Industri

Industri dan Rantai Pasok PLTS, Kunci Kedaulatan Energi

Industri dan Rantai Pasok PLTS, Kunci Kedaulatan Energi
Industri dan Rantai Pasok PLTS, Kunci Kedaulatan Energi

JAKARTA - Sebagai bagian dari peta jalan pengembangan energi bersih, pembangunan rantai pasok PLTS dalam negeri dinilai krusial oleh sejumlah pemangku kepentingan, baik dari sektor industri, pemerintah, maupun lembaga riset.

Berdasarkan dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034, kapasitas energi surya di Indonesia ditargetkan bertambah hingga 17 GW. Angka ambisius ini menempatkan energi surya sebagai tulang punggung sistem energi nasional di masa mendatang. Namun untuk mencapainya, Indonesia tidak hanya membutuhkan proyek-proyek PLTS berskala besar, tapi juga sistem pendukung yang solid mulai dari kebijakan, infrastruktur, hingga industri manufaktur yang menyeluruh.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menyampaikan bahwa pengembangan ekosistem energi surya tidak bisa dilepaskan dari rantai pasok yang terintegrasi dan efisien. Dalam acara diseminasi kajian “Pengembangan Peta Jalan Rantai Pasok Industri PLTS di Indonesia”, Chief Executive Officer IESR Fabby Tumiwa menyebutkan pentingnya membangun industri fotovoltaik lokal yang tangguh untuk memperkuat kemandirian energi nasional.

“Indonesia perlu membangun industri PLTS atau photovoltaic (PV) untuk meningkatkan kemandirian dan ketahanan energi nasional. Rantai pasok yang terintegrasi bisa mengurangi risiko gangguan global dan ketergantungan impor,” kata Fabby.

Fabby juga menekankan pentingnya menciptakan permintaan domestik yang besar dan stabil untuk menumbuhkan industri manufaktur energi surya dalam negeri.

Analis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR, Alvin Putra Sisdwinugraha, turut menjabarkan potensi Indonesia dalam mengembangkan industri energi surya dari sisi hulu hingga hilir. Menurut Alvin, dari sisi hulu seperti polisilikon dan wafer hingga sisi hilir seperti sel dan modul surya, Indonesia memiliki peluang besar.

“Industri PLTS Indonesia berpotensi tinggi, namun kesiapan industri dalam negeri masih kurang. Rantai pasok masih kurang efisien dan belum terintegrasi sehingga masih belum mencapai skala keekonomian yang optimal dan adanya keterbatasan dukungan penelitian dan pengembangan (R&D) yang memadai,” jelas Alvin.

Alvin menyarankan agar pembangunan industri PLTS dalam negeri dilakukan secara menyeluruh dengan menyusun peta jalan yang disepakati lintas sektor, serta didukung penciptaan pasar dan insentif untuk riset.

Dari sisi pemerintah, dukungan terhadap pengembangan rantai pasok ini telah mulai dilakukan. Direktur Industri Permesinan dan Alat Mesin Pertanian Kementerian Perindustrian, Solehan, menyatakan bahwa pemerintah menyambut baik inisiatif kajian ini.

“Kami juga mencatat (dari kajian) bahwa kita juga harus menggarap sektor hulu manufaktur fotovoltaik ini,” katanya.

Menurut Solehan, saat ini berbagai langkah konkret telah dijalankan pemerintah seperti membuat regulasi pendukung, pelatihan teknis, kemitraan, kolaborasi, serta pemberian subsidi dan insentif. Namun tantangan terbesar tetap pada komitmen jangka panjang dan kesinambungan kebijakan.

Ketua Umum Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia, I Made Sandika, menyampaikan bahwa regulasi yang pasti serta dukungan nyata terhadap proyek energi surya nasional sangat dibutuhkan.

“Dulu ada anggapan, produksi dahulu maka permintaan akan datang nanti. Saat ini kapasitas produksi sudah pada skala 10 GW untuk modul surya namun penyerapannya tetap rendah,” kata Made.

Salah satu hambatan terbesar adalah masuknya produk impor terutama dari China yang menawarkan harga jauh lebih murah. Ini membuat produk lokal sulit bersaing, meskipun kapasitas produksi sudah memadai. Dukungan kebijakan afirmatif yang mendorong penggunaan produk dalam negeri di proyek-proyek pemerintah dinilai sangat penting.

Country Sales Manager Indonesia dari LONGi Solar, Andi Herlambang, turut menyoroti faktor mahalnya harga produk lokal yang disebabkan oleh rantai pasok yang belum lengkap. Menurutnya, masih ada ketergantungan impor untuk komponen seperti kaca, aluminium frame, dan backsheet.

“Karena itu, diperlukan dukungan penuh dari regulasi dan kebijakan pemerintah, agar semua proyek energi surya di Indonesia menggunakan produk dalam negeri. Sehingga memperkuat industri dan menciptakan ekosistem manufaktur yang berkelanjutan,” kata Andi.

Dari sisi riset dan teknologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga memberikan pandangannya. Arya Rezavidi, Peneliti Utama BRIN, menekankan bahwa penguasaan teknologi merupakan kunci jika Indonesia ingin bersaing secara global.

“Industri masa depan harus dibangun dari riset dan penguasaan teknologi bukan semata-mata karena adanya pasar. R&D harus jadi komponen utama dalam pengembangan industri energi terbarukan,” kata Arya.

Menutup rangkaian acara, Marlistya Citraningrum selaku Program Manajer Akses Energi Berkelanjutan dari IESR menekankan bahwa pembangunan industri fotovoltaik bukan hanya soal kebutuhan teknis, tetapi menyangkut arah masa depan bangsa.

“Ini bukan semata soal teknologi, tapi menyangkut kedaulatan energi, pembangunan ekonomi hijau, pembukaan lapangan kerja, dan arah industrialisasi nasional ke depan,” pungkas Citra.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index