ESDM

Transisi Energi ESDM

Transisi Energi ESDM
Transisi Energi ESDM

JAKARTA - Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam menggeser ketergantungan energi fosil menuju energi bersih, sejalan dengan urgensi krisis iklim global. Meski komitmen untuk mengakhiri operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dalam 15 tahun ke depan sudah ditegaskan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai forum internasional, arah kebijakan terkini justru menimbulkan pertanyaan serius.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi di sektor ketenagalistrikan seharusnya menjadi panduan strategis percepatan peralihan energi. Namun, regulasi ini justru membuka ruang cukup luas bagi kelangsungan operasional PLTU batu bara dengan mengandalkan teknologi co-firing biomassa dan penangkapan serta penyimpanan karbon (CCS/CCUS). Padahal, teknologi ini lebih berpotensi memperpanjang umur PLTU daripada mempercepat transisi ke energi hijau.

Teknologi CCS dan CCUS menghadapi kritik tajam, terutama terkait dampak lingkungan yang belum terbukti efektif, biaya yang tinggi, serta kebutuhan energi tambahan yang justru bisa meningkatkan emisi di tahap produksi. Risiko kebocoran karbon jangka panjang dari penyimpanan bawah tanah juga menjadi persoalan yang belum terpecahkan, ditambah catatan kegagalan proyek serupa di beberapa negara. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa CCS lebih merupakan alat untuk mempertahankan aset batu bara ketimbang solusi berkelanjutan.

Selain itu, praktik produksi biomassa di Indonesia menimbulkan dilema karena sebagian besar hasilnya diekspor, misalnya ke Jepang, sehingga manfaatnya bagi kebutuhan energi domestik menjadi minimal. Hal ini mempertanyakan konsistensi kebijakan dalam mendukung kemandirian energi nasional yang sesungguhnya.

Salah satu sorotan utama pada Permen ESDM No.10/2025 adalah absennya kewajiban tegas untuk menghentikan operasional PLTU batu bara dalam jangka waktu tertentu. Kebijakan lebih menitikberatkan pada ketersediaan dana untuk penutupan PLTU, ketimbang urgensi perlindungan lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Analisis menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) menunjukkan bobot penilaian emisi gas rumah kaca hanya sebesar 9,3%, jauh lebih kecil dibanding bobot dukungan pendanaan yang mencapai 27,1%. Hal ini berpotensi menyebabkan pemilihan PLTU yang ditutup bukan berdasarkan dampak lingkungan terburuk, tetapi berdasarkan kemudahan pembiayaan pensiun dini.

Dampak kesehatan akibat PLTU batu bara sangat serius. Laporan dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) pada 2023 memperkirakan polusi dari PLTU batu bara di Indonesia menyebabkan sekitar 10.500 kematian pada 2022, dengan biaya kesehatan mencapai Rp170,3 triliun. Angka ini menunjukkan pentingnya penutupan segera pembangkit yang paling berbahaya.

Situasi makin rumit karena PT PLN, pemilik dan operator PLTU terbesar, sekaligus bertugas menyusun kajian percepatan penghentian PLTU. Konflik kepentingan potensial muncul, memperlambat proses transisi energi yang sangat dibutuhkan.

Lebih lanjut, kebijakan ini juga mendorong pengembangan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) sebagai energi bersih. Namun, ketergantungan pada PLTG hingga 2040 diperkirakan menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp941,4 triliun serta menambah beban biaya kesehatan yang besar. Sebaliknya, pengembangan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan mikrohidro skala komunitas justru diperkirakan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar Rp2.627 triliun pada 2040 dan menciptakan hingga 20 juta lapangan kerja.

Peraturan Menteri ESDM ini sebenarnya merupakan turunan dari Peraturan Presiden No.112 Tahun 2022 yang bertujuan mempercepat pengembangan energi terbarukan. Namun, implementasinya saat ini terindikasi memperlambat transisi energi bersih, sekaligus memperpanjang dominasi energi fosil, khususnya batu bara dan gas.

Kritik terhadap Permen ESDM No.10/2025 tidak hanya soal aspek teknis, melainkan juga arah kebijakan yang dinilai kurang progresif. Mengandalkan teknologi dengan efektivitas rendah dan mempertahankan ketergantungan pada bahan bakar fosil bertentangan dengan komitmen global pengurangan emisi gas rumah kaca.

Jika tidak ada revisi signifikan, peta jalan transisi energi ini berisiko membawa Indonesia ke jalan buntu. Ketidaktegasan dalam tenggat waktu penghentian PLTU, bobot rendah pada aspek lingkungan dan kesehatan, serta penekanan pada solusi sementara seperti CCS berpotensi menggagalkan target net-zero emission nasional.

Beberapa rekomendasi perbaikan kebijakan meliputi: melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan dalam revisi regulasi; menjadikan pensiun dini PLTU batu bara sebagai prioritas utama; menghindari solusi palsu seperti co-firing biomassa dan CCS/CCUS; meningkatkan bobot penilaian dampak lingkungan dan kesehatan; serta menetapkan tenggat waktu jelas untuk penghentian PLTU.

Dalam situasi krisis iklim yang kian mendesak, pemerintah harus menunjukkan keberanian dan konsistensi dalam kebijakan yang benar-benar berpihak pada energi terbarukan. Keputusan tegas ini akan menentukan apakah Indonesia mampu mewujudkan masa depan energi yang bersih, berkelanjutan, dan sehat bagi seluruh rakyatnya.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index