JAKARTA - Langkah konkret menuju penguatan ekosistem hilirisasi nasional kembali diperlihatkan oleh kolaborasi dua perusahaan besar dalam industri pertambangan dan manufaktur Indonesia. PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Solder Tin Andalan Indonesia (Stania) secara resmi menyepakati kerja sama pemasokan logam hasil pemurnian dalam negeri. Penandatanganan Heads of Agreement (HoA) antara kedua belah pihak menjadi tonggak penting dalam pemanfaatan produk logam lokal untuk memperkuat industri solder nasional.
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas, menyampaikan bahwa pihaknya siap menyuplai logam hasil pemurnian dari fasilitas Precious Metal Refinery (PMR), berupa perak dan timbal, ke Stania. Kebutuhan tahunan perusahaan mitra tersebut mencapai sekitar 10 ton perak dan 250 ton timbal. Bahan baku ini menjadi komponen utama dalam produksi solder tin—produk yang sangat strategis dalam industri elektronik dan otomotif.
“PTFI memproduksi perak serta by product lainnya seperti timbal. Itu yang kemudian kami suplai ke Stania untuk campuran solder tin,” ujar Tony.
Ia menegaskan pentingnya sinergi seperti ini untuk memperkuat kemandirian rantai pasok industri nasional. Apalagi dengan semakin besarnya tekanan untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku industri, kemitraan dengan pelaku usaha dalam negeri menjadi sangat krusial. Tony menyatakan pihaknya membuka peluang lebih luas untuk kerja sama serupa dengan sektor-sektor lain, termasuk industri kendaraan listrik (EV) yang kini berkembang pesat di Indonesia.
“Kami berharap industri nasional menyerap hasil pemurnian logam PTFI, dan kini terbukti sudah ada permintaan. Selain Stania, kami juga membuka peluang kerja sama dengan pihak lain yang membutuhkan logam hasil pemurnian untuk mendukung ekosistem hilirisasi dan kendaraan listrik (EV),” katanya.
Fasilitas PMR milik Freeport diakui sebagai salah satu yang paling canggih di dalam negeri. Dengan kapasitas pemurnian hingga 50 ton emas, 200 ton perak, serta logam-logam platinum group seperti 30 kg platinum dan 375 kg paladium setiap tahun, fasilitas ini tidak hanya menopang produksi logam mulia nasional, tapi juga memainkan peran penting dalam memperkuat rantai nilai hilirisasi mineral.
“Pada Juli ini, PMR PTFI mulai memproduksi perak batangan. Hingga akhir 2025, diproyeksikan produksi perak akan mencapai 100 ton. Sementara timbal bisa mencapai 2.000 ton per tahun,” tambah Tony.
Ia menilai bahwa kerja sama dengan Stania bukan sekadar transaksi bisnis, tetapi juga simbol dari semangat hilirisasi mineral yang selama ini terus didorong pemerintah. Proses nilai tambah yang dilakukan di dalam negeri akan mendukung pencapaian visi jangka panjang Indonesia Emas, di mana pengelolaan sumber daya alam menjadi katalis pembangunan ekonomi.
Dari sisi mitra, Direktur PT Stania, Sudarno, menyambut baik kolaborasi ini. Ia menyebut kerja sama dengan Freeport sebagai fondasi penting bagi upaya perusahaannya memperkuat rantai pasok lokal dan mendukung pembangunan industri solder nasional yang lebih berdaya saing.
“Perak dan timbal sangat dibutuhkan untuk campuran produksi solder tin. Kebutuhan awal kami mencapai 10 ton perak dan 250 ton timbal per tahun,” ucap Sudarno.
Stania, yang selama ini kerap mengandalkan bahan baku impor, melihat kemitraan ini sebagai langkah signifikan dalam mendukung kebijakan substitusi impor yang dicanangkan pemerintah. Dengan memastikan pasokan bahan baku dari dalam negeri, mereka tidak hanya menekan biaya logistik dan risiko pasokan global, tetapi juga memperkuat kemandirian industri nasional.
“Sinergi ini sekaligus memperkuat fondasi bisnis Stania, sebab kami tidak lagi bergantung pada bahan baku dari luar negeri,” tegasnya.
Penandatanganan HoA ini akan dilanjutkan dengan negosiasi menyeluruh menuju perjanjian definitif. Termasuk di dalamnya berbagai kajian teknis, logistik, serta sinkronisasi prosedur operasional kedua belah pihak.
Selain itu, kolaborasi ini juga dinilai strategis dalam membangun daya saing industri pertambangan nasional. Dengan meningkatnya produksi logam bernilai dari PMR Freeport, dan adanya permintaan domestik dari pelaku manufaktur seperti Stania, siklus hilirisasi nasional menjadi lebih lengkap dan terintegrasi.
Langkah ini menunjukkan bagaimana sinergi antara perusahaan tambang dan industri hilir dapat menciptakan ekosistem industri yang berkelanjutan. Melalui kemitraan jangka panjang seperti ini, Indonesia berpeluang besar mengoptimalkan kekayaan sumber daya alamnya secara lebih inklusif dan bernilai tambah tinggi.
Di tengah dorongan transformasi ekonomi yang lebih inklusif dan berorientasi ekspor, kerja sama semacam ini memperkuat posisi Indonesia sebagai negara dengan sumber daya mineral strategis yang mampu diolah di dalam negeri. Dengan komitmen bersama, Freeport dan Stania memperlihatkan bahwa hilirisasi bukan sekadar wacana, tapi telah menjadi bagian nyata dari perjalanan industri nasional menuju masa depan yang lebih mandiri dan berdaya saing.