JAKARTA - Di tengah era digital yang serba cepat, di mana anak-anak begitu lekat dengan layar gadget sejak usia dini, hadirnya program Sekolah Rakyat membawa angin segar dalam dunia pendidikan. Uji coba program ini telah dimulai di Jakarta dan Bekasi, dengan salah satu pilot project berlangsung di Sekolah Rakyat Sentra Handayani, Cipayung, Jakarta Timur.
Berbeda dari sistem sekolah konvensional, Sekolah Rakyat membawa pendekatan yang lebih menyeluruh terhadap pembentukan karakter, pola hidup sehat, dan nilai-nilai disiplin. Sebanyak 75 siswa terlibat dalam simulasi yang berlangsung selama dua hari satu malam. Mereka bukan hanya belajar di kelas, tapi juga diajak menyelami gaya hidup sehat dan rutinitas yang teratur hal yang semakin jarang ditemui dalam kehidupan anak-anak zaman sekarang.
Salah satu prinsip utama yang diterapkan di Sekolah Rakyat adalah pembiasaan tidur teratur. Kepala Sekolah Rakyat Sentra Handayani, Regut Sutrasto, menjelaskan pentingnya melatih anak-anak untuk tidur lebih awal. “Bagaimana mengubah pola anak yang biasanya jam 10 (malam) belum tidur, jam 11 (malam) belum tidur. Kita ajarkan jam 9 (malam) sudah tidur, anak-anak sudah harus istirahat,” ujarnya.
- Baca Juga Bahaya Gadget bagi Otak Remaja
Pola tidur yang baik, menurut Regut, adalah fondasi penting bagi tumbuh kembang anak. Dengan tidur cukup, anak-anak akan lebih siap untuk bangun pagi dan mengikuti kegiatan seperti salat subuh berjamaah, senam, serta aktivitas belajar lainnya.
Yang paling mencolok dari pendekatan Sekolah Rakyat adalah aturan ketat terhadap penggunaan gadget. Para siswa sama sekali tidak diperbolehkan membawa ponsel selama masa belajar. Bahkan di akhir pekan, larangan ini tetap diberlakukan. “Enggak boleh (bawa ponsel). Sabtu-Minggu juga tidak boleh,” tegas Regut.
Langkah ini bukan sekadar larangan, melainkan bagian dari filosofi pendidikan yang ingin memutus ketergantungan anak terhadap perangkat digital dan mengembalikan esensi interaksi sosial yang sehat. Jika anak ingin menghubungi orang tuanya, komunikasi dilakukan melalui wali asuh, yang bertugas mendampingi dan membina sepuluh siswa setiap kelompok.
Wali asuh tak hanya berperan sebagai penghubung dengan keluarga, namun juga menjadi pendamping spiritual, terutama dalam kegiatan ibadah harian para siswa. Peran ini sangat penting dalam menjaga suasana pendidikan yang terstruktur dan sarat nilai keagamaan.
Selama dua hari simulasi, siswa mengikuti berbagai kegiatan yang tidak hanya menekankan aspek akademik, tapi juga keseimbangan fisik dan mental. Mereka memulai hari dengan salat subuh berjamaah, dilanjutkan senam pagi dan sarapan bersama. Setelah itu, anak-anak diberi waktu untuk bersiap mengikuti kegiatan pengenalan lingkungan sekolah. Dalam sesi ini, para siswa dibagi dalam tiga kelompok kecil yang masing-masing dipandu dua guru. Mereka diajak berkeliling dan mengenali berbagai fasilitas yang ada di Sekolah Rakyat, mulai dari ruang kelas, ruang ibadah, area bermain, hingga ruang makan.
Kegiatan edukatif ini dirancang untuk membangun keterikatan emosional antara anak dan lingkungan sekolah, sekaligus menanamkan rasa tanggung jawab dan kemandirian sejak dini. Hal ini ditunjukkan pula dalam kegiatan makan siang bersama, di mana anak-anak tidak hanya menikmati makanan, tapi juga diajarkan untuk membereskan perlengkapan pribadi mereka sendiri.
Proses belajar sambil bermain menjadi kunci pendekatan Sekolah Rakyat. Tidak mengherankan bila sebagian besar anak menunjukkan antusiasme tinggi. Muhammad Haris, salah satu peserta simulasi, mengaku sangat menikmati pengalaman yang ia dapatkan. “Senang banget. Enggak sabar mau sekolah di sini. Soalnya di sini enak, enggak stres karena banyak belajar sambil bermain,” ucapnya.
Ucapan Haris mencerminkan keberhasilan pendekatan non-konvensional yang diterapkan. Anak-anak merasa belajar bukan sebagai beban, melainkan sebagai bagian dari proses tumbuh dan berkembang secara alami. Atmosfer pendidikan yang dibangun dalam Sekolah Rakyat tidak menekan, namun justru membebaskan anak-anak untuk berkembang sesuai potensi mereka.
Regut Sutrasto menyampaikan rasa syukur atas respon positif dari siswa selama simulasi. Menurutnya, antusiasme anak-anak merupakan energi tambahan bagi para guru dalam menjalankan misi pendidikan ini. “(Murid-murid) pada senang, alhamdulillah. Dan itu jadi amunisi kita ya, para guru untuk terus semangat membimbing mereka,” tuturnya.
Sekolah Rakyat Sentra Handayani memiliki komposisi pengajar yang seimbang, terdiri dari 12 guru laki-laki dan perempuan. Rasio ini menunjukkan komitmen penyelenggara untuk menyediakan lingkungan belajar yang inklusif dan aman bagi siswa laki-laki maupun perempuan.
Di era di mana pendidikan seringkali terjebak dalam kurikulum kaku dan teknologi yang terlalu dominan, inisiatif Sekolah Rakyat menjadi upaya segar dan berani untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih manusiawi. Dengan fokus pada pembentukan karakter, pembiasaan hidup sehat, dan pengurangan ketergantungan pada teknologi, sekolah ini membuka jalan menuju model pendidikan alternatif yang layak untuk diperluas ke seluruh Indonesia.
Jika ke depannya uji coba ini berhasil, bukan tidak mungkin Sekolah Rakyat akan menjadi inspirasi bagi reformasi pendidikan nasional. Sebuah sistem yang mengedepankan keseimbangan antara kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang kini sangat dibutuhkan generasi muda Indonesia.