Tekno

Teknologi Lacak Kura Kura Langka di Sungai Kao

Teknologi Lacak Kura Kura Langka di Sungai Kao
Teknologi Lacak Kura Kura Langka di Sungai Kao

JAKARTA - Pemanfaatan teknologi pelacakan satwa kini menjadi kunci dalam mengungkap misteri kehidupan spesies langka. Salah satunya diterapkan oleh tim peneliti dari IPB University yang berhasil memetakan pergerakan kura-kura moncong babi (Carettochelys insculpta) di Sungai Kao, Papua—sebuah wilayah penting bagi kelestarian fauna endemik Indonesia yang kini berstatus terancam punah (endangered).

Penelitian ini dipimpin oleh Prof. Mirza Dikari Kusrini, seorang pakar ekologi satwa liar dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University. Bersama timnya, ia berupaya menggali informasi ilmiah mengenai pola hidup spesies tersebut sebagai dasar penting dalam menyusun strategi konservasi jangka panjang.

“Untuk melindungi satwa liar, kita perlu tahu kira-kira apakah semua badan sungai digunakan atau mungkin hanya sebagian. Ketika kita mengetahui, misalnya kura-kura ini bergerak di pinggir sungai atau dekat pasir peneluran, untuk kebijakan ke depannya, seperti pembuatan kawasan lindung atau kawasan konservasi, kita sudah punya dasar,” ujar Morgan Wayne, anggota tim peneliti.

Melalui pemantauan intensif menggunakan GPS tracker yang dikembangkan secara mandiri, tim peneliti menemukan bahwa kura-kura moncong babi memiliki pola pergerakan yang tidak seragam. Satwa ini tidak mengikuti rute migrasi tunggal, melainkan menunjukkan perilaku berpindah yang acak dan tumpang tindih dalam pemanfaatan ruang hidupnya.

“Hasil yang kami temukan untuk pola pergerakan kura-kuranya itu dia tidak menentu. Jadi ada kura-kura yang bergeraknya ke arah hulu, ada juga yang ke arah hilir, kemudian ada yang ke arah hilir terus kemudian dia naik kembali. Dia tidak memiliki pola pergerakan yang tunggal,” jelas Morgan.

Penemuan ini menjadi penting karena selama ini data tentang ruang jelajah dan aktivitas harian kura-kura moncong babi masih minim. Dengan mengetahui cara mereka berpindah dan area yang mereka manfaatkan, upaya pelestarian bisa lebih terarah dan berbasis bukti ilmiah.

Yang menarik, perangkat GPS tracker yang digunakan adalah prototipe generasi ketiga buatan tim peneliti sendiri. Alat ini dibuat dengan biaya yang jauh lebih murah dibandingkan perangkat komersial di pasaran. Inovasi ini memungkinkan pemantauan tetap berjalan meskipun dana penelitian terbatas.

Kura-kura moncong babi sendiri merupakan spesies yang hanya ditemukan di beberapa wilayah seperti Indonesia, Papua Nugini, dan Australia Utara. Keberadaan mereka di Sungai Kao memberikan peluang besar untuk pelestarian, namun juga menghadirkan tantangan tersendiri mengingat interaksi yang cukup intens antara satwa ini dengan masyarakat lokal.

Di kawasan Sungai Kao, ancaman utama terhadap spesies ini datang dari pengambilan telur oleh warga saat musim peneluran, yang biasanya terjadi antara Agustus hingga Oktober. Kendati demikian, Prof. Mirza melihat bahwa praktik ini tidak berlangsung secara masif dan masyarakat setempat justru menunjukkan pemahaman ekologis yang cukup tinggi.

“Masyarakat itu sudah paham sekali. Mereka tahu bahwa tidak usah ambil induknya, karena kalau induknya mati, tidak dapat telur, tidak bisa jual,” tutur Prof. Mirza. Ia menambahkan, sumber ekonomi masyarakat di daerah tersebut juga tidak sepenuhnya bergantung pada telur kura-kura. Banyak warga yang mencari penghasilan dari aktivitas lain seperti penangkapan ikan arwana pada musim tertentu.

Kerja lapangan tim IPB ini bukanlah upaya tunggal. Proyek penelitian ini merupakan hasil kolaborasi antara IPB University dengan PT Tunas Sawa Erma Group dan Korindo Group, yang berkomitmen mendukung konservasi satwa liar di Papua. Tujuan utama kerja sama ini adalah menjadikan hasil riset sebagai dasar pengelolaan habitat yang lebih baik, tidak hanya bagi kura-kura moncong babi tetapi juga ekosistem di sekitarnya.

“Tim kami juga terus mengembangkan teknologi pelacakan untuk meningkatkan ketahanan dan efektivitas pemantauan satwa air lainnya di Indonesia,” pungkas Prof. Mirza.

Hasil riset yang dilakukan tidak hanya menjadi kontribusi penting bagi ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki dimensi praktis dalam menyusun kebijakan konservasi yang berbasis data. Ketika pola pergerakan dan kebutuhan ruang hidup spesies telah dipetakan secara akurat, maka strategi perlindungan yang diterapkan pun akan lebih tepat sasaran.

Lebih dari itu, keterlibatan masyarakat dalam memahami nilai ekologis kura-kura moncong babi membuka peluang untuk konservasi partisipatif, yakni pelestarian yang dilakukan bersama antara peneliti, pemangku kepentingan, dan masyarakat lokal. Dengan pendekatan ini, harapan untuk menjaga spesies langka ini dari kepunahan pun menjadi lebih nyata.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index