Nasional

Sinergi Indonesia-Korea Perkuat Ketahanan Pangan Nasional

Sinergi Indonesia-Korea Perkuat Ketahanan Pangan Nasional
Sinergi Indonesia-Korea Perkuat Ketahanan Pangan Nasional

JAKARTA - Kerja sama internasional tak lagi hanya berkutat pada pertukaran ilmu, melainkan juga menjadi jalan membangun ketahanan bangsa di sektor strategis seperti pertanian dan gizi. Inilah semangat yang diusung dalam kegiatan NICAB 2025 yang digelar di IPB International Convention Center, Bogor. Kegiatan ini merupakan bagian dari kolaborasi antara IPB University dan Korea International Cooperation Agency (KOICA), sebagai bentuk nyata kerja sama bilateral Indonesia-Korea di bidang biosains dan pertanian.

NICAB 2025 bukan sekadar forum akademik, tetapi menjadi bagian penting dari pembentukan IPB-SNU Center for Agriculture and Bioscience (KOICA-ICAB) pusat riset yang diharapkan menjadi rujukan global dalam pengembangan biosains dan pertanian. Dengan hadirnya kolaborasi ini, upaya Indonesia menuju penguatan ekosistem riset dan ketahanan pangan mendapatkan dorongan baru.

Dr Rinekso Soekmadi, selaku Co Project Manager KOICA-ICAB, menuturkan bahwa program ini merupakan hasil proses panjang yang telah dirintis bahkan sebelum pandemi. Namun, realisasi nyatanya baru dapat dilaksanakan dalam situasi penuh tantangan global.

“Program ini awalnya sudah lama direncanakan. Inisiasinya mulai 2019, bahkan sebelumnya, tetapi baru terwujud pada saat pandemi COVID-19,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa capacity building menjadi fokus utama kerja sama KOICA-ICAB. Bukan hanya menyediakan fasilitas laboratorium berstandar tinggi, tetapi juga memastikan kemampuan sumber daya manusia dalam memanfaatkannya secara optimal. Hal ini menjadi kunci utama dalam menghasilkan riset berkualitas.

“Untuk meningkatkan ranking universitas, salah satunya adalah melalui publikasi berkualitas. Publikasi itu lahir dari penelitian yang baik, dan penelitian yang baik lahir dari kapasitas laboratorium yang mumpuni,” ujarnya lagi.

Tahun ini, menurut Dr Rinekso, program diarahkan pada bidang pangan dan makanan, yang sejalan dengan agenda prioritas nasional yaitu program Makan Bergizi Gratis (MBG). Langkah ini menunjukkan sinergi antara dunia riset dan kebijakan publik, yang semakin penting dalam menghadapi tantangan gizi dan pangan nasional.

“Kami berharap ke depan ada kerja sama antara Indonesia dan Korea dalam program MBG. Di Korea, program ini sudah berjalan dengan sangat baik, dan mudah-mudahan kita bisa belajar dari kesuksesan mereka,” katanya.

Dukungan untuk sinergi tersebut juga datang dari Dr Dadan Hindayana, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN). Ia menilai bahwa forum ini menjadi momentum penting untuk menjalin kerja sama lebih kuat antara perguruan tinggi dan pemerintah dalam menyukseskan program MBG.

“Saya ucapkan terima kasih kepada IPB University. Ini kesempatan baik untuk menjelaskan program MBG di hadapan perguruan tinggi Indonesia dan Korea,” ujarnya.

Dr Dadan menekankan bahwa keberhasilan program MBG tidak bisa dilepaskan dari kontribusi sektor pertanian. Sebab, mayoritas bahan baku program ini berasal dari produk pertanian nasional.

“Program MBG memiliki keterkaitan erat dengan sektor pertanian. Pasalnya, 95 persen bahan bakunya berasal dari produk pertanian,” jelasnya.

Ia mencontohkan bagaimana Korea Selatan berhasil mengelola program makan siang gratis di lebih dari seribu sekolah selama hampir satu dekade, dan menekankan pentingnya penggunaan bahan pangan lokal yang berkelanjutan.

“Setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) harus bisa meramu menu berbasis sumber daya lokal dan kesukaan masyarakat setempat. Ketika program ini berjalan, ketahanan pangan desa dan kecamatan akan meningkat dan tidak ada lagi isu pangan di tingkat nasional,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia menggambarkan potensi ekonomi besar yang bisa digerakkan melalui program MBG. Ia mencontohkan kebutuhan harian satu SPPG yang melayani 3.000 orang: membutuhkan 200 kg beras, 3.000 butir telur, 350 ekor ayam, 300 kg sayur, 350 kg buah, dan 490 liter susu. Dengan kapasitas satu ekor sapi menghasilkan 10 liter susu per hari, satu SPPG membutuhkan sekitar 50 ekor sapi. Bila ada 10 SPPG, maka diperlukan 500 ekor sapi.

“Ini peluang besar untuk pengembangan produk pertanian lokal karena kami tidak ingin program ini diisi produk impor. Kami menghargai keragaman lokal dan menu yang dikembangkan juga berbasis potensi lokal,” tambahnya.

Ia juga menyoroti pentingnya kualitas dan pengelolaan rantai distribusi bahan makanan. Menurutnya, program MBG akan berhasil jika bahan baku yang digunakan berkualitas tinggi, pengolahan dilakukan secara higienis, pengiriman cepat, dan konsumsi dilakukan segera setelah distribusi.

“Suksesnya program MBG identik dengan peningkatan ketahanan pangan. Untuk itu, kualitas bahan baku harus baik sejak awal, pengolahan higienis, pengiriman cepat, dan saat distribusi di sekolah pun harus segera dikonsumsi agar tidak basi,” pungkasnya.

Sinergi antara IPB University dan KOICA lewat KOICA-ICAB bukan hanya menciptakan pusat riset kelas dunia, tetapi juga membuka peluang konkret dalam menjawab persoalan ketahanan pangan nasional melalui pendekatan ilmiah dan kolaboratif. Dengan menjembatani riset, kebijakan, dan implementasi lapangan, kolaborasi ini diharapkan mampu mempercepat terwujudnya masyarakat yang sehat, mandiri, dan berdaulat dalam pangan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index