JAKARTA - Pendidikan tinggi kerap dipandang sebagai sesuatu yang jauh dari jangkauan anak-anak di desa. Namun, di tengah keterbatasan dan minimnya akses, Desa Sumberbulus di Kecamatan Ledokombo justru menghadirkan secercah harapan melalui gerakan pendidikan berbasis komunitas yang digagas oleh Sumberbulus Foundation. Inisiatif ini bukan hanya menjembatani informasi seputar pendidikan, tetapi juga menumbuhkan keyakinan bahwa anak desa pun layak bermimpi besar.
Alih-alih menunggu perubahan datang dari luar, warga Desa Sumberbulus memilih untuk membangunnya dari dalam. Fokus mereka tertuju pada kelompok usia yang paling rentan kehilangan arah setelah lulus SMA yakni para siswa kelas 10 hingga 12, serta lulusan SMA dalam rentang waktu 1 hingga 3 tahun terakhir. Dengan pendekatan yang bersifat lokal dan partisipatif, program ini memanfaatkan forum-forum desa seperti musyawarah warga, serta kanal digital seperti WhatsApp dan Telegram, sebagai media sosialisasi utama.
Salah seorang relawan dalam program ini menyampaikan harapannya, “Kami ingin membangun semangat dan mimpi anak-anak desa untuk berkuliah. Harapannya, mereka bisa mengenali minat dan bakat mereka sejak dini dan mengejar cita-cita besar seperti menjadi dokter atau guru.”
Lebih dari sekadar berbicara soal mimpi, Sumberbulus Foundation menghadirkan wajah konkret dari keberhasilan pendidikan di desa. Para alumni D3 dan S1 seperti perawat, bidan, hingga dosen muda yang berasal dari desa tersebut turut terlibat langsung sebagai pembimbing dan motivator. Mereka tidak hanya memberi informasi, tapi juga hadir sebagai contoh hidup bahwa latar belakang desa bukanlah penghalang untuk mencapai jenjang pendidikan tinggi.
Model komunitas belajar yang mereka kembangkan tak bergantung pada infrastruktur mewah. Dengan mendirikan posko belajar sederhana, kegiatan seperti pendalaman materi, diskusi kelompok, hingga bimbingan beasiswa bisa terlaksana secara rutin. Kegiatan ini juga dilengkapi dengan buku dan e-book sebagai materi utama, terutama untuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi seperti SNBT.
Pendanaan program tidak datang dari sponsor besar atau lembaga pemerintah, melainkan dari upaya komunitas itu sendiri. Salah satu sumbernya adalah hasil penjualan e-book persiapan kuliah seharga Rp100.000. Selain itu, mereka juga menggalang donasi berupa buku bekas yang masih relevan dan layak guna, menunjukkan bahwa modal sosial masyarakat desa mampu menjawab tantangan akses pendidikan.
Program ini tidak hanya membekali peserta dengan materi akademik, namun juga membentuk karakter dan mentalitas. Anak-anak muda desa didorong untuk berpikir lebih luas, merencanakan masa depan, serta memiliki keyakinan bahwa mereka juga punya tempat di dunia profesional. Ini sejalan dengan filosofi bahwa pendidikan adalah hak semua orang, bukan hak istimewa segelintir kalangan.
Dalam prosesnya, komunitas belajar ini secara tidak langsung juga mempererat hubungan sosial di antara warga. Para orang tua yang awalnya ragu kini mulai mendukung anak-anak mereka untuk melanjutkan pendidikan. Bahkan, beberapa ibu rumah tangga turut aktif membantu kegiatan logistik di posko belajar. Gerakan ini menjadi bukti bahwa saat masyarakat merasa memiliki, maka perubahan menjadi sesuatu yang kolektif dan berkelanjutan.
Keunikan pendekatan Sumberbulus Foundation terletak pada penyatuan antara pengetahuan lokal, nilai gotong-royong, dan semangat literasi. Mereka tidak hanya berfokus pada hasil akhir berupa kelulusan kuliah, tetapi juga pada proses pendampingan yang menyeluruh sejak awal. Anak-anak tidak hanya diberi bekal pengetahuan, tapi juga ditanamkan keyakinan diri dan cita-cita besar.
Dengan segala keterbatasan, komunitas ini menolak pasrah. Mereka justru menciptakan ruang-ruang baru yang inspiratif, membuktikan bahwa desa bisa menjadi titik awal dari perubahan besar. Apa yang dilakukan Sumberbulus Foundation bukan semata gerakan pendidikan, tetapi juga bentuk nyata dari pembangunan manusia berbasis komunitas.
Program ini memberi pelajaran penting bahwa transformasi pendidikan tidak harus selalu bersifat top-down. Justru dengan memberdayakan masyarakat sebagai pelaku utama, hasil yang dicapai menjadi lebih membumi dan berdampak luas. Komunitas belajar yang hidup di Desa Sumberbulus adalah bukti nyata bahwa ketika diberi ruang, masyarakat desa mampu menciptakan ekosistem pendidikan yang inklusif, efektif, dan berkelanjutan.
Dengan terus menggandeng tokoh lokal, mendorong pembelajaran mandiri, dan memperluas jaringan sosial, Sumberbulus Foundation menegaskan bahwa masa depan pendidikan Indonesia bisa dimulai dari pelosok desa. Dan bila satu desa bisa melakukannya, bayangkan apa yang bisa terjadi bila gerakan serupa merebak di ribuan desa lainnya.