Pertambangan

Kalbar Dorong Keadilan DBH SDA Pertambangan untuk Perkuat Fiskal Daerah

Kalbar Dorong Keadilan DBH SDA Pertambangan untuk Perkuat Fiskal Daerah
Kalbar Dorong Keadilan DBH SDA Pertambangan untuk Perkuat Fiskal Daerah

JAKARTA - Dalam upaya memperkuat ketahanan fiskal daerah, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat mendorong penguatan peran sektor sumber daya alam (SDA) dalam menyokong penerimaan daerah. Isu ini menjadi sorotan utama dalam forum koordinasi antar-gubernur dari berbagai provinsi penghasil SDA, yang bertujuan menciptakan sinergi strategis untuk meningkatkan Dana Bagi Hasil (DBH) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan dan kehutanan.

Gubernur Kalimantan Barat, Ria Norsan, memaparkan bahwa Kalbar memiliki potensi besar di sektor kehutanan dan pertambangan, namun masih menghadapi tantangan signifikan dalam hal optimalisasi fiskal. Wilayah Kalbar mencakup 14,7 juta hektare, dengan 57 persen di antaranya adalah kawasan hutan dan sisanya merupakan areal penggunaan lain. Sebanyak 1.157 dari total 2.046 desa berada di dalam atau sekitar kawasan hutan, menandakan betapa eratnya keterkaitan masyarakat lokal dengan sektor kehutanan.

“Provinsi Kalimantan Barat memiliki 2.046 desa, di mana lebih dari separuhnya yakni 1.157 desa berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Ini menunjukkan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap hutan sebagai bagian dari kehidupan dan penghidupan,” kata Ria Norsan.

Potensi besar Kalbar tidak hanya pada kawasan hutan, tetapi juga pada keberadaan Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) seluas 2,79 juta hektare dan ekosistem mangrove sekitar 162.219 hektare. Namun, realisasi pemanfaatan potensi ini dalam bentuk penerimaan fiskal masih belum optimal.

Salah satu tantangan yang mencuat adalah penghapusan PNBP Iuran Tetap untuk Komoditas Mineral Bukan Logam dan Batuan melalui PP No. 19 Tahun 2025. Dampak dari kebijakan ini telah mulai dirasakan, dengan penurunan tajam pada proyeksi DBH Kalbar dari Rp97,2 miliar pada 2020 menjadi hanya Rp32,8 miliar pada triwulan pertama 2025.

“Fluktuasi DBH sangat terasa, dari Rp97,2 miliar pada 2020 hingga proyeksi Rp32,8 miliar di triwulan I tahun 2025. Ini perlu menjadi bahan evaluasi bersama dalam rakor ini,” jelasnya.

DBH pertambangan Kalbar sendiri sebagian besar berasal dari Iuran Tetap (landrent) dengan porsi 30 persen dan Iuran Produksi (royalti) dengan porsi 16 persen, sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 2022. Sayangnya, kendala regulasi pusat membuat penghitungan dan distribusi DBH tidak selalu mencerminkan kontribusi riil daerah terhadap produksi nasional.

Di sektor kehutanan, Kalbar memiliki 65 unit izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) seluas ±2,75 juta hektare. Izin tersebut meliputi Hutan Alam, Hutan Tanaman, Restorasi Ekosistem, hingga Jasa Lingkungan Karbon. Sementara itu, industri primer pengolahan hasil hutan berjumlah 114 unit yang tersebar di berbagai wilayah.

Program Perhutanan Sosial juga menunjukkan perkembangan signifikan dengan 271 unit persetujuan yang mencakup 701.862 hektare. Skema ini terdiri dari Hutan Desa, Hutan Adat, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, dan Kemitraan Kehutanan. Pemanfaatan kawasan hutan melalui mekanisme Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) juga telah berjalan, dengan total 49 persetujuan seluas 83.199 hektare, baik untuk kegiatan tambang maupun non-tambang.

Meski begitu, Gubernur Kalbar menekankan masih adanya piutang Rp73,45 miliar dari Pemanfaatan Kawasan Hutan (PKH) yang belum tertagih. Hal ini menunjukkan perlunya sistem pengawasan dan penagihan yang lebih ketat, sekaligus kejelasan mekanisme bagi hasil PNBP PKH kepada pemerintah daerah.

“Kendala lain adalah tidak adanya mekanisme bagi hasil dari PNBP PKH untuk pemerintah daerah, sehingga pelaksanaan pengawasan dan evaluasi di lapangan menjadi terbatas,” tegas Ria Norsan.

Tren menurunnya Transfer ke Daerah (TKDD) dari sektor kehutanan juga turut menjadi perhatian. Dari realisasi Rp54,44 miliar pada 2019, TKDD hanya tersisa Rp10,66 miliar pada 2025. Komponen utama dalam TKDD adalah Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), yang juga mengalami fluktuasi seiring tahun.

Ria Norsan menilai perlu ada kebijakan afirmatif dari pusat untuk menjamin keberlanjutan fiskal daerah berbasis SDA. Tidak cukup hanya mengandalkan DBH dan PNBP, melainkan dibutuhkan sinergi antarprovinsi dan keberpihakan regulasi pusat dalam mendukung daerah penghasil.

“Penurunan ini harus menjadi perhatian dalam upaya penguatan fiskal daerah. Rakor ini diharapkan menghasilkan sinergi dan solusi konkret untuk menjaga kesinambungan pendapatan dari sektor sumber daya alam,” tutupnya.

Dengan semakin kompleksnya tantangan pengelolaan SDA dalam konteks fiskal, Pemerintah Provinsi Kalbar mendorong agar forum koordinasi ini tidak sekadar menjadi ruang diskusi, tetapi benar-benar melahirkan langkah implementatif yang bisa diadopsi lintas provinsi demi keseimbangan fiskal yang adil dan berkelanjutan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index