapan air dan rusaknya tata ruang, terutama di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS), membuat siklus hidrologi rusak parah.

“Siklus hidrologi sudah hancur lebur,” ujar Amri.

Ia menyarankan agar Pemkot Mataram segera menghentikan pembangunan di sekitar DAS dan mengkaji ulang kebijakan tata ruang. Perlu ada langkah tegas untuk merehabilitasi sungai yang telah rusak agar kembali menjalankan fungsinya secara optimal.

Usulan Moratorium dan Evaluasi Kebijakan

Amri juga menyarankan agar Pemkot memberlakukan moratorium atau penghentian sementara terhadap pembangunan di zona-zona rawan banjir. Evaluasi terhadap kebijakan pembangunan dan tata ruang juga mendesak dilakukan. Normalisasi saluran air dan pemulihan daerah resapan harus menjadi prioritas utama untuk meminimalisir risiko bencana di masa depan.

Tanggung Jawab Bersama

Banjir bandang bukan hanya dampak dari cuaca ekstrem, tetapi akumulasi dari buruknya pengelolaan lingkungan, tata ruang, dan ketidaktegasan regulasi. Keterlibatan semua pemangku kepentingan — pemerintah pusat, daerah, DPRD, hingga masyarakat — menjadi kunci penting dalam mengatasi krisis yang kian kompleks ini.

Langkah preventif seperti penguatan regulasi izin pembangunan, pemulihan ekosistem sungai, serta edukasi masyarakat soal kebersihan lingkungan mutlak diperlukan. Jika tidak, bencana serupa bisa saja kembali terjadi dengan dampak yang lebih besar.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index