Liga Indonesia

Reformasi Liga Indonesia, Erick Soroti Agen dan Pemain Asing

Reformasi Liga Indonesia, Erick Soroti Agen dan Pemain Asing
Reformasi Liga Indonesia, Erick Soroti Agen dan Pemain Asing

JAKARTA - Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, kembali menekankan perlunya pembenahan menyeluruh dalam ekosistem sepak bola nasional. Sorotan utama kali ini tertuju pada peran agen pemain dan kualitas kompetisi domestik, dua hal yang menurutnya krusial dalam menentukan arah perkembangan sepak bola Indonesia. Dengan semangat reformasi yang konsisten, Erick menegaskan bahwa sepak bola Indonesia tidak boleh menjadi lahan subur bagi praktik-praktik yang merugikan, terutama dari aktor-aktor tidak sah yang merusak sistem dari dalam.

Salah satu perhatian serius yang disampaikan Erick adalah soal keberadaan agen pemain ilegal. Ia mengkritik keras maraknya agen-agen tak berlisensi yang masih bebas bergerak di kancah sepak bola nasional. Kondisi ini, menurutnya, memperlemah sistem perekrutan dan merusak kualitas liga yang sedang dibangun.

“Pertama, kita mensyaratkan agen-agen harus ada lisensi FIFA, tidak bodong-bodongan. Jangan sampai pangsa sepak bola kita jadi tempat orang cari makan dengan standar yang jelek,” tegas Erick dalam konferensi pers di Jakarta.

Pernyataan itu menandai langkah PSSI untuk memperkuat pengawasan terhadap aktivitas agen dan menjadikan lisensi resmi sebagai syarat mutlak. Langkah ini dipandang penting dalam mencegah manipulasi, penipuan, dan ketidaksesuaian antara potensi pemain dengan nilai kontrak yang disepakati.

Filter Ketat Pemain Asing, Mengacu ke Inggris dan Italia

Selain membahas peran agen, Erick juga menyoroti kebutuhan akan regulasi yang lebih ketat untuk pemain asing yang merumput di Liga Indonesia. Menurutnya, saat ini terlalu banyak pemain asing yang masuk tanpa melalui proses seleksi berbasis kualitas yang objektif.

Ia menyatakan bahwa PSSI menargetkan penerapan sistem evaluasi pemain asing seperti yang diterapkan di Inggris dan Italia paling lambat dalam dua tahun ke depan. Sistem tersebut tidak hanya menilai performa individu, tetapi juga meninjau rekam jejak pemain secara menyeluruh sebelum mendapatkan izin bermain di liga.

“Kita juga mesti punya hitungan seperti di Inggris, Italia. Supaya liga kita tidak sembarang menerima pemain asing, tapi benar-benar yang menaikkan kualitas kompetisi,” ujarnya.

Langkah ini dinilai sejalan dengan misi peningkatan kualitas dan daya saing kompetisi domestik, serta memberikan ruang lebih bagi pemain lokal untuk berkembang melalui persaingan yang sehat dan berkualitas.

Mengkritisi Standar Penilaian AFC

Dalam kesempatan yang sama, Erick juga mengemukakan pandangannya mengenai metode penilaian kualitas liga yang digunakan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC). Ia menilai bahwa pendekatan AFC yang terlalu fokus pada aspek struktural, seperti lisensi dan format kompetisi, tidak cukup untuk merefleksikan kekuatan sesungguhnya dari sebuah liga.

Bagi Erick, kualitas liga seharusnya juga diukur dari elemen-elemen seperti variasi juara, partisipasi penonton, kesehatan finansial klub, serta performa klub di ajang kompetisi Asia. Ia menginginkan standar penilaian yang lebih komprehensif dan realistis, mencerminkan kondisi riil sepak bola Indonesia yang tengah tumbuh dan berbenah.

“Jangan cuma lihat dari lisensi dan format. Kita juga lihat aspek daya saing dan daya tarik publik,” ujar Erick.

Dengan demikian, Erick mendorong pembentukan indikator baru yang mencakup keberagaman juara, antusiasme penonton, serta kekuatan finansial klub sebagai fondasi utama pembentukan liga yang kuat dan berkelanjutan.

Pemain Diaspora dan Liga 1: Bukan Soal Kelas, Tapi Profesionalisme

Salah satu isu yang juga menjadi perhatian publik adalah persepsi mengenai pemain naturalisasi atau diaspora yang bermain di Liga 1. Banyak yang menilai kepulangan mereka dari luar negeri ke kompetisi dalam negeri sebagai langkah mundur atau penurunan karier. Namun Erick secara tegas membantah pandangan tersebut.

Ia menjelaskan bahwa dunia sepak bola profesional tidak hanya berkutat pada hierarki liga, melainkan pada kesempatan bermain dan kontribusi nyata bagi klub. Dengan mencontohkan pemain-pemain Jepang yang tersebar di berbagai level kompetisi dunia, Erick menilai bahwa Liga 1 tetap bisa menjadi tempat yang layak dan profesional bagi pemain diaspora.

“Pemain ya pasti ingin main profesional, di mana pun kesempatan itu ada. Selama dibutuhkan klub dan mereka bisa hidup dari situ, tidak masalah,” katanya.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa kembalinya pemain diaspora ke kompetisi domestik bukanlah bentuk degradasi, melainkan bagian dari proses membangun karier yang berkelanjutan.

“Kalau ada pemain Indonesia bisa main di Eropa, kita bersyukur. Tapi kalau mereka balik ke Liga 1, itu bukan degradasi. Mereka sedang membangun karier dan tetap profesional,” jelasnya.

Menuju Ekosistem Sepak Bola yang Sehat

Pernyataan-pernyataan Erick tersebut secara keseluruhan menunjukkan arah kebijakan PSSI yang berorientasi pada pembenahan sistemik. Dengan menekan praktik ilegal dari agen, memperketat filter pemain asing, serta mendorong pembentukan indikator kualitas liga yang lebih relevan, PSSI berusaha membangun fondasi kompetisi yang profesional dan berkelanjutan.

Komitmen untuk terus memperbaiki ekosistem ini juga mencakup upaya memperkuat struktur finansial klub dan menumbuhkan kembali minat publik sebagai bagian dari dinamika kompetisi yang sehat.

Reformasi sepak bola Indonesia mungkin masih dalam perjalanan panjang. Namun langkah-langkah konkret yang didorong oleh Erick Thohir menunjukkan bahwa perubahan sedang diupayakan dari dalam, dengan regulasi, dan dengan arah yang jelas.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index