JAKARTA - Inovasi teknologi yang menyatukan ekosistem perangkat pintar dengan kendaraan kini kembali dipertanyakan, seiring keputusan Xiaomi menggunakan cip kelas konsumen dalam mobil listrik terbarunya, YU7. Alih-alih dipuji sebagai gebrakan, langkah ini justru memantik diskusi luas di kalangan produsen otomotif, menyangkut batas aman pemanfaatan teknologi non-otomotif di dalam kendaraan.
Keputusan Xiaomi menyematkan cip Qualcomm Snapdragon 8 Gen 3 yang lazimnya dipakai di ponsel pintar pada sistem kokpit YU7, dianggap oleh sebagian pelaku industri sebagai langkah berani tapi berisiko. Hal ini mengemuka setelah pernyataan dari Wakil Manajer Umum Eksekutif FAW-Audi Sales Co Ltd, Li Fenggang, yang menyoroti perbedaan mendasar antara cip yang dibuat untuk keperluan konsumen harian dan cip yang memang dirancang untuk sektor otomotif.
Dalam wawancaranya yang dikutip oleh Car News China, Li Fenggang mengungkapkan bahwa Audi tidak akan mengorbankan keselamatan pengguna hanya demi mempercepat inovasi atau efisiensi biaya. Menurutnya, mobil bukan sekadar perangkat elektronik yang bisa berevolusi secara cepat dan mudah diperbarui, tapi sebuah produk yang harus tunduk pada regulasi keselamatan tingkat tinggi karena membawa nyawa manusia di dalamnya.
- Baca Juga Wisata Pulau Eksotis Dekat Jakarta
“Mobil bukan barang konsumsi yang bergerak cepat. Kami tidak akan mengorbankan standar hanya demi mengikuti tren,” ujar Li dengan tegas. Ia menambahkan bahwa cip untuk kendaraan semestinya menjalani sertifikasi ketat seperti AEC-Q, ISO 26262, dan IATF 16949 agar dapat diandalkan di berbagai kondisi ekstrem seperti suhu tinggi, guncangan, kelembapan, dan debu yang lazim terjadi di jalan raya.
Dilema antara Efisiensi dan Keamanan
Cip kelas konsumen memang menawarkan harga lebih terjangkau dan performa tinggi untuk pemrosesan data, terutama dalam konteks antarmuka pengguna dan hiburan. Hal ini membuatnya menarik bagi produsen kendaraan yang ingin menyematkan fitur-fitur canggih seperti asisten suara, layar sentuh resolusi tinggi, hingga sistem hiburan berbasis AI, tanpa membebani biaya produksi secara berlebihan.
Namun dari sisi keamanan dan ketahanan, cip kelas konsumen belum tentu dirancang untuk bertahan dalam kondisi lingkungan kendaraan yang jauh lebih ekstrem dibandingkan rumah atau kantor. Cip otomotif, di sisi lain, memang tidak selalu unggul dalam hal efisiensi energi atau pemrosesan grafis, tapi telah diuji dalam standar lingkungan yang sangat spesifik untuk kendaraan.
Xiaomi YU7 menjadi kontroversial bukan hanya karena penggunaan cip consumer-grade, tetapi juga karena simbolisme dari keputusan itu. Beberapa netizen bahkan menyindir bahwa Xiaomi memasang cip ponsel di mobil, namun melengkapinya dengan tisu boks yang telah lolos standar otomotif. Perbandingan ironis ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam penempatan prioritas antara estetika, harga, dan keamanan.
Bukan yang Pertama, Tapi Kini Jadi Sorotan
Fenomena ini bukan sepenuhnya baru. Tesla, sebagai pelopor mobil listrik pintar, juga pernah menggunakan cip non-otomotif pada beberapa modelnya. Namun keputusan itu berbuntut panjang setelah munculnya isu overheat dan kebutuhan untuk melakukan penarikan massal (recall). Kasus tersebut menjadi preseden penting bagi industri, bahwa efisiensi biaya tak boleh mengalahkan integritas teknis.
Xiaomi tampaknya sadar akan kontroversi tersebut, namun tetap optimis pada penerapan teknologinya. Mereka mengklaim bahwa cip Snapdragon 8 Gen 3 yang digunakan telah melalui pengujian internal yang ketat. Namun hal itu belum tentu menjamin bahwa semua aspek regulasi otomotif telah dipenuhi, terutama yang menyangkut sertifikasi keselamatan jangka panjang.
Mobil Listrik: Inovasi Cepat, Regulasi Harus Mengimbangi
Mobil listrik menjadi ladang baru bagi perusahaan teknologi seperti Xiaomi untuk unjuk gigi. Mereka tak lagi hanya menyuplai teknologi ke produsen otomotif, tapi kini terjun langsung ke pasar kendaraan sebagai pemain utama. Namun dengan pergeseran peran itu, muncul pula tanggung jawab baru yang tak bisa disepelekan.
Li Fenggang dari Audi menjadi salah satu suara dari pihak tradisional otomotif yang mengingatkan bahwa di balik transformasi digital yang masif, tetap ada prinsip dasar yang tak boleh diabaikan yakni keselamatan pengguna sebagai prioritas utama.
“Kami tidak akan menukar keselamatan dengan kecepatan inovasi,” tegasnya, sekaligus menyentil praktik penggunaan teknologi non-otomotif di dalam kendaraan massal.
Audi sendiri dikenal sangat ketat dalam pemilihan komponen elektronik untuk kendaraannya. Mereka menolak untuk menggunakan cip consumer grade, bahkan ketika pesaing lain memilih jalan pintas demi efisiensi biaya dan kecepatan pengembangan produk.
Menuju Solusi: Harmonisasi Inovasi dan Standar Keselamatan
Kasus Xiaomi YU7 bisa menjadi momen reflektif bagi industri kendaraan listrik global. Apakah kecepatan inovasi teknologi bisa terus digenjot tanpa mengorbankan aspek keselamatan dan keandalan? Atau justru harus ada penyelarasan baru antara dunia otomotif dan teknologi konsumen agar terjadi harmonisasi standar?
Fakta bahwa beberapa produsen tetap menggunakan cip consumer-grade meski ada risiko, mengindikasikan bahwa celah regulasi masih terbuka. Ini juga menjadi tantangan bagi lembaga sertifikasi dan regulator di berbagai negara untuk segera mengadaptasi standar yang relevan dengan cepatnya integrasi teknologi dalam otomotif.
Satu hal yang pasti, masyarakat kini semakin kritis. Mereka tak hanya membeli mobil karena desain atau fitur, tapi juga karena kepercayaan terhadap kualitas dan keselamatan produk. Dan dalam lanskap kompetisi kendaraan listrik masa depan, reputasi dan tanggung jawab sosial akan memainkan peran yang sama pentingnya dengan inovasi teknologi.