JAKARTA - Fenomena antrean panjang kendaraan berat, khususnya truk, di sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Provinsi Lampung kembali menjadi sorotan. Meski stok bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi seperti biosolar dan Pertalite tercatat masih dalam kondisi aman, realitas di lapangan menunjukkan bahwa distribusi yang ada belum mampu mengimbangi kebutuhan aktual masyarakat, terutama sektor transportasi barang.
Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Lampung merespons situasi ini dengan meminta PT Pertamina Patra Niaga untuk meningkatkan distribusi BBM bersubsidi ke SPBU. Permintaan tersebut dilatarbelakangi oleh temuan bahwa meski volume penyaluran belum mencapai batas maksimal, antrean kendaraan tetap terjadi secara konsisten di berbagai wilayah.
Kepala Bidang Energi Dinas ESDM Provinsi Lampung, Sopian Atiek, menegaskan bahwa langkah penambahan distribusi menjadi penting untuk meredam dampak yang ditimbulkan oleh kelangkaan di lapangan, termasuk terganggunya arus logistik dan lalu lintas. Menurutnya, hingga akhir Juli, realisasi distribusi masih berada di bawah angka 60 persen dari total kuota tahun berjalan.
"Untuk penyaluran BBM bersubsidi masih aman, tinggal bagaimana kita dorong Pertamina untuk melakukan penambahan penyaluran," ujar Sopian Atiek.
Data yang dimiliki Dinas ESDM menunjukkan bahwa biosolar telah disalurkan sebanyak 450.266 kiloliter (KL), atau sekitar 56,12 persen dari kuota tahun 2025 yang ditetapkan sebesar 802.204 KL. Jika dibandingkan dengan target penyaluran sampai akhir Juli, angka ini setara dengan 96,63 persen dari yang seharusnya disalurkan dalam periode tersebut.
Sementara itu, distribusi Pertalite tercatat sebesar 385.900 KL, atau 51,53 persen dari kuota tahunan sebesar 784.883 KL. Persentase tersebut mewakili 88,71 persen dari kuota hingga akhir Juli. Meski angka ini terlihat cukup tinggi, nyatanya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional harian masyarakat, terutama kendaraan pengangkut barang yang bergantung pada BBM bersubsidi.
Distribusi BBM di Provinsi Lampung juga memperlihatkan ketimpangan berdasarkan lokasi SPBU. SPBU yang berada di jalur strategis seperti kawasan By Pass Soekarno-Hatta, Kecamatan Panjang, dan Kecamatan Telukbetung, cenderung mendapat jatah lebih besar. Hal ini disebabkan tingginya permintaan dari kendaraan berat yang melintas di kawasan industri dan jalur lintas utama.
"SPBU di wilayah lintas seperti By Pass dan kawasan industri biasanya mendapatkan kuota lebih besar karena permintaannya tinggi, dan lokasinya strategis bagi kendaraan pengangkut barang," jelas Sopian.
Setiap SPBU rata-rata menerima pasokan antara 12.000 hingga 24.000 liter BBM per hari. Pengiriman dilakukan secara rutin, bisa mencapai enam hingga tujuh kali dalam seminggu tergantung besaran kuota masing-masing SPBU.
Namun, meskipun sistem distribusi sudah berjalan, antrean kendaraan tetap menjadi pemandangan yang lazim di hampir semua SPBU di Lampung. Pemandangan truk-truk yang mengular di pinggir jalan hingga mengganggu lalu lintas umum sudah menjadi keluhan rutin. Beberapa titik rawan antrean terjadi di SPBU Jalan Lintas Barat, Desa Kurungan Nyawa, Kecamatan Gedong Tataan, serta SPBU Jalan Raden Gunawan di wilayah yang sama.
Situasi serupa juga tampak di SPBU Jalan Pramuka, Bandar Lampung; SPBU Jati Mulyo di Lampung Selatan; serta SPBU Kalirejo di Lampung Tengah, dan Sukoharjo di Pringsewu. Kejadian ini tak hanya merepotkan pengemudi, namun juga dapat menimbulkan potensi kemacetan dan risiko kecelakaan akibat kendaraan yang parkir di badan jalan.
Sejumlah sopir truk yang ditemui mengaku bahwa mereka kerap harus menunggu berjam-jam demi mendapatkan solar. Seperti yang diungkapkan Iwan, seorang sopir truk yang sedang mengantre di SPBU Kurungan Nyawa.
"Kalau tidak antre, mana bisa dapat solar, Mas. Sekarang ini mana ada SPBU yang tidak ada antrean truknya? Karena memang untuk dapatkan solar ini agak susah," kata Iwan.
Iwan dan pengemudi lainnya berharap Pertamina dapat menambah pasokan solar ke SPBU-SPBU, agar proses pengisian tidak memakan waktu lama dan operasional pengiriman barang bisa berjalan lebih efisien.
Sementara itu, dari pihak pemerintah daerah, desakan untuk penambahan distribusi juga bukan tanpa dasar. Dengan mempertimbangkan bahwa angka realisasi penyaluran belum menyentuh 60 persen dari total kuota tahunan, peluang untuk melakukan percepatan distribusi secara teknis masih terbuka lebar.
Langkah percepatan distribusi BBM bersubsidi ini dinilai penting agar tidak hanya menjaga kelancaran operasional transportasi, tetapi juga menjamin ketersediaan energi masyarakat, terutama di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang kerap menggunakan kendaraan niaga ringan.
Pemerintah daerah pun mendorong adanya komunikasi lebih intensif antara Pertamina, SPBU, dan instansi terkait, guna menyusun peta distribusi yang lebih adaptif terhadap kebutuhan lapangan. Evaluasi berkala terhadap kuota SPBU dan sistem distribusi menjadi hal mendesak yang perlu dilakukan, agar tidak terjadi kelebihan permintaan yang berujung pada antrean panjang.
Dalam konteks yang lebih luas, keberhasilan distribusi BBM bersubsidi mencerminkan efektivitas tata kelola energi di tingkat daerah. Oleh karena itu, selain upaya penambahan pasokan, diperlukan pula pengawasan distribusi yang ketat agar BBM subsidi benar-benar sampai ke pihak yang membutuhkan, bukan justru bocor ke pasar ilegal atau disalahgunakan.
Dengan realitas di lapangan yang menunjukkan ketidakseimbangan antara data distribusi dan fakta antrean, peningkatan suplai dan perbaikan sistem menjadi keharusan. Kini, keputusan ada di tangan Pertamina dan pemerintah pusat untuk merespons kebutuhan tersebut, agar roda ekonomi masyarakat Lampung bisa terus berputar tanpa hambatan berarti.