JAKARTA - Kembalinya penerbangan langsung dari Semarang ke Karimunjawa membawa secercah harapan bagi geliat pariwisata di Kabupaten Jepara. Namun di balik optimisme itu, pelaku usaha perhotelan dan restoran justru menyuarakan sejumlah catatan penting yang harus segera direspons agar potensi besar ini tidak kembali tergerus oleh hambatan klasik: minimnya kapasitas kursi dan tingginya harga tiket.
Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jepara, Farah Elfira, menilai hadirnya konektivitas udara ke destinasi wisata unggulan seperti Karimunjawa merupakan langkah yang sangat dibutuhkan. Menurutnya, jalur penerbangan langsung menjadi salah satu elemen vital dalam mempercepat pemulihan dan pertumbuhan sektor pariwisata pasca-pandemi.
“Ini harapan lama yang akhirnya terwujud,” ujarnya dengan antusias.
Namun demikian, ia tidak menutup mata bahwa realisasi layanan ini masih jauh dari harapan pelaku industri wisata. Kapasitas pesawat yang hanya menyediakan 12 kursi dalam satu kali penerbangan dianggap tidak sebanding dengan tingginya permintaan yang mulai muncul seiring masuknya musim liburan.
“Saat ini hanya tersedia 12 kursi. Padahal dulu pernah ada pesawat yang angkut 50 penumpang,” ujar Farah.
Potensi Besar, Tapi Dihadang Keterbatasan
Farah mengingatkan, jika fasilitas penerbangan tak segera ditingkatkan, maka harapan untuk kembali menarik wisatawan ke Karimunjawa bisa berujung sia-sia. Kapasitas yang minim sangat membatasi akses wisatawan yang ingin bepergian secara cepat dan efisien ke pulau eksotis tersebut.
Ia juga menyoroti jadwal terbang yang masih sangat terbatas. Saat ini, maskapai Susi Air melayani rute Semarang–Karimunjawa hanya tiga kali dalam sepekan, yakni pada hari Senin, Jumat, dan Minggu. Jumlah ini dinilai belum mencukupi kebutuhan para pelancong, terutama mereka yang merencanakan perjalanan singkat saat akhir pekan atau libur nasional.
“Jadwal terbang idealnya tersedia setiap hari,” tegasnya.
Dengan keterbatasan frekuensi dan kapasitas seperti sekarang, wisatawan memiliki sedikit pilihan waktu. Padahal, fleksibilitas jadwal sangat penting dalam menarik segmen wisatawan modern yang cenderung merencanakan liburan secara spontan.
Harga Tiket Jadi Sorotan
Tak hanya soal kapasitas dan frekuensi, harga tiket pesawat juga menjadi sorotan tajam. Menurut Farah, biaya sekali terbang mencapai Rp1 juta per penumpang. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya, ketika penerbangan sejenis hanya mematok tarif antara Rp500.000 hingga Rp600.000.
“Sekarang orang pasti mikir dua kali,” ujarnya, menggarisbawahi bahwa harga tersebut dinilai tidak kompetitif, terutama jika dibandingkan dengan moda transportasi lain seperti kapal ferry atau kapal cepat yang jauh lebih murah dan memiliki jadwal keberangkatan lebih rutin.
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa meski ada jalur udara ke Karimunjawa, tidak akan banyak yang memanfaatkannya karena kendala biaya. Jika tidak segera dilakukan penyesuaian harga atau peningkatan pelayanan, rute ini berpotensi tidak mampu bertahan di tengah persaingan transportasi antarpulau yang semakin kompetitif.
Tantangan Menghidupkan Kembali Wisata Karimunjawa
Farah Elfira mengingatkan, destinasi wisata Karimunjawa pernah mengalami masa keemasan. Pada 2018, maskapai NAM Air sempat mengoperasikan pesawat jenis ATR 72-600 dengan kapasitas 50 kursi untuk melayani rute yang sama. Saat itu, jumlah wisatawan melonjak tajam, seiring meningkatnya kenyamanan dan kemudahan akses menuju pulau tersebut.
Ia berharap, pengalaman masa lalu itu bisa dijadikan pelajaran dan acuan untuk membangun kembali layanan penerbangan yang benar-benar menjawab kebutuhan pariwisata. Ketersediaan transportasi udara yang layak dinilai sebagai prasyarat mutlak untuk menghidupkan kembali sektor wisata Karimunjawa yang sempat lesu akibat pandemi.
“Kalau dikelola dengan baik, penerbangan ini bisa kembali menarik minat wisatawan seperti dulu,” katanya penuh harap.
PHRI Optimistis, Tapi Butuh Komitmen
Meskipun sejumlah persoalan masih membayangi, PHRI Jepara tetap menyambut positif langkah awal hadirnya kembali penerbangan ke Karimunjawa. Bagi para pelaku usaha wisata, hal ini adalah langkah penting yang perlu terus disempurnakan, bukan dimatikan oleh kekurangan teknis yang sebenarnya bisa diatasi.
Farah mengatakan, selama ada kemauan dari berbagai pihak, baik dari maskapai, pemerintah daerah, hingga otoritas pariwisata, maka penyesuaian kapasitas, frekuensi, dan tarif tiket bisa dilakukan secara bertahap. Hal ini penting agar penerbangan tidak hanya bertahan sesaat, tetapi benar-benar mampu mendukung ekosistem pariwisata yang berkelanjutan di Karimunjawa.
Ia menambahkan, jika transportasi udara benar-benar bisa menjadi jalur utama menuju Karimunjawa, maka multiplier effect-nya akan terasa hingga ke sektor penginapan, kuliner, UMKM lokal, hingga penyedia jasa wisata bahari seperti snorkeling dan diving.
“Kami tetap optimistis, tinggal bagaimana pengelolaannya ke depan. Jangan sampai kesempatan ini hilang lagi,” tutup Farah.