JAKARTA - Di balik ambisi besar Indonesia untuk mencapai transisi energi bersih, terdapat satu potensi besar yang belum tergarap maksimal: energi panas bumi (geothermal). Negara ini menyandang predikat sebagai pemilik cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia, tetapi realisasi pemanfaatannya justru masih jauh dari harapan.
Ironisnya, sumber energi yang tergolong bersih, terbarukan, dan stabil ini belum menjadi andalan utama dalam bauran energi nasional. Hal ini menjadi sorotan dalam upaya Indonesia mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, terutama batu bara yang masih mendominasi pasokan listrik nasional.
Padahal, dalam peta transisi energi global, panas bumi memainkan peran penting karena dapat menghasilkan listrik tanpa emisi karbon tinggi serta tersedia secara konsisten sepanjang waktu, tidak bergantung pada cuaca seperti energi surya dan angin.
Potensi Besar, Pemanfaatan Masih Kecil
Secara geografis, Indonesia terletak di cincin api Pasifik (Ring of Fire) yang menyimpan cadangan panas bumi sangat besar. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), total potensi panas bumi nasional diperkirakan mencapai lebih dari 23,7 gigawatt (GW). Namun, hingga kini, kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi baru sekitar 2,4 GW, atau hanya sekitar 10% dari total potensi tersebut.
Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara potensi sumber daya dan realisasi proyek. Dalam konteks energi bersih dan komitmen menuju Net Zero Emission (NZE) pada 2060, pemanfaatan panas bumi menjadi sangat krusial.
Transisi Energi Tak Bisa Mengabaikan Geothermal
Sektor panas bumi dipandang sebagai salah satu pilar utama dalam strategi transisi energi nasional. Pemerintah secara eksplisit menempatkan energi baru terbarukan (EBT) sebagai fokus utama dalam pengembangan sistem kelistrikan ke depan.
Panas bumi memiliki keunggulan karena bersifat base load, artinya mampu menyuplai listrik secara terus-menerus, berbeda dengan sumber EBT lainnya seperti tenaga surya dan angin yang bersifat intermiten. Keunggulan ini menjadikan geothermal sebagai tulang punggung potensial dalam mendukung stabilitas jaringan listrik nasional yang bersih.
Bahkan, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kontribusi panas bumi ditargetkan meningkat signifikan seiring bertambahnya investasi dan percepatan proyek.
Hambatan Struktural dan Tantangan Investasi
Meskipun potensinya sangat besar, pengembangan panas bumi di Indonesia tidak lepas dari sejumlah hambatan struktural yang telah lama dihadapi. Beberapa tantangan utama antara lain:
Tingginya risiko eksplorasi awal, karena proses pengeboran awal memerlukan investasi besar tanpa jaminan hasil yang pasti.
Perizinan yang kompleks dan berlapis, termasuk tumpang tindih antara wilayah kerja panas bumi dengan kawasan hutan lindung atau konservasi.
Keterbatasan pendanaan proyek jangka panjang, karena proyek geothermal memiliki masa pengembalian modal yang lama, sehingga investor cenderung ragu.
Kurangnya insentif fiskal yang menarik, terutama dalam tahap eksplorasi.
Tantangan-tantangan ini membuat banyak proyek geothermal stagnan atau berjalan sangat lambat. Beberapa proyek strategis nasional bahkan menghadapi penundaan karena proses perizinan dan pembebasan lahan yang belum selesai.
Langkah Pemerintah: Mempercepat, Menyederhanakan, Menarik Investor
Untuk mempercepat pemanfaatan energi panas bumi, pemerintah mulai melakukan reformasi dalam regulasi dan skema investasi. Kementerian ESDM menyatakan akan menyederhanakan perizinan, terutama yang terkait dengan kehutanan dan konservasi, mengingat banyak potensi panas bumi berada di kawasan hutan.
Selain itu, pemerintah tengah menyiapkan skema penjaminan risiko eksplorasi melalui pembiayaan dari Indonesia Geothermal Fund maupun skema kerjasama dengan lembaga internasional seperti World Bank dan Asian Development Bank (ADB).
Beberapa insentif yang kini didorong antara lain:
Tax holiday dan pembebasan bea masuk alat berat geothermal
Harga jual listrik geothermal yang lebih kompetitif
Skema pengembangan berbasis government drilling, di mana pemerintah mengambil risiko eksplorasi awal sebelum dilelang ke swasta
Dengan pendekatan ini, diharapkan lebih banyak investor tertarik menanamkan modal di proyek-proyek panas bumi, khususnya di wilayah-wilayah yang selama ini belum tersentuh pengembangan energi.
Peran Swasta dan Kolaborasi Internasional
Selain keterlibatan pemerintah, sektor swasta juga memegang peran penting dalam memacu pengembangan panas bumi. Beberapa perusahaan nasional maupun asing telah aktif mengelola wilayah kerja panas bumi, antara lain di Dieng, Patuha, Sarulla, dan Lahendong.
Namun, skala investasi swasta masih terbatas pada wilayah-wilayah dengan potensi tinggi dan risiko rendah. Oleh karena itu, kolaborasi dengan lembaga internasional melalui pembiayaan hijau (green finance), bantuan teknis, serta transfer teknologi menjadi penting untuk memperluas cakupan proyek dan mengurangi beban fiskal negara.
Peluang Ekonomi Hijau di Daerah
Pengembangan energi panas bumi tidak hanya berdampak pada ketahanan energi nasional, tetapi juga membuka peluang ekonomi hijau di tingkat daerah. Wilayah yang menjadi lokasi proyek geothermal berpotensi menerima manfaat langsung berupa:
Lapangan kerja baru selama masa konstruksi dan operasional
Peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dari pajak dan kontribusi perusahaan
Akses infrastruktur baru seperti jalan, listrik, dan air bersih
Penguatan ekonomi lokal melalui kemitraan dengan UMKM sekitar proyek
Namun, untuk mewujudkan hal ini, sinergi antara pemerintah pusat, daerah, perusahaan, dan masyarakat harus dijalin secara erat. Sosialisasi yang baik dan pelibatan masyarakat lokal dalam proses pengembangan proyek menjadi kunci kesuksesan geothermal di daerah.
Indonesia menyimpan potensi panas bumi terbesar kedua di dunia, namun tingkat pemanfaatannya masih sangat rendah. Padahal, dalam konteks transisi energi bersih dan pengurangan ketergantungan pada batu bara, pengembangan geothermal menjadi kunci penting yang tak bisa diabaikan.
Percepatan pemanfaatan panas bumi harus dijalankan secara terintegrasi, melalui perbaikan regulasi, penyederhanaan perizinan, insentif fiskal, dan penguatan pendanaan. Tanpa itu, Indonesia akan kesulitan memenuhi target bauran energi bersihnya dan tetap bergantung pada energi fosil.
Kini, dengan semangat transisi energi dan meningkatnya kesadaran global akan pentingnya dekarbonisasi, sudah saatnya geothermal bangkit menjadi sumber energi utama yang membangun masa depan energi Indonesia yang lebih bersih, berkelanjutan, dan mandiri.