JAKARTA - Fenomena menarik terjadi di sektor tambang Asia Tenggara, khususnya dalam perdagangan bijih nikel antara Filipina dan Indonesia. Di tengah ketatnya regulasi pertambangan yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia, para pengusaha tambang di Filipina melihat peluang baru untuk menyalurkan produksinya ke negeri tetangga. Imbas dari pembatasan produksi domestik di Indonesia, terutama untuk fasilitas pengolahan milik China, membuat permintaan impor nikel meningkat tajam, dan Filipina menjadi pemasok utama dalam merespons kebutuhan tersebut.
Peningkatan pengiriman bijih nikel dari Filipina ke Indonesia tidak lepas dari langkah Jakarta yang semakin memperketat pengelolaan sumber daya mineralnya. Tujuannya bukan semata mengendalikan ekspor, tetapi juga untuk menjaga harga tetap stabil dan mendukung hilirisasi nasional. Namun, kebijakan tersebut turut mempengaruhi rantai pasok internasional dan memaksa pelaku industri global, khususnya mitra industri asal Tiongkok, mencari alternatif pasokan dari luar Indonesia.
Presiden unit pertambangan konglomerat Filipina DMCI Holdings Inc., Tulsi Das Reyes, memperkirakan bahwa ekspor bijih nikel dari negaranya ke Indonesia bisa melonjak drastis dari sekitar satu juta ton pada akhir 2023 menjadi antara lima juta hingga 10 juta ton pada tahun berjalan. Proyeksi ini mencerminkan peningkatan tajam dan sekaligus menandai perubahan arah arus perdagangan mineral strategis antar negara ASEAN.
- Baca Juga OPEC Optimis Permintaan Minyak Stabil
“Jika saya Indonesia, saya akan memaksimalkan apa yang saya miliki secara internal. Saya rasa mereka tidak akan menginginkan lebih banyak impor dari Filipina,” ujar Reyes.
Meskipun sebagian besar produksi bijih nikel Filipina yang mencapai lebih dari 30 juta ton masih didedikasikan untuk pasar utama di China, tren pengiriman ke Indonesia menunjukkan peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini juga dipicu oleh ketentuan-ketentuan baru dari pemerintah Indonesia yang membatasi ekspor mineral mentah demi memperkuat posisi industri hilir dalam negeri.
DMCI Mining, sebagai salah satu pemain utama di Filipina, memperkirakan akan mengalokasikan sekitar dua juta ton bijih ke pasar Indonesia pada tahun ini. Reyes menyebut bahwa walaupun lonjakan ekspor ini bisa bersifat temporer, tingkat pengiriman yang stabil kemungkinan akan terus terjaga selama permintaan di Indonesia dan dari mitra industri global seperti China masih tinggi.
Namun, ia menilai bahwa Indonesia tetap memiliki agenda besar untuk mengutamakan sumber daya internalnya dalam memenuhi kebutuhan industri, terutama untuk mendukung strategi hilirisasi nasional yang sudah berjalan dalam beberapa tahun terakhir.
“Pemilik pabrik China juga kemungkinan akan memrioritaskan pengadaan dari tambang mitra mereka di Indonesia,” imbuhnya.
Secara global, Filipina adalah produsen bijih nikel terbesar kedua, setelah Indonesia. Namun dalam pengembangan industri hilir, Filipina masih tertinggal jauh. Hal ini disebabkan oleh tingginya kebutuhan modal untuk membangun fasilitas pemrosesan, seperti smelter atau kilang pengolahan logam dasar.
Upaya pemerintah Filipina untuk mendorong industrialisasi sektor tambang sempat menemui hambatan. Usulan pelarangan ekspor mineral mentah, yang sebelumnya dirancang untuk memaksa perusahaan tambang berinvestasi dalam pengolahan lokal, dibatalkan oleh parlemen Filipina. Pembatalan ini dilakukan setelah mendapat penolakan luas dari industri yang belum siap bertransformasi secara cepat.
Kendati demikian, sejumlah perusahaan besar tetap melanjutkan rencana pengembangan hilirisasi. Salah satunya adalah kemitraan strategis antara DMCI Holdings dan Nickel Asia Corp, yang tengah mengevaluasi pembangunan pabrik pemrosesan nikel berteknologi pelindian asam bertekanan tinggi (HPAL). Proyek ini diperkirakan bernilai sekitar US$1,5 miliar atau Rp24,4 triliun.
Untuk merealisasikan pabrik ini, diperlukan cadangan bijih nikel dalam jumlah besar dan kualitas tertentu. DMCI Mining menyebutkan kebutuhan cadangan sekitar 300 juta ton dengan kadar minimum tertentu untuk menjamin keberlanjutan produksi selama tiga dekade. Perusahaan tersebut kini memiliki dua tambang utama dan sedang menjajaki pengembangan wilayah baru untuk eksplorasi lebih lanjut.
Dalam keterangan terpisah, Reyes menyatakan bahwa pertumbuhan bisnis tambang Filipina sangat bergantung pada perkembangan pasar di China. Hal ini mencerminkan ketergantungan global yang masih besar terhadap permintaan dari negeri Tirai Bambu. Oleh karena itu, dinamika geopolitik dan kebijakan perdagangan internasional seperti tarif timbal balik dari Amerika Serikat juga turut menjadi faktor penting dalam perencanaan jangka panjang industri tambang Filipina.
“Seluruh pertumbuhan bisnis kami bergantung pada apa yang terjadi di China,” tegas Reyes.
Sementara itu, Indonesia tetap menjadi kiblat dalam pengembangan hilirisasi nikel global. Pendekatan strategis berupa pelarangan ekspor bahan mentah, pembangunan puluhan smelter, dan kemitraan dengan berbagai investor luar negeri menjadikan Indonesia unggul secara kompetitif. Namun, langkah ini juga memberi dampak lanjutan berupa penyesuaian dalam rantai pasok regional, termasuk mendorong negara tetangga seperti Filipina untuk menangkap peluang pasar yang terbuka akibat kebijakan protektif tersebut.
Lonjakan ekspor nikel Filipina ke Indonesia mencerminkan kompleksitas industri tambang regional, di mana kebijakan domestik suatu negara dapat memicu perubahan drastis dalam strategi ekspor dan investasi negara lain. Dalam konteks ini, ASEAN bukan hanya menjadi pasar, tetapi juga arena kompetisi sekaligus kolaborasi dalam mendukung transisi industri tambang menuju era yang lebih berkelanjutan dan bernilai tambah tinggi.