JAKARTA - Industri manufaktur di Jawa Timur tengah menyambut baik penerbitan sembilan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) terbaru yang dinilai membawa angin segar bagi sektor yang sangat bergantung pada bahan baku impor ini. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 hingga 24 Tahun 2025 menggantikan regulasi sebelumnya dan membawa sejumlah kebijakan baru yang diharapkan dapat mendorong kelancaran produksi sekaligus menekan biaya logistik.
Tomy Kayhatu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur Bidang Promosi dan Perdagangan Luar Negeri, menegaskan bahwa regulasi baru ini memberi kemudahan yang signifikan bagi para pelaku industri manufaktur di wilayah ini. "Ini merupakan kabar gembira bagi industri manufaktur Jawa Timur yang sangat bergantung pada bahan baku impor," ujarnya dengan optimisme tinggi.
Kebijakan relaksasi dalam Permendag tersebut mencakup 10 komoditas strategis yang meliputi 482 kode Harmonized System (HS). Kelompok komoditas tersebut terdiri dari produk kehutanan, pupuk bersubsidi, bahan baku plastik, sakarin dan siklamat, bahan bakar lain, bahan kimia tertentu, mutiara, food tray, alas kaki, serta sepeda roda dua dan roda tiga. Dengan penghapusan pembatasan berupa Persetujuan Impor (PI) untuk bahan baku dan penolong industri dalam beberapa komoditas utama, pelaku usaha kini memiliki ruang gerak yang lebih leluasa untuk mengimpor bahan produksi.
Menurut Tomy, khusus untuk kelompok bahan baku dan penolong industri yang mencakup 29 kode HS, produk seperti bahan baku plastik, bahan bakar lain, dan pupuk bersubsidi sebelumnya memerlukan Persetujuan Impor namun kini tidak lagi dibatasi. Kebijakan ini menjadi peluang strategis untuk meningkatkan produktivitas pabrik-pabrik di Jawa Timur yang selama ini sering terkendala prosedur administrasi dan pembatasan impor.
Tak hanya soal kemudahan impor, Permendag baru juga memberikan perhatian khusus pada aspek logistik yang selama ini menjadi salah satu tantangan utama industri manufaktur di Jawa Timur. Pusat Logistik Berikat (PLB) tampil sebagai solusi inovatif yang dijanjikan dapat mengatasi permasalahan dwelling time dan biaya logistik yang membengkak.
PLB memberikan sejumlah keuntungan yang dianggap sebagai “game changer” bagi pelaku industri. Di antaranya adalah menjaga arus kas perusahaan tetap sehat karena pajak impor tidak langsung dibayar saat barang tiba, mengurangi beban pelabuhan utama karena barang impor tidak langsung masuk, serta memungkinkan pabrik memiliki buffer stok bahan baku yang lebih stabil dan biaya sewa gudang komersial yang lebih rendah. Optimalisasi supply chain management melalui pemanfaatan PLB ini sangat relevan bagi industri Jawa Timur yang ingin menekan biaya dan mempercepat proses produksi.
"Kami mendorong para pelaku usaha untuk mengintegrasikan strategi PLB dalam perencanaan bisnis mereka," kata Tomy. Ia menambahkan, posisi strategis Jawa Timur sebagai provinsi dengan kontribusi ekonomi terbesar kedua secara nasional dan sebagai pusat industri manufaktur menjadi alasan kuat mengapa regulasi ini harus dimanfaatkan secara optimal.
Meski begitu, Tomy juga mengingatkan bahwa pengawasan impor khususnya untuk sektor tekstil dan produk tekstil tetap ketat. Sektor tekstil yang merupakan salah satu unggulan Jawa Timur memerlukan regulasi khusus agar kualitas dan standar produk tetap terjaga. Kini, untuk produk pakaian jadi dan aksesoris, persyaratan impor lebih diperketat dengan mewajibkan Persetujuan Impor, pertimbangan teknis dari Kementerian Perindustrian, serta laporan dari Surveyor.
Kebijakan ini diharapkan dapat melindungi industri dalam negeri dari produk impor yang tidak memenuhi standar kualitas serta menjaga daya saing produk tekstil Jawa Timur di pasar lokal maupun internasional.
Dengan berbagai kebijakan baru ini, industri manufaktur Jawa Timur diharapkan dapat tumbuh lebih dinamis, efisien, dan kompetitif. Relaksasi bahan baku impor dan optimalisasi peran Pusat Logistik Berikat memberikan peluang besar bagi pengusaha untuk memperkuat rantai pasok dan meningkatkan produktivitas secara signifikan. Hal ini sekaligus menjadi bukti bagaimana pemerintah dan pelaku usaha dapat bersinergi untuk memajukan sektor industri nasional demi pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.