BURSA

8 Emiten Delisting dari Bursa

8 Emiten Delisting dari Bursa
8 Emiten Delisting dari Bursa

JAKARTA - Langkah tegas kembali diambil oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam menegakkan aturan main di pasar modal. Delapan emiten resmi didepak dari papan perdagangan bursa karena tidak lagi memenuhi kriteria sebagai perusahaan tercatat. Ini bukan sekadar tindakan administratif, melainkan pesan keras bahwa keberlangsungan dan integritas pasar harus dijaga dengan disiplin dan konsistensi.

Kepala Divisi Penilaian Perusahaan 2 BEI, Adi Pratomo Aryanto, bersama Kepala Divisi Penilaian Perusahaan 3 BEI, Lidia M. Panjaitan, menyampaikan bahwa keputusan delisting ini mencakup delapan emiten serta dua saham preferen. Delisting dilakukan berdasarkan pengumuman resmi bursa dan merujuk pada peraturan Nomor I-N tentang Pembatalan Pencatatan (Delisting) dan Pencatatan Kembali (Relisting).

Adapun perusahaan yang dicoret dari papan bursa antara lain:

PT Mas Murni Indonesia Tbk. (MAMI)

PT Forza Land Indonesia Tbk. (FORZ)

PT Hanson International Tbk. (MYRX)

PT Grand Kartech Tbk. (KRAH)

PT Cottonindo Ariesta Tbk. (KPAS)

PT Steadfast Marine Tbk. (KPAL)

PT Prima Alloy Steel Universal Tbk. (PRAS)

PT Nipress Tbk. (NIPS)

Sementara dua saham preferen yang turut dicoret adalah milik PT Mas Murni Indonesia Tbk. (MAMIP) dan PT Hanson International Tbk. (MYRXP).

Faktor Delisting: Kombinasi Masalah Hukum dan Keuangan

BEI memiliki sejumlah kriteria yang dapat menjadi dasar penghapusan pencatatan saham sebuah perusahaan. Dalam regulasi yang berlaku, disebutkan bahwa perusahaan akan dikenakan delisting jika mengalami satu atau lebih dari kondisi berikut:

Peristiwa atau kondisi signifikan yang berdampak negatif terhadap kelangsungan usaha secara hukum atau keuangan, serta tidak mampu menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.

Tidak memenuhi persyaratan sebagai perusahaan tercatat sesuai regulasi bursa.

Saham disuspensi di seluruh pasar perdagangan selama paling sedikit 24 bulan terakhir.

Dalam kasus kali ini, mayoritas emiten yang didelisting diketahui tengah mengalami status pailit. Ini mencerminkan bahwa situasi keuangan mereka sudah berada di titik kritis, dan upaya untuk pulih dalam batas waktu yang telah diberikan tidak membuahkan hasil.

Kasus Hanson International: Sorotan Terbesar

Salah satu kasus yang paling menyita perhatian dalam daftar ini adalah PT Hanson International Tbk. (MYRX). Perusahaan ini terlibat dalam pusaran kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri yang menyeret nama pengusaha Benny Tjokrosaputro. Dalam penyelidikan Kejaksaan Agung, sebanyak 172.969.221 lembar saham MYRX disita karena berkaitan langsung dengan kasus tersebut. Jumlah itu mewakili sekitar 15,43 persen dari total saham perusahaan.

Kasus ini memperkuat alasan di balik delisting MYRX, tidak hanya karena kondisi keuangan dan status hukum, tapi juga karena tercemarnya reputasi dan potensi kerugian besar yang bisa dialami investor jika sahamnya tetap diperdagangkan di bursa.

Prosedur dan Tenggat Waktu Buyback Telah Diberikan

Sebelum keputusan final penghapusan pencatatan dilakukan, BEI telah memberikan waktu kepada perusahaan-perusahaan tersebut untuk melakukan pembelian kembali saham mereka dari investor publik atau buyback. Tenggat waktu pelaksanaan buyback itu telah ditetapkan sebelumnya, dan dilandasi oleh ketentuan Pasal 8 Ayat (3) dalam POJK 45/2024.

Kebijakan ini memberikan ruang bagi investor ritel untuk memperoleh kejelasan nasib atas saham yang mereka miliki. Namun, apabila perusahaan tidak menunjukkan komitmen atau kemampuan untuk melaksanakan buyback sesuai ketentuan, maka delisting menjadi langkah logis berikutnya.

Dampak Delisting: Tidak Lagi Tercatat, Tapi Tetap Wajib Transparan

Dengan delisting yang sudah efektif, status kedelapan perusahaan tersebut sebagai perusahaan tercatat resmi berakhir. Manajemen BEI menegaskan, “Dengan dicabutnya status perseroan sebagai perusahaan tercatat, maka perseroan tidak lagi memiliki kewajiban sebagai perusahaan tercatat dan BEI akan menghapus nama perseroan dari daftar perusahaan tercatat.”

Namun demikian, masih ada tanggung jawab yang melekat jika perusahaan tersebut tetap menyandang status sebagai perusahaan publik. Selama status ini belum berubah, perusahaan tersebut masih harus mematuhi ketentuan keterbukaan informasi dan tetap bertanggung jawab kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terutama dalam hal pelaporan dan perlindungan hak pemegang saham publik.

Pelajaran untuk Investor dan Emiten Lain

Kasus ini menjadi refleksi penting bagi dua pihak: emiten dan investor. Bagi perusahaan tercatat, ini merupakan pengingat bahwa menjaga transparansi, integritas keuangan, dan keberlangsungan usaha adalah syarat mutlak dalam menjaga status sebagai bagian dari bursa. Tidak cukup hanya mencatatkan saham, tetapi juga harus membuktikan kemampuan bertahan dan mematuhi semua regulasi.

Sementara bagi investor, ini menjadi pengingat penting untuk tidak hanya melihat sisi prospek keuntungan saat membeli saham, tetapi juga menilai aspek fundamental perusahaan. Delisting bisa berarti hilangnya akses likuiditas, potensi kerugian besar, dan terbatasnya jalan keluar dari kepemilikan saham yang tidak lagi diperdagangkan.

Penegasan Bursa: Komitmen Jaga Pasar yang Sehat

Langkah delisting kedelapan emiten ini menegaskan bahwa BEI berkomitmen menjaga ekosistem pasar modal yang sehat dan kredibel. Keputusan ini diambil berdasarkan regulasi yang jelas dan tahapan waktu yang cukup panjang, bukan tindakan tiba-tiba.

Dengan menjaga kualitas perusahaan yang tercatat di bursa, maka kepercayaan investor, baik domestik maupun asing, akan terus terjaga. Hal ini penting bagi pembangunan pasar modal Indonesia ke depan agar tetap kompetitif, aman, dan berkelanjutan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index