JAKARTA - Dulu dikenal sebagai kota penghasil apel terbaik di Indonesia, Kota Batu kini menghadapi tantangan serius yang mengancam identitas agrarisnya. Julukan "Kota Apel" tidak lagi sekuat dulu. Di tengah perubahan iklim, naiknya biaya perawatan, serta menurunnya produktivitas, para petani perlahan mulai mengalihkan harapan mereka ke tanaman lain.
Dari sudut-sudut perkebunan di Kecamatan Bumiaji, gambaran nyata perubahan itu terlihat jelas. Pohon-pohon apel tua yang dulunya tumbuh subur kini satu per satu ditebang, digantikan oleh tanaman sayur yang dinilai lebih menjanjikan dari segi keuntungan dan ketahanan.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Batu menunjukkan kemerosotan tajam dalam produksi buah apel selama empat tahun terakhir. Pada 2021, jumlah panen masih tercatat sebesar 350.090 kuintal. Namun angka tersebut terus menurun menjadi 299.962 kuintal pada tahun berikutnya. Penurunan semakin drastis pada 2023 dengan hanya 218.621 kuintal, dan pada tahun terakhir, tinggal 140.285 kuintal saja.
Angka-angka itu bukan sekadar statistik. Mereka mencerminkan krisis yang dirasakan langsung oleh para petani, yang telah lama menggantungkan hidup dari buah apel. Salah satunya adalah Dwi, petani apel di wilayah Tulungrejo. Ia kini tengah menebang pohon apel miliknya yang berusia lebih dari 40 tahun. Menurutnya, tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari tanaman yang sudah tidak produktif tersebut.
“Sudah berat mempertahankan apel. Biaya perawatan tinggi, obat-obatan mahal, panennya sedikit, kadang harganya juga rendah,” keluhnya. “Jadi yang sudah tidak produktif kami tebang. Rencananya kami tanami sayuran saja.”
Apa yang dialami Dwi bukanlah kisah tunggal. Petani lain di wilayah Tulungrejo melakukan hal yang sama. Mereka memutuskan untuk berpindah haluan dari tanaman apel ke komoditas lain, seperti kol, wortel, atau tanaman hortikultura lain yang dinilai lebih mudah dikelola dan memiliki nilai jual lebih stabil.
Faktor cuaca juga menjadi beban tambahan bagi para petani apel. Pola iklim yang semakin tak menentu menyebabkan pohon apel makin rentan terhadap penyakit. Pohon yang sebelumnya kuat bertahan puluhan tahun kini mudah terserang hama dan gagal panen.
“Pohon apel yang tua ini rentan kena penyakit dan produktivitasnya menurun. Apalagi cuaca yang gak menentu seperti saat ini juga berpengaruh pada produktivitas apel,” tambah Dwi. “Kalau ini terus dilanjutkan tentu kita terus rugi.”
Realitas ini membuka mata banyak pihak bahwa persoalan yang dihadapi petani apel di Kota Batu bukan sekadar masalah teknis, melainkan sudah menyentuh dimensi sosial dan ekonomi. Apel, yang selama ini menjadi ikon pariwisata sekaligus sumber nafkah ribuan warga, mulai kehilangan tempatnya.
Ironisnya, di saat wisata petik apel masih menjadi magnet pariwisata Kota Batu, para petaninya justru sedang bergulat dengan dilema mempertahankan atau menyerah. Sebab, meskipun apel menjadi atraksi wisata, keuntungan besar tidak selalu dirasakan oleh petani langsung. Nilai jual yang rendah dan tingginya ongkos perawatan justru membuat petani terjepit di tengah ekspektasi pasar dan realitas lapangan.
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran lebih luas: apakah dalam waktu dekat kebun-kebun apel di Kota Batu akan benar-benar menghilang? Dwi sendiri menyebutkan bahwa hal itu sangat mungkin terjadi jika tidak ada intervensi yang serius dari pemerintah atau lembaga terkait.
“Memang bukan tidak mungkin lahan apel di Kota Batu akan terus berkurang. Biaya tinggi, hasil rendah, cuaca tak menentu. Itu beban yang sangat berat bagi petani,” ungkapnya.
Dalam kondisi yang serba tidak pasti ini, para petani berharap ada langkah konkret yang bisa menyelamatkan perkebunan apel. Entah itu dalam bentuk subsidi, program peremajaan pohon apel, pendampingan teknologi pertanian, hingga kepastian pasar hasil panen. Tanpa dukungan seperti itu, peralihan ke komoditas lain akan menjadi pilihan yang terus meluas.
Namun, jika tren ini terus berlanjut, Kota Batu bisa saja kehilangan salah satu identitas utamanya. Apel bukan sekadar buah. Ia adalah simbol kebanggaan, sejarah, dan penghidupan bagi generasi petani di sana. Maka menyelamatkan apel Batu sejatinya bukan hanya tentang pertanian, tetapi juga tentang menjaga warisan kota.
Kini, pertanyaannya bukan lagi soal kenapa petani meninggalkan apel, melainkan: masih adakah kemauan kolektif untuk mempertahankan apel sebagai jantung pertanian Kota Batu?