Energi

Geothermal: Kunci Transisi Energi Indonesia

Geothermal: Kunci Transisi Energi Indonesia
Geothermal: Kunci Transisi Energi Indonesia

JAKARTA - Di tengah tantangan global dalam menghadapi krisis iklim dan kebutuhan akan energi bersih, Indonesia tengah menunjukkan komitmennya melalui pemanfaatan potensi energi panas bumi sebagai sumber daya terbarukan yang strategis. Energi ini tak hanya menjanjikan pasokan yang berkelanjutan, tetapi juga membuka peluang besar dalam pembangunan ekonomi nasional yang lebih hijau dan inklusif.

Sebagai negara yang berada di jalur Cincin Api Pasifik, Indonesia memiliki keunggulan geografis yang tidak dimiliki banyak negara lain. Aktivitas vulkanik yang tinggi di berbagai wilayah telah memberikan berkah berupa cadangan energi panas bumi yang sangat melimpah. Berdasarkan catatan Badan Geologi, Indonesia memiliki 331 lokasi panas bumi, sebagian besar tersebar dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi hingga Maluku. Dari jumlah tersebut, 70 telah ditetapkan sebagai Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP), sedangkan sisanya masih terbuka untuk pengembangan lanjutan.

Total potensi energi panas bumi nasional diperkirakan mencapai 24.000 megawatt (MW). Namun, sejauh ini baru sekitar 3.000 MW atau 12,5% yang telah berhasil dimanfaatkan. Ini menunjukkan masih terbuka ruang besar bagi pengembangan energi ramah lingkungan ini, sekaligus menjadi tantangan untuk memaksimalkan potensi tersebut.

Energi panas bumi diperoleh dari panas alami yang tersimpan di bawah permukaan bumi akibat aktivitas geotermal. Sumber energi ini bisa dimanfaatkan melalui proses eksplorasi dan eksploitasi yang dilanjutkan dengan konversi menjadi energi listrik lewat pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Dibandingkan sumber energi baru dan terbarukan lainnya, geothermal menawarkan keunggulan yang signifikan, terutama dari sisi keberlanjutan dan efisiensi.

Secara teknis, geothermal memiliki tingkat capacity factor yang sangat tinggi, mencapai 70–80%, jauh di atas tenaga angin dan surya yang masing-masing berada di kisaran 30–40% dan 20–30%. Hal ini berarti, pembangkit panas bumi bisa beroperasi hampir sepanjang waktu tanpa terpengaruh oleh kondisi cuaca atau siang-malam seperti pembangkit surya dan angin. Tak hanya itu, setelah pembangunan awal selesai, biaya operasionalnya relatif rendah dan tidak memerlukan perawatan atau penggantian komponen sesering teknologi lain.

Keseriusan pemerintah dalam mendorong transisi energi bersih pun semakin nyata dengan berbagai langkah konkret. Sejumlah kebijakan insentif telah diterapkan untuk mempercepat investasi di sektor ini. Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan hingga 100% saat eksplorasi, pembebasan bea masuk dan PPN untuk barang impor terkait proyek panas bumi, hingga fasilitas tax holiday menjadi strategi untuk menarik minat swasta. Pemerintah juga tengah menyusun skema tarif listrik panas bumi yang mempertimbangkan tingginya risiko di tahap eksplorasi dan mendukung keberlanjutan proyek jangka panjang.

Regulasi yang berlaku juga menunjukkan dukungan kuat terhadap pengembangan sektor ini. Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah menetapkan target 23% bauran energi terbarukan dalam konsumsi nasional pada 2025. Target ini selaras dengan komitmen Indonesia dalam Kesepakatan Paris untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan.

Selain kontribusi terhadap dekarbonisasi energi, pengembangan panas bumi juga berpotensi memberi dampak positif pada ekonomi lokal. Proyek-proyek geothermal yang dibangun di daerah terpencil dapat membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mempercepat pembangunan infrastruktur dasar. Dengan demikian, sektor ini tak hanya memberikan solusi atas krisis energi global, tetapi juga menyentuh aspek sosial dan ekonomi secara langsung.

Dari sisi global, posisi Indonesia sebagai kekuatan energi panas bumi makin diperkuat. Laporan dari Wood Mackenzie memperkirakan bahwa Indonesia akan menyumbang 28% dari total kapasitas panas bumi dunia pada tahun 2030. Dengan proyeksi kapasitas terpasang mencapai 6.200 MW, negara ini berpotensi menempati peringkat tertinggi sebagai produsen geothermal dunia, bersaing dengan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Filipina.

Namun demikian, pengembangan panas bumi tetap menghadapi tantangan teknis dan investasi, terutama di tahap eksplorasi yang sangat berisiko dan membutuhkan modal besar. Dibutuhkan dukungan kebijakan yang lebih terintegrasi, kepastian hukum, serta peran aktif BUMN dan swasta untuk mempercepat realisasi proyek-proyek yang telah direncanakan.

Dengan semua keunggulan yang dimilikinya, energi panas bumi berpeluang menjadi tulang punggung transisi energi nasional. Tidak hanya menjamin pasokan listrik jangka panjang yang bersih, tetapi juga memperkuat ketahanan energi dan membawa Indonesia ke arah pembangunan yang lebih rendah karbon. Kombinasi antara potensi alam, kebijakan yang mendukung, serta komitmen pemerintah dan sektor swasta menjadi kunci agar Indonesia mampu memaksimalkan aset geotermalnya demi masa depan yang lebih berkelanjutan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index