JAKARTA - Di balik berbagai tantangan pembangunan yang masih dihadapi Indonesia, pendidikan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) terus menjadi fokus perhatian banyak pihak. Salah satu inisiatif yang lahir dari kesadaran akan pentingnya pemerataan akses pendidikan adalah gerakan Indonesia Mengajar. Bukan hanya sekadar program pengiriman relawan, Indonesia Mengajar telah menjadi simbol perubahan sosial yang dimulai dari ruang-ruang kelas sederhana di pelosok negeri.
Gagasan ini pertama kali dicetuskan oleh Anies Baswedan, berangkat dari keyakinannya bahwa masa depan bangsa harus dibangun dari akar: pendidikan. Ia meyakini bahwa mengirim anak-anak muda terbaik bangsa ke desa-desa yang belum terjangkau pendidikan layak adalah cara efektif untuk membangun jembatan pengetahuan antara pusat dan pinggiran.
Gerakan ini dirancang untuk mengajak lulusan-lulusan sarjana terbaik dari berbagai kampus untuk menjalani pengabdian selama satu tahun penuh di daerah 3T sebagai pengajar muda. Bukan tugas yang mudah, karena banyak di antara mereka harus menghadapi kondisi hidup yang jauh dari kenyamanan, termasuk akses listrik, fasilitas pendidikan yang minim, hingga kendala bahasa.
Wahyu Nur Hidayat adalah salah satu pengajar muda yang menjalani tantangan itu. Ia merupakan satu dari 71 orang yang terpilih dari 8.501 pendaftar. Saat itu, Wahyu sedang menempuh studi S2 di Universitas Negeri Malang, namun terpanggil untuk ikut ambil bagian dalam perubahan nyata lewat dunia pendidikan. Ia ditempatkan di Desa Pasirhaur, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak, Banten sebuah desa yang belum terjangkau listrik dan sangat terbatas fasilitas pendidikannya.
“Saya tertarik ikut karena ingin mengabdi di bidang pendidikan. Selain itu, saya ingin bertemu dengan mahasiswa dari kampus lain dan bersama-sama berkontribusi melalui pengabdian,” ungkap Wahyu.
Tugasnya di desa itu tidak hanya sebatas mengajar. Wahyu harus beradaptasi dengan kondisi masyarakat, memahami kearifan lokal, dan mendampingi murid-murid yang bahkan belum fasih berbahasa Indonesia. Ia mengajar murid-murid kelas 5 SD, yang sebagian besar belum memiliki kebiasaan membaca, menulis, atau bahkan berkomunikasi dalam bahasa nasional.
Untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan di lapangan, para calon pengajar muda menjalani pelatihan intensif selama delapan minggu. Dalam masa pelatihan ini, mereka dibekali dengan berbagai keterampilan penting seperti psikologi anak, pedagogi, komunikasi lintas budaya, hingga pengelolaan ketahanan diri. Penempatan dilakukan secara acak, dan tiap kabupaten biasanya menerima antara empat hingga delapan pengajar muda.
Meski masa pengabdian mereka hanya satu tahun, program Indonesia Mengajar didesain sebagai program berkelanjutan. Artinya, ketika satu angkatan menyelesaikan tugas, akan datang angkatan baru untuk melanjutkan peran di desa yang sama. Begitu pula yang terjadi di Desa Pasirhaur, yang mendapat pengajar muda selama lima tahun berturut-turut.
“Program ini sangat terstruktur. Setelah kami menyelesaikan satu tahun, diteruskan oleh pengajar muda berikutnya. Jadi ada kesinambungan dan pendampingan berkelanjutan,” jelas Wahyu.
Lima tahun kehadiran pengajar muda di desa tersebut membuahkan hasil. Anak-anak yang dulunya tidak mengenal cita-cita kini mulai menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Beberapa bahkan berhasil kuliah di luar daerah. Jejak para relawan muda tidak hanya meninggalkan kesan, tetapi juga mendorong lahirnya perubahan sosial yang nyata.
Tak hanya itu, berkat jaringan alumni Indonesia Mengajar, berbagai organisasi non-pemerintah mulai tertarik untuk terlibat mendukung pendidikan di desa. Salah satu NGO bekerja sama dengan masyarakat membangun rumah belajar untuk anak usia dini. Fasilitas tersebut hingga kini masih digunakan sebagai pusat kegiatan PAUD dan playgroup.
Kehadiran Indonesia Mengajar juga memicu lahirnya berbagai gerakan sosial dengan semangat serupa, seperti Kelas Inspirasi gerakan yang mengajak profesional dari berbagai bidang untuk mengajar sehari di sekolah-sekolah. Ada pula Gerakan TurunTangan yang berfokus pada partisipasi warga dalam pembangunan. Semua gerakan ini lahir dari nilai-nilai dasar yang ditanamkan oleh Indonesia Mengajar: keberanian untuk peduli dan semangat mengabdi.
Bagi Wahyu sendiri, pengalaman tersebut menjadi salah satu titik balik dalam hidupnya. Kini ia sedang menempuh pendidikan doktoral di Taiwan dengan beasiswa dari Kementerian Pendidikan setempat. Meski telah menempuh jalur akademik yang tinggi, kenangan akan masa-masa tinggal dan mengajar di desa terpencil tetap menjadi kompas moral dalam perjuangan intelektualnya.
“Pak Anies pernah berpesan bahwa orang-orang baik harus mewarnai banyak sektor. Kita yang pernah hidup berdampingan dengan masyarakat dalam keterbatasan, seharusnya tidak pernah lupa pada akar perjuangan itu,” ucap Wahyu.
Kisah Wahyu dan ribuan pengajar muda lainnya menunjukkan bahwa perubahan tidak selalu harus dimulai dari atas. Terkadang, transformasi besar bisa lahir dari ketulusan mengajar di ruang-ruang kelas kecil, dengan papan tulis seadanya, namun penuh semangat belajar. Indonesia Mengajar telah menjadi jembatan harapan bagi ribuan anak di daerah terpencil, sekaligus bukti bahwa gagasan sederhana, jika dijalankan dengan konsisten, dapat menjadi gerakan besar yang menyulut perubahan nyata.