JAKARTA - Di tengah berbagai tantangan zaman yang terus berkembang, pendidikan anak tak lagi bisa dipandang sebagai urusan individu atau lembaga tunggal. Ia adalah kerja bersama yang menuntut kolaborasi tiga elemen utama dalam kehidupan anak: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kolaborasi ini bukan konsep baru. Justru, dalam budaya dan kearifan lokal Indonesia, kolaborasi pendidikan telah lama ditanamkan, salah satunya melalui tradisi “Munyerahen Ku Tengku Guru” yang mengakar kuat di kalangan masyarakat Gayo.
Pengalaman menghadiri prosesi adat tersebut di Pondok Pesantren Miftahul Falah Atu Lintang, Aceh Tengah, membuka ruang refleksi mendalam tentang makna pendidikan. Sebagai perwakilan dari Kepala KUA Atu Lintang yang memberikan sambutan dalam kegiatan tersebut, saya menyaksikan langsung betapa budaya bisa menjadi pengingat bahwa membangun generasi tidak cukup hanya lewat ruang kelas.
Tradisi “Munyerahen Ku Tengku Guru” menjadi simbol luhur penyerahan anak dari orang tua kepada guru untuk dibina secara lahir dan batin. Namun bukan berarti tanggung jawab orang tua selesai di sini. Justru, penyerahan ini adalah bentuk penguatan sinergi antara keluarga dan lembaga pendidikan.
Peran Keluarga: Madrasah Pertama dalam Menanamkan Nilai Dasar
Rasulullah SAW menegaskan peran vital keluarga dalam sabdanya:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa keluarga adalah madrasah pertama bagi seorang anak. Nilai-nilai dasar seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kesantunan ditanamkan pertama kali di lingkungan rumah. Sayangnya, pada era modern ini, banyak orang tua yang semakin menjauh dari peran ini. Rutinitas kerja, tekanan ekonomi, dan disrupsi digital membuat interaksi orang tua-anak menjadi lebih singkat dan formal. Sekolah akhirnya diminta menggantikan peran yang semestinya dimulai dari rumah.
Padahal, pendidikan sejatinya berlangsung terus-menerus sejak anak membuka mata di pagi hari hingga tertidur di malam hari. Apa yang terjadi di rumah akan menjadi pondasi utama yang menentukan sejauh mana proses pembelajaran di sekolah bisa berjalan optimal. Jika pondasi ini goyah, sekolah akan kesulitan menopangnya sendirian.
Sekolah: Mitra Strategis yang Tak Bisa Bekerja Sendiri
Di lingkungan sekolah atau madrasah, anak belajar mengenal dunia secara lebih luas. Mereka diajarkan berbagai mata pelajaran, keterampilan sosial, hingga budi pekerti. Guru adalah sosok kunci dalam perjalanan ini. Dalam budaya Gayo, guru disebut Tengku, yang menandakan kedudukan mulia sebagai penjaga nilai dan penuntun akhlak.
Namun, sebagaimana disebutkan, guru bukanlah pengganti orang tua. Mereka hanya bisa bekerja secara efektif jika ada keterlibatan aktif dari keluarga. Komunikasi dua arah antara wali murid dan pendidik menjadi keharusan, bukan sekadar pelengkap administratif.
Saat terjadi masalah pada anak, seperti penurunan prestasi atau masalah perilaku, pendekatan saling menyalahkan harus dihindari. Yang lebih dibutuhkan adalah pola pikir kolaboratif: mencari akar persoalan dan menyusun strategi penyelesaian bersama. Pendidikan yang berhasil bukan hasil dari siapa yang paling dominan, tapi dari seberapa kuat sinergi yang terbangun.
Masyarakat: Ruang Belajar yang Luas dan Menentukan
Tidak kalah penting, masyarakat juga memiliki andil dalam proses pendidikan. Anak-anak tidak hidup dalam ruang hampa. Di luar rumah dan sekolah, mereka berinteraksi dengan berbagai lingkungan sosial yang turut memengaruhi cara berpikir dan bertindak. Oleh karena itu, masyarakat seharusnya menjadi “ekosistem pendidikan” yang turut menjaga nilai-nilai.
Kita menghadapi tantangan besar: gempuran konten digital yang tak terfilter, pergaulan bebas yang minim nilai, dan makin sedikitnya keteladanan dari tokoh di sekitar. Dalam kondisi ini, masyarakat harus hadir sebagai penyeimbang. Tokoh adat, pemuka agama, pemuda, dan pemimpin lokal memiliki peran signifikan untuk menghadirkan contoh baik dan menjaga nilai-nilai luhur.
Revitalisasi Nilai Budaya: Bukan Sekadar Seremoni
Tradisi “Munyerahen Ku Tengku Guru” lebih dari sekadar seremoni. Ia adalah bentuk penghormatan kepada guru dan simbol kepercayaan bahwa pendidikan anak harus dilakukan bersama-sama. Di balik ritual tersebut terdapat pesan mendalam: guru dimuliakan, pendidikan dimaknai, dan kolaborasi dijunjung tinggi.
Nilai-nilai lokal seperti ini harus kembali diberi tempat dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya untuk memperkaya identitas budaya, tapi juga untuk menjadi pedoman membangun generasi yang tangguh, beradab, dan berilmu.
Menggenggam Tangan Bersama, Melangkah Serempak
Saat tahun ajaran baru dimulai, bukan hanya anak-anak yang bersiap memasuki kelas. Keluarga, sekolah, dan masyarakat pun harus menyusun ulang komitmennya. Kita harus menyadari bahwa pendidikan anak adalah investasi kolektif yang hasilnya baru akan terlihat di masa depan.
Oleh karena itu, mari saling bergandeng tangan. Hindari menyalahkan saat ada kekurangan, dan mulailah saling melengkapi. Pendidikan sejati bukan tentang siapa yang paling tahu, tapi siapa yang paling mau hadir, mendengar, dan berjalan bersama.