Bank Indonesia

Bank Indonesia Dorong Penurunan Suku Bunga Kredit

Bank Indonesia Dorong Penurunan Suku Bunga Kredit
Bank Indonesia Dorong Penurunan Suku Bunga Kredit

JAKARTA - Langkah Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan menjadi 5,25 persen belum diiringi respons yang sepadan dari sektor perbankan. Padahal, sinyal yang diberikan otoritas moneter ini cukup jelas: perbankan harus mulai bergerak untuk menurunkan suku bunga kredit agar roda pembiayaan ke sektor riil berputar lebih kencang.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, secara terbuka menyerukan agar bank-bank nasional segera menyesuaikan tingkat suku bunga kredit. Ajakan ini bukan tanpa dasar. BI telah melakukan penyesuaian terhadap BI-Rate sebesar 25 basis poin atau 0,25 persen pada Juli 2025, melanjutkan tren penurunan suku bunga sejak Mei lalu. Harapannya, pelonggaran ini mampu mendorong bank lebih aktif menyalurkan kredit ke dunia usaha yang kini tengah membutuhkan dorongan modal untuk bergerak.

Sejumlah indikator pasar keuangan telah mencerminkan reaksi positif dari penyesuaian kebijakan moneter tersebut. Misalnya, suku bunga pasar uang overnight (INDONIA) tercatat turun tajam dari 5,77 persen menjadi 5,14 persen hingga pertengahan Juli. Hal serupa terjadi pada Surat Berharga Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dengan tenor 6, 9, dan 12 bulan yang masing-masing turun ke angka 5,85 persen; 5,86 persen; dan 5,87 persen. Sebelumnya, instrumen ini berada di atas level 6,4 persen.

Penurunan imbal hasil (yield) juga terlihat pada Surat Berharga Negara (SBN), baik untuk tenor pendek maupun panjang. Yield SBN tenor 2 tahun kini berada di angka 5,86 persen, sedangkan tenor 10 tahun menyentuh 6,56 persen. Artinya, dari sisi pasar uang dan surat utang negara, arah kebijakan sudah cukup mendukung terjadinya pelonggaran likuiditas dan biaya dana.

Namun, respons dari perbankan masih dianggap lambat. Data terbaru BI menunjukkan bahwa suku bunga deposito justru mengalami kenaikan tipis, dari 4,81 persen di Mei menjadi 4,85 persen pada Juni 2025. Di sisi lain, suku bunga kredit belum menunjukkan penurunan berarti, stagnan di angka 9,16 persen. Padahal pada bulan sebelumnya, suku bunga kredit ada di level 9,18 persen.

Menurut Perry, ketidaksesuaian ini membuat transmisi kebijakan moneter belum berjalan optimal. Padahal, likuiditas di perbankan juga sudah dipermudah oleh BI. “Oleh karena itu kenapa dengan tadi suku bunga BI kita turunkan, likuiditas terus kita tambahkan dalam dan juga dalam strategi operasi moneter kita,” ujar Perry.

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa pelonggaran suku bunga seharusnya bisa mendorong bank mengalihkan dana likuid yang selama ini tersimpan dalam bentuk instrumen surat berharga, untuk dialokasikan ke sektor yang lebih produktif. Dunia usaha, terutama sektor riil, masih membutuhkan suntikan dana agar roda ekonomi terus bergerak. Terlebih lagi, tren penurunan imbal hasil surat berharga menjadi alasan kuat bagi bank untuk mengalihkan fokus ke kredit.

“Ini yang kemudian juga tentu saja akan mendorong perbankan lebih banyak mengalokasikan alat likuidnya, bukan ke surat-surat berharga, tapi juga ke kredit,” tegas Perry.

Selain menyoroti kondisi likuiditas, Perry juga memberikan penekanan pada pentingnya keterlibatan perbankan dalam mendukung pemulihan ekonomi. Ia menyadari bahwa bank tetap harus melakukan asesmen secara hati-hati terhadap calon debitur. Namun, dalam kondisi ekonomi yang mulai pulih, perbankan diharapkan tak sekadar berhati-hati, tapi juga mulai proaktif.

“Tentu saja kami menyadari bank-bank akan hati-hati dalam melakukan assessment sektor-sektor mana, korporat mana yang layak dalam mendapatkan kredit. Tapi imbauan kami, yuk bersama-sama turunkan suku bunga, yuk kita sama-sama mendorong kredit dan mari kita bersama-sama mendorong pertumbuhan ekonomi,” ucap Perry.

Dari sisi regulator, BI telah berupaya menciptakan kondisi yang mendukung ekspansi kredit. Melalui strategi operasi moneter yang lebih akomodatif, pelonggaran likuiditas, dan sinyal kebijakan yang jelas, harapannya sistem keuangan mampu memberikan kontribusi lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Sementara itu, kalangan pelaku usaha menyambut baik inisiatif BI. Namun, mereka juga berharap imbauan tersebut segera direspons oleh perbankan dengan penurunan nyata pada suku bunga kredit, bukan hanya simbolik. Di tengah tantangan global dan ketidakpastian ekonomi, kemudahan akses pembiayaan dengan bunga yang lebih rendah bisa menjadi game-changer bagi sektor industri dan UMKM.

Kondisi saat ini bisa menjadi momen strategis bagi dunia usaha untuk mengembangkan kapasitas produksi, memperluas pasar, hingga melakukan digitalisasi. Tapi semua itu membutuhkan dukungan modal kerja yang lebih terjangkau. Tanpa respons aktif dari perbankan, momentum ini bisa terlewat begitu saja.

Bank Indonesia tampaknya memahami betul urgensi tersebut. Dengan likuiditas yang terus ditambah dan suku bunga acuan yang makin rendah, tinggal menunggu keberanian dan komitmen dari perbankan untuk ikut menyokong pertumbuhan. Jika tidak segera dilakukan, kebijakan pelonggaran BI akan kehilangan daya dorongnya.

Pesan Perry pun cukup jelas: “Mari kita bersama-sama mendorong pertumbuhan ekonomi untuk negara kita dan juga untuk kesejahteraan rakyat.”

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index